Menangis

1490 Words
"Pagi, Kia," sapa seorang security, di lobbi utama. Gadis cantik itu melangkah anggun sembari tersenyum ramah menanggapi sapaan hangat rekan kerjanya. Ya, selain cantik, Kia pribadi yang riang dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan Kia mengalahkan popularitas seniornya karna lebih dikenal oleh karyawan dikantor. Tentu saja karna sikapnya itu, tak sedikit juga para pria berusaha mendekatinya, dan Kiara selalu menolak mereka. "Kiaaaa...." suara teriakan seseorang menghentikan langkah kaki Kia yang hendak memasuki lift. "Cepett!" ujar Kia, sembari menekan tombol lift, sedangkan Zahra berlari menuju lift yang dinaiki Kiara. "Kia, gila lu ya," ucap Zahra, sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Kenapa? baru ketemu udah ngatain gila," balas Kia santai, sepertinya sudah tahu alasan yang membuat Zahra mengatainya 'Gila'. "Si Hans chat gue katanya lo kaga mau dia ajak keluar, kenapa Kia? dia kan cakep bawa mobil lagi. Kan lumayan buat anter jemput lo kerja, dari pada jalan kaki, lama-lama tuh betis kaya talas Bogor," cerocos Zahra, tanpa memperdulikan semua orang di lift meliriknya. Sebab gadis berpawakan mungil itu sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya, sejak semalam ingin memarahi temannya yang satu ini. Ting... Pintu lift terbuka di lantai 8, Kia segera keluar tanpa perduli suara Zahra yang masih saja membebel. "Hehh, Kia tunggu!!!" sedikit tergopoh Zahra mengejar Kiara yang sudah jauh. "Apaan sih Ra?" jawab Kia, menoleh malas saat Zahra meraih lengannya. "Itu si Hans gimna?" desak Zahra, dengan nafasnya yang tak beraturan. "Ya gak gimana-gimana, lagian gue mau focus kerja, dan kurang suka sama sikap Hans yang sok cool itu," ucap Kiara, dengan wajah kesal, ini sudah ketiga kalinya Zahra mengenalkan pria yang notabenenya adalah karyawan kantor juga. Sebelum Hans, ada Ferdy dan Nizam yang Zahra kenalkan pada Kiara, tidak di pungkiri ketiga pria itu tampan dan mapan, hanya saja Kiara belum menemukan yang seseorang yang tepat dihatinya. "Udahlah Ra, jangan paksa Kia, dia itu nggak asal mau sama semua cowok," sambung Risa, yang baru keluar dari lift dan menyaksikan perdebatan kedua orang itu. Inilah salah satu hal yang membuat kiara semakin dikenal oleh hampir semua karyawan adalah, karna Kiara bisa dekat dengan Rissa yang terkenal dingin dan hanya berbicara seperlunya saja. Seperti tadi, wanita minim bicara itu mengujarkan kalimat panjang untuk menghentikan Zahra yang mengganggu Kiara. See. ucapan Rissa tadi mencuri atensi beberapa karyawan yang barunkeluar dari lift juga. Sejak kapan, Bu Rissa ngomong panjang gitu? Sebenernya si Kiara siapa sih? Bisa buat Mbak Rissa ngomong sepanjang itu. "Ya deh iya, sorry ya Kia, gue cuma mau Lo happy," ucap Zahra, sembari menekuk bibirnya. "Nggak apa-apa Ra, gue happy kok kan punya temen-temen kaya kalian," ucap Kia, tersenyum sembari mengelus lembut lengan Zahra, menandakan kalau ia sudah memaafkan sikapnya. "Udah sana balik ke meja lo, nanti Pak Ari dateng marah liat kita ghibah pagi-pagi," titah Rissa. Lagi-lagi membuat karyawan lain heran. Whattt?? yakin itu Mbak Rissa? Setelah perbincangan singkat di depan lift mereka pun kembali pada tempat masing-masing untuk segera memulai pekerjaanya. dreeettt.... dreettt.... "Kia, telfon kamu bunyi terus angkat aja siapa tau penting," ucap Risa, tatkala mendengar dering suara dari handphone Kiara yang sudah beberapa kali berdering. Kia menghentikan jemarinya pada tuts keyboard, lalu melirik dengan ekor matanya ke arah layar handphone dimana tertera nama kontak yang membuatnya jengah, pasalnya itu adalah panggilan dari nomor selalu ia hindari. "Saya permisi angkat telfon dulu ya Mbak," Setelah mendapat respon Risa, ia pun berjalan menjauh menuju tempat yang sepi. "Ha.. . " "Kemana aja kamu, hahh? nggak tau terimakasih... Kamu pikir siapa yang buat kamu bisa seperi sekarang kalau bukan saya yang ngurus kamu.... Gini balasan kamu sama Mamah?" Kiara menjauhkan handphonenya dari telinga saat mendengar pekikan kencang, disertai amarah yang mulai meluap. "Mah, tapi Kia nggak mau." belum selesai Kiara bicara sangat Mamah telah kembali mencecarnya dengan berbagai kalimat. "Kamu tuh, udah malu-maluin saya. Gimana kalau dia dateng lagi dan nanyain kamu, hah? ini sudah hampir dua tahun. Ingat jangan sampai dia marah dan membatalkan pernikahan dengan kamu, terima akibatnya. Kita sudah susah kamu nambah bikin susah, banggain apa sih kamu? ijazah SMA kamu tuh nggak akan kepake, kalo kamu nggak mau nikah sama dia ya udah pergi aja ke Luar negeri tuh sama anak Pak Parmin, gajinya gede. Pulang kamu sekarang! dasar anak durhaka, nggak akan pernah bahagia hidup kamu, makanya hidup kamu selalu susah, sial, karna apa? itu karna kamu durhaka... Anak sialan, nggak tau di untung! Pulang kamu, atau Mamah telfon Rinda," pekik Jasmin, Mamah Kiara. "Jangan, Mah, tolong, tante Rinda ngga tau apa-apa. Nanti setiap bulan Kiara akan transfer Mamah lagi, tapi biarin Kiara disini dan jangan ganggu tante Rinda," ucap Kiara, menahan tangisnya. Ia tak mau menyusahkan tantenya lagi karna ulahnya yang berani kabur dari rumah setelah peristiwa itu. "Kalau gitu segera kirim uangnya, untuk saat ini Mamah akan biarin kamu, tapi ingat kamu harus tetap menikah dengan orang itu." Tutttt... Suara telfon terputus. Darimana Mamah dapet nomer telfon baru aku?. tanya Kia dalam hatinya. Kia mengeratkan kedua matanya "Ah, pasti si Rani, anak itu memang susah untuk menjaga rahasia, sial." Kia meneteskan airmatanya, menangis dalam diam hanya itu yang bisa ia lakukan. Ibunya tak pernah berubah, bahkan sudah jauh pun, sumpah serapah tidak pernah hilang dari pendengaran nya. "Apakah aku durhaka, sehingga hidupku selalu di penuhi kesusahan? Lalu apa itu semua salahku? bukankah setiap orang memiliki hak untuk menentukan hidupnya? lalu kenapa aku tidak bisa menentukan keinginanku?" Kiara membatin. Kiara sudah tak mampu membendung tangisanya, ia terus terisak, hatinya begitu sakit. Tidak ada baginya tempat mengadu atau bersandar, tidak ada yang melindunginya. Seolah hidup sebatangkara di dunia ini, meski masih memiliki keluarga. Ucapan Ibunya mengingatkan Kiara pada luka yang sangat ingin ia lupakan. Kiara lelah menghadapi semuanya. Namun harus berjuang bangkit dari semua keterpurukan, meski dengan sisa harapan. Bukankah manusia hanya bisa berencana dan berusaha? dan itu yang sedang Kiara lakukan sekarang, perihal hasil ia pasrah pada sangat pencipta. Gadis itu yakin bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Kiara menarik nafasnya beberapa kali, menguatkan diri dan tersenyum. Lalu berjalan menuju toilet, untuk membasuh wajahnya dari sisa kesedihan yang selalu ia hindari selama ini. Tanpa Kiara sadari ada seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dengan sorot mata kerinduan. "Cari tau apa yang terjadi dengan keluarga Kiara,"perintahnya, sesaat setelah Kiara pergi dari rooftop. Tanpa menyadari bila ia adalah alasan Kiara di marahi Ibunya. Jika saja lelaki itu sebelumnya tidak sering mencari keberadaan Kiara di rumah. Tentu Jasmin-Ibu Kiara, tidak akan ketakutan dan memaki juga memaksa Kiara segera pulang. Namun siapa sangka, ia tak sengaja bertemu Kiara di sebuah mini market. Mendengar Kiara menanyakan lowongan pekerjaan di minimarket itu. Ia langsung memikirkan sebuah rencana, agar gadis itu dekat dengannya. Kiara pergi setelah memberikan CVnya pada kasir tersebut, dengan segera lelaki itu meminta kontak Kiara pada kasir yang menerima CV Kiara tadi. Tentu saja tidak mudah, lelaki itu harus menghubungi temanya yang tidak lain adalah pemilik minimarket tersebut, barulah setelahnya kasir itu memberikan CV milik Kiara. Itulah alasan kenapa Kiara bisa lolos seleksi pemilihan karyawan yang memang hanya di buka untuk dirinya. Sebab, penerimaan karyawan sudah di tutup beberapa bulan yang lalu. Sebentar lagi Kiara, bersabarlah. Ucap lelaki itu lirih menatap pintu rooftop yang tertutup. Meski sangat menginginkan Kiara segera mengetahui semuanya, namun ia tak boleh gegabah, karna tidak ingin Kiara terluka lagi oleh semua fakta yang akan menambah kesedihannya. Kiara menyeka wajahnya dengan tissu, tidak ingin orang lain melihat kesedihannya. Cukup ia yang merasakan sendiri betapa hancur hatinya saat ini. Meski sudah terbiasa mendengar makian Ibunya, namun tetap saja rasanya menyakitkan. Bahkan dunia pun seolah membenarkan semua serapah itu, bahkan semua orang pun menyalahkannya untunglah ia segera pergi jauh. Sehingga tidak perlu lagi mendengar hujatan mereka yang tidak tau apapun tentang hidupnya. Kiara mengangkat wajah memandangi cermin besar di hadapannya, tersenyum dengan mata yang masih memerah. Semangatt. Kamu bisa Kia. Ya Aku bisa... ucap Kiara lirih, menguatkan diri sebelum kembali kedalam ruang kerjanya. "Sudah telfonnya Ra?" tanya Risa, saat melihat Kiara berjalan mendekat. "Udah, Mbak," jawab Kiara, yang baru saja duduk dan langsung melanjutkan kembali pekerjaannya. "Kiara, kamu kenal Pak Wira?" tanya Risa, menoleh kan kepalanya melihat Kiara yang duduk di samping kursinya. Pak Wira. ucap Kiara lirih. Kiara segera menormalkan rasa gugupnya saat mendengar nama Wira disebut. "Kia?" panggilan Risa menyadarkan Kiara dari lamunan. "Oh, ya Mbak. Aku, aku lupa kayanya hehe, " jawab Kiara, menampilkan deretan gigi putihnya. "Oh, Beliau Direktur Keuangan di sini, kita pernah bertemu di meeting sebelumnya. Meeting berikutnya mungkin ketemu lagi," jelas Risa, dengan mata yang masih focus pada layar komputer di depannya. "Emang kenapa, Mbak?" tanya Kiara dengan dahi berkerut. Heran kenapa tiba-tiba Rissa menanyakan tentang Wira padanya. "Ngga apa-apa, cuma tadi beliau nanya asal kamu dari mana? aku kira kalian saling kenal, soalnya dari sekian banyak karyawan cuma kamu yang ditanya. Tapi aku nggak jawab karena nggak tau," jelas Rissa, apaadanya dan memang benar wanita itu tidak tahu persis kampung halaman Kiara dimana. Kiara menarik nafas dalam, hatinya gusar, khawatir jika Wira mengenalinya? apa yang harus ia lakukan kalau Wira mengenalinya ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD