Bab 17 - Penyesalan Jovanka

1048 Words
“Mmh, Kau mengenal seseorang yang berdiri di dekatku tadi?” tanya Jovanka. “Siapa?” “Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia mengenalmu.” “Haha, aku terlalu famous untuk dikenal. Abaikan saja.” “Mmh,” sahut Jovanka tersenyum pada pria itu. “Kau punya cinta pertama?” tanyanya. Nuke tertawa. “Cinta pertama itu cinta pada pacaran pertama atau gimana?” “Apa saja, kau yang lebih tahu mengenai cinta.” “Hmm, memangnya kau tidak pernah merasakan cinta?” tanya Nuke penasaran. “Pernah, sekarang!” jawabnya. Nuke pun tersipu malu. “Bagus, kukira kau tidak mencintaiku.”Jovanka menyeruput minumannya. “Kenapa kau pilih aku? bukannya Rossie itu jauh lebih cantik dan kaya?” Nuka tertawa renyah. “Cinta tidak memandang harta. Kecantikan hanya sementara.” Jovanka mengangguk. “Kau punya masa lalu yang belum selesai?” tanyanya. Nuke terkejut mendengarnya. “Ada, tapi dia sudah menikah.” Jovanka seperti mendapat celah untuk masalah hatinya. “Oya, dia pasti menyesal karena tidak memilihmu.” “Haha, aku tidak menyesal sama sekali. Entah kalau dia, aku tidak tahu.” “Kalian pernah berkomunikasi setelahnya?” Nuke menggeleng. “Tidak sama sekali. Aku memutuskan untuk melupakannya.” Jovanka terkejut mendengarkan jawaban dari pria itu. “Kenapa? Dia pasti mencintaimu, kan?” “Haha, dia sudah menikah, untuk apa mengingat wanita yang sudah menikah?” “Harusnya kau tanya padanya tentang perasaan wanita itu.” Nuke memegang tangannya. “Jika aku lakukan, terus dia jawab masih mencintaiku, apa kau rela melepasku demi dia?” tanyanya. “Tergantung, jika kau dan dia memang masih saling mencintai, kenapa aku harus mempertahankanmu?” Nuke tersenyum. “Sudahlah, itu lembaran lama. Aku tidak mau mengulangnya lagi.” “Apa kau pergi memang karena kecewa karena dia menikah?” tanya Jovanka lagi. “Haha, tentu tidak! Aku tidak mencintainya lagi saat itu, maksudku lebih ke ham-bar.” Jovanka lemas mendengarnya. Hari ini dia sudah mendapatkan jawaban itu. Pantas saja Nuke tidak pernah berusaha mencarinya atau menghubunginya lagi. Jovanka melamun dengan perasaan sedih. Nuke membunyikan jarinya, membuat wanita itu terkejut. “Itu masa laluku, jangan terlalu dipikirkan. Sekarang aku ingin menjalani hubungan serius denganmu.” Aku itu Jovanka, wanita yang sudah kau lupakan! gumamnya dalam hati. Jovanka tersenyum palsu, merasa kasihan pada dirinya sendiri. Selama ini mengharapkan pertemuan yang nantinya bisa melepaskannya dari Calvin. Ternyata, Nuke tidak lagi mencintainya. * Jovanka merasa tidak terima karena Nuke telah membuatnya kesal. Wanita itu menangis dan melempar semua benda di kamar Ayana. Earl yang baru saja pulang kerja langsung kaget mendengar keributan dari kamar sahabatnya. “Ayana!” panggilnya. “Pergi! Aku gak mau bicara sama siapa pun.” “Eh, jangan gitu. Ceritakan padaku, apa yang terjadi?” “Kau bukan sahabatku, tapi sahabat Ayana!” Earl mengerutkan kening dan tersenyum singkat. “Jovanka, jika kau mau, aku bisa jadi sahabatmu juga.” “Enggak, aku ingin tenang.” “Oke, aku mau pesan pizza, apa kau mau?” tanya Earl. Jovanka menyeka matanya. Dia memang sangat lapar setelah marah-marah sendiri di kamar. Earl tidak mendengar jawabannya. Pria itu mendekatkan telinganya di pintu dan malah terkejut karena Jovanka membuka pintu dengan tiba-tiba. “Aah. Kau buat aku kaget!” “Mana pizzanya?” tanya Jovanka. “Baru mau aku pesan. Sabar! Cuci lah mukamu dan minum segelas air.” Jovanka melangkah ke kamar mandi dengan wajah manyun. Wanita itu membasuh wajahnya kemudian mengeringkannya. Setelah itu Jovanka ke dapur untuk meneguk air sampai dua gelas. Earl menghampirinya dan memandangi wajahnya. “Kenapa gelap sekali?” tanyanya. Jovanka melirik sinis. “Gelap apanya?” tanyanya balik. “Wajahmu gelap, tidak ada senyuman hari ini. Apa pekerjaanmu gagal?” tanya Earl. “Aagghh! Bukan!” bentaknya sampai Earl mengerutkan wajah. “Jadi?” “Nuke keterlaluan!” jawabnya terpancing cara Earl mendekatinya sebagai seorang sahabat. “Nuke, pria yang ada di masa lalumu itu?” Jovanka mengangguk. “Ya.” “Dia melakukan apa padamu? Katakan? Aku akan menghabisinya,” ujar Earl, melipat kemeja lengan panjangnya dan berekspresi marah. “Hiks, hiks, hiks!” Jovanka malah mewek. Earl mendekatinya dan memeluknya. “Tenanglah, kau sudah aman bersamaku.” “Kenapa aku sangat bodoh?” tanyanya. “Karena kau memang bodoh,” jawab Earl. “Aaahh, kenapa kau tidak membelaku?” “Karena aku harus jujur.” Jovanka malah tertawa kemudian melemparnya dengan tisu. “Kau sahabat macam apa? kenapa tidak membela sahabatnya?” Earl cekikikan dan meminta damai pada Jovanka. Kedua tangannya kembali terbuka kemudian memeluk wanita itu. Menyeka air matanya yang membasahi wajah cantik Ayana. “Ada apa? kenapa kau kesal pada wanita itu?” “Aku kira dia masih mencintai Jovanka, ternyata tidak lagi.” “Terus?” “Aku bodoh, selama ini terus mengharapkannya dan cuek pada suamiku sendiri,” lanjut Jovanka. “Suami?” Earl mau gila rasanya. Dia masih berhalusinasi tentang suami. “Iya, namanya Calvin.” “Oke, terus?” “Dia pria sempurna yang aku cuekin selama 4 tahun hanya demi menginginkan kepastian dari Nuke.” Earl merasa dia benar-benar mengutarakan ceritanya dengan jujur. “Kau ingin apa sekarang?” tanya Earl. “Ingin memberi pelajaran pada Nuke karena berani-beraninya melakukan itu padaku.” “Terus?” “Aku ingin kembali dan meminta maaf pada Calvin.” “Kembali ke mana?” “Ke tempatku berasal.” “Di mana?” “Di It-“ Jovanka merasakan dadanya sesak ketika ingin mengatakan kata ‘Italia’ seakan ditahan dan tidak boleh diucapkan. “Kau kenapa?” tanya Earl panik. “Tubuhku terasa sesak.” “Aku akan mengambilkan minyak. Tunggu sebentar!” Earl berlarian ke kamar dan mengambil minyak kayu putih. Jovanka merasa heran. Kenapa aku gak bisa bilang Italia? Apa aku tidak boleh mengatakan asalku? Aah, aku sampai kapan di sini? Ayana bisa merebut hati suamiku. Tuhan! Kembalikan aku. Earl kembali membawa minyak angin dan meminta Jovanka mengoleskan minyak itu ke leher sampai dadanya. Jovanka meminta Earl berbalik, tidak mau tubuhnya dilihat oleh pria tersebut. Bel rumah mereka berbunyi, menandakan pizza pesanan sudah tiba! Earl mengambilnya kemudian membayar orderan itu. “Pizzanya sudah ada!” jerit Earl dan langsung membawanya ke ruang makan. “Bawa ke ruang tv aja, aku mau makan sambil menonton,” pintanya. “Oke! Kau masih sesak?” Jovanka menggeleng dan menyusul Earl menuju ruang nonton.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD