Pertemuan Pertama

1262 Words
Tak ada yang tidak mungkin selama kita berusaha, entah bagaimana caranya, yakinlah suatu saat semua yang di impikan akan terwujud. Jika tidak sekarang mungkin nanti, itulah yang di yakini Kiara. Gadis itu selalu yakin dan berusaha untuk mencapai tujuannya, mencapai mimpinya. Ia tak kenal lelah atau putus asa. Selalu semangat meski terkadang, jengah dengan situasi yang membuatnya jatuh bangun dalam perjalanan menuju impiannya. Belum lagi, telinganya harus mendengar cemooh orang-orang di sekitar. Namun lihatlah sekarang, gadis itu nampak riang dan semangat berjalan kaki di pinggiran trotoar menuju tempat kerjanya. Ah, tak lupa ia mampir di sebuah warung pinggir jalan, membeli kopi dingin dalam kemasan botol yang kini menjadi favoritnya. "Pak, tiramissu bliss nya yang dingin 1 ya," pinta Kiara, pada si penjual sembari mengulurkan lembaran uang sepuluh ribu. "Kembaliannya wafer coklat yang ini ya Pak!" ujar Kiara lagi, tangannya terulur mengambil wafer coklat di dalam toples bening yang terpajang di meja. Setelah membeli keperluannya, Kiara bergegas kembali menuju kantor. Tak terasa, sudah satu minggu Kiara bekerja di ibukota. Meski Risa masih saja terkesan jutek dan cuek, tapi kini ia paham bahwa gadis itu sebenarnya baik, hanya saja irit bicara. Menjelang jam makan siang, Zahra menghampiri Kiara untuk mengajak istirahat bersama. "Kia, yuk!" ajak Zahra, yang menghampiri Kiara di meja kerjanya. "Oh ya, Ra. Sebentar aku beresin file dulu," jawab Kia, sembari merapihkan meja kerjanya. "Mbak Ris, mau ikut nggak?" tawar Kiara, ramah pada Risa. "Enggak ah, kalian berdua aja. Aku mau keluar," jawab Risa santai, sembari memasukan beberapa barang kedalam tasnya. "Oke, kalo gitu kita berdua duluan ya!" Risa hanya merespon dengan anggukan kepalanya. Sesampainya di kantin mereka segera beredar untuk memesan makanan lalu duduk bersama Shinta dan Faris, dua teman Zahra. Setelah pesanan datang mereka langsung menyantapnya dengan santai, hingga suara seseorang membuat aktivitas makan mereka terhenti. "Kia, Zahra, boleh gabung? meja lain sudah penuh," ujar Pak Ari, sembari mengarahkan pandangan ke sekitar kantin yang ternyata sudah penuh. "Oh, Pak Ari, silahkan!" Kia mempersilahkan mereka duduk, Zahra dan yang lainya pun tersenyum ramah menyambut mereka. Pandangan Kiara tertuju pada seseorang yang datang bersama atasanya itu. hingga orang tersebut duduk di hadapannya. "Oh ya, kenalin saya Rama. Kamu?" tanya lelaki yang duduk di sebrang mejanya. "Saya Kiara, Pak," jawab Kiara sopan, sembari menerima uluran tangan dari Rama. "Hmm, saya baru liat kamu sepertinya?" tanya lelaki itu yang baru saja duduk di depan Kiara. "Iya Pak, saya karyawan baru." Kia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Oh oke, semoga betah di sini ya," ucap Rama tulus. "Pak Rama apa kabar? lama nggak keliatan," sapa Zahra akrab, membuat Kiara penasaran tentang siapa pria tampan di hadapanya itu. "Oh hai, hmm.... Kamu Zahra ya? kebetulan saya lagi sibuk terus jadi baru bisa kemari," jawab Rama, disertai dengan senyum manisnya yang mampu menggetarkan hati seseorang di hadapannya itu. Tampan, Sempurna.... ucap lirih Kiara saat memandang Rama yang duduk di hadapannya, lelaki dengan perawakan ideal, hidung mancung, matanya jernih, alisnya tidak terlalu tebal namun membentuk rapih. 'Kayanya aku suka dia. Andai Kalo dia juga suka sama aku, pasti rasanya seneng banget" Ahh, Apaaan banget sih. Tapi apa mungkin...? nggak, nggak, nggak boleh." Kiara berandai-andai dalam hati, namun ketika mengingat masalalunya yang kelam, Kiara sadar, ia tak pantas untuk siapapun. Ia hanya bisa tersenyum kecut, dan menerima semuanya dengan baik. Seusai makan siang, mereka segera kembali, meski rasanya tak rela berpisah begitu cepat dengan seseorang yang baru dikenalnya. Ah, ada apa dengan hati Kiara? "Ra, yang dateng sama Pak Ari tuh siapa ya? " tanya Kia, saat mereka berjalan menuju ruangan. Kia tidak sabar lagi menahan diri untuk tidak bertanya tentang siapa pria itu. Zahra mengernyit mendengar pertanyaan "Oh, itu temen Pak Ari dan Pak Ricco, dia juga salah satu pemilik saham di sini, kenapa? demen lo ya, hahahaha.... " ucap Zahra, dengan mata jahilnya kini ia menggoda Kiara. "Pak Ricco, Ceo? ihh.... Apaan sih," tanya Kia, semakin penasaran, namun ekspresi wajahnya justru menunjukan kekesalan pada Zahra. "Ya kirain. Dia tuh salah satu yang di incer sama karyawan sini hahaha.... Kalo gue nggak punya ayang juga udah jadi fans nya, Pak Rama tuh sering dateng ke sini ketemu para Pak bos itu, atau kalo misal rapat direksi gitu. Selebihnya gue kaga tau sih hehhehe...." cerocos Zahra. ****** Didalam kosan sederhananya, Kiara merenung memikirkan seseorang yang baru dikenalnya siang tadi. Rama... sebutnya lirih. Sepertinya, Kiara telah jatuh hati pada pandangan pertama dengan pria tampan itu. Kiara menyadarkan diri dari lamunan, mengusir semua ilusi yang tak hanya akan membuatnya terlena. Ia lalu beranjak ke mejanya membuka laptop dan buku, waktunya tidak banyak, ia harus segera meraih mimpinya. Sebab inilah ia berani meninggalkan segalanya. Meninggalkan kehidupannya yang dulu bagai neraka. "Kia, sorry ya. Lu ngga ada rencana buat memperbaiki penampilan, lu tuh sebenernya cantik, dan sorry baju lo ini udah lusuh banget.... " Jemari Kiara berhenti dari tuts keyboard saat ia mengingat perkataan Zahra. Ia kembali teringat Rama yang begitu sempurna di hadapannya, lalu membandingkan dengan dirinya. "Mana mungkin dia suka sama aku? penampilan aku aja gini," ucapnya, sambil memandang kemeja yang tergantung di dinding, baju yang ia beli beberapa tahun lalu. Pantas warnanya sudah pudar. "Haduhh, haduh No, no,no...." kedua tangan Kiara memukul ringan kepalanya, agar bayangan tentang Rama terhapus. Ini bukan saatnya memikirkan cinta, sudah tidak ada cinta lagi di hatinya sejak beberapa tahun lalu. Cinta hanya sumber luka bagi Kiara. Bagi Kiara jika sudah siap mencintai, berarti siap untuk dilukai, dan sepertinya Kia belum siap untuk dilukai kembali oleh cinta. Ia sudah memutuskanya sendiri, semenjak orang-orang yang ia cintai menghianatinya. Sudah cukup di buat kecewa oleh semua harapan yang pada akhirnya membunuhnya perlahan. Masih ingat bagaimana Calvin memperlakukannya dengan baik, hingga terbuai oleh cinta lelaki itu, namun ternyata semua itu adalah demi taruhan belaka. Kiara yang terkenal pintar dan cantik di sekolah selalu menjadi incaran para siswa. Namun setiap orang yang mendekat selalu Kiara tolak, hingga akhirnya taruhan itu terjadi dan ya, Calvin menang. Lelaki itu berhasil menjadikan Kiara kekasihnya. Kiara yang baru merasakan keindahan cinta harus menerima kenyataan, bahwa dirinya hanyalah bahan taruhan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itu peribahasa yang pantas untuk Kiara kala itu. Di saat luka hatinya belum sembuh sebab di khianati, sang Ibu justru ikut mengkhianatinya, dengan menjualnya pada seorang renternir. Di situlah semuanya bermula. Kiara yang baru sadar pasca kecelakaan saat ia melarikan diri dari kejaran renternir, harus menerima cacian dari Ibunya, bahkan dengan tega mengatakan, jika tubuhnya sudah di jamah pria itu. Membuat Kiara semakin terpuruk, dan depresi untung lah ada sangat tante yang merawatnya. Sejak saat itu, Kiara menutup hati untuk siapapun. Bahkan hilang kepercayaan dengan orang lain, hanya tantenya lah satu-satunya orang yang dipercaya Kiara. "Semangatt Kia, ingat mimpi mu. Lupakan pria itu, dia terlalu jauh untuk di gapai. " Kia menyemangati dirinya dan kembali menggerakkan jemarinya pada keyboard. Kia kembali larut dalam kesibukanya dengan laptop dan buku yang sudah penuh coretan tangannya. Meski lelah, dan terus menguap menahan kantuk ia harus tetep terjaga, agar semuanya bisa selesai dengan segera. Mimpinya, ya mimpinya harus segera terwujud! "Cari siapa, Pak?" tanya seorang ibu paruh baya, saat melihat seseorang berdiri di depan gerbang kost milikinya. "Sepertinya saya salah alamat, terimakasih! " jawab orang tersebut, lalu bergegas pergi, tak menghiraukan tatapan heran sangat pemilik rumah. "Aneh," ucap si Ibu kos, lalu segera menutup gerbang dan menguncinya. Sedangkan Kiara yang tanpa sengaja, mengintip interaksi antara dua orang itu dari balik jendela kamarnya, merasa mengenal seseorang yang berbicara dengan Ibu kost di depan pagar tadi. "Tapi siapa ya?,"tanya Kiara lirih. Kiara bergidig ngeri, takut jika ia sedang di intai oleh psikopat seperti drama Korea yang sering ia lihat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD