Bab 15 - Pagi Memeluk Ayana

1232 Words
Keesokan paginya. Ayana terbangun lebih dulu, nafasnya membentur tubuh seseorang dan merasakan panas mengalir dari sesuatu yang dipeluknya. Ayana memeluk tubuh Calvin seperti guling. Pria itu masih tidur dengan posisi menghadap langit-langit sementara dirinya miring. Calvin? Kenapa dia bisa di sini? Ayana menatap lekukan wajah pria di sampingnya. Sangat sempurna dan membuatnya jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang menyandar di atas dadanya bisa merasakan bidang tubuhnya yang sangat keras. Ayana tersenyum. Tiba-tiba Calvin bergerak, Ayana kembali memejamkan mata dan melihat Ayana masih tidur. Perlahan dia menurunkan tangan serta kakinya yang menimpa tubuhnya. Calvin berdiri, menatap wanita itu dari dekat. Aku hanya ingin memeluk tubuh istriku saat tidur, bukan ingin berdekatan dengan Ayana, bisiknya kemudian pergi dari kamar. Ayana membuka matanya, mengetahui alasan dari sikapnya tadi malam. Calvin tidak bisa tidur kalau tidak memeluk Jovanka? tanyanya dalam hati, merasa heran. Wanita itu segera bangun, duduk di tempat tidur, menatap ke arah jendela yang terbuka sedikit. Mentari belum meninggi dan dia menyadari kalau Tuhan masih menahannya di tubuh Jovanka. * Setelah selesai mandi, Ayana turun dan menuju ke dapur. Berniat membuatkan sarapan untuknya dan Calvin, itu pun jika dia mau memakannya. Saat Ayana sudah selesai masak. Matanya mengawasi Thalia yang sedang berjalan ke arah pintu, koper dibawa juga bersama dengannya oleh salah satu pelayan. "Ma, mau ke mana?" tanya Ayana, mengejar wanita itu. "Bukan urusanmu," jawabnya. "Ma, aku bawakan sarapan ya?" "Haha, sejak kapan kau masak?" "Mmh, sejak kemarin." "Aku tidak akan memakannya, lebih baik kau berikan saja pada kucing. Pasti rasanya tidak enak. Aku tidak mau menyakiti lidahku." Ayana terdiam dan menunduk. Pelayan menatap ke arah wanita itu. Termasuk Calvin yang melihat kejadian itu secara langsung dari lantai dua. Thalia pergi dan tidak menggubris Ayana. "Nyonya baik-baik saja?" tanya Rosita. "Ya," jawabnya lalu tersenyum. Ketika Ayana berbalik, dia melihat Calvin di atas sedang melihat ke arahnya. Ayana menundukkan pandangan, berjalan kembali ke dapur. Calvin turun, menghampiri Rosita dan memintanya membuatkan sarapan lalu mengantarkannya ke halaman belakang. Ayana melihat hasil masakannya di meja, terlalu banyak untuk satu orang. "Rosita, makanan ini terlalu banyak - apa kau mau mencicipinya?" "Mmh, boleh kalau Nyonya memberikannya." Rosita tersenyum. Ayana membagi dua makanan itu ke dua piring kemudian memberikannya pada wanita yang sedang membuatkan Calvin sarapan. Mereka sedang bertengkar ya? Kenapa satu makan di dalam dan satu di luar? Hmm, aneh-aneh saja, gumam Rosita. Rosita punya ide untuk memasukkan makanan buatan Ayana ke menu sarapan Calvin. Daripada dia yang makan, lebih baik suaminya. Hitung-hitung usaha agar mereka kembali akur. Ayana melihat pelayan itu lewat dengan talam besar berisi makanan dan minuman. Ayana menghela napas panjang, meletakkan sendok garpunya kemudian bersandar di kursi. Dia tidak berselera makan pagi ini dan membiarkan semuanya di meja, memilih pergi ke halaman depan. Ayana melakukan senam pagi dengan gerakan ringan. Menarik sendi-sendi tubuhnya. Seorang pria yang merupakan supir pribadi Calvin tersenyum saat melihat wanita itu senam, tidak pernah seumur-umur Jovanka melakukan itu di halaman. "Hei, kenapa tertawa? Ada yang lucu?" tanya Ayana. "Oops, maaf, Nyonya. Biasa kalau senam itu harus pakai baju olahraga. Belum pernah saya lihat orang senam pakai dress bunga-bunga." Ayana terhenyak, menatap tubuhnya kemudian tertawa cekikikan. "Haha, Benar juga katamu! Tapi, mau bagaimana lagi, di lemariku tidak ada baju olahraga." Pria itu tersenyum tipis. "Minta Tuan Calvin membelikannya." "Ahaha, tidak mau. Aku tidak mau merepotkannya." Mereka tertawa bersama dan berbicara panjang lebar mengenai sesuatu yang dilihat di halaman itu. Ayana bersyukur karena ada orang yang bisa diajaknya bercerita meski ceritanya kadang ngawur. Calvin selesai sarapan, hendak menuju kamarnya untuk bertukar pakaian dan mengambil tas kerjanya. Namun, matanya memergoki Ayana sedang tertawa dengan supirnya. Pria itu membatalkan langkah menuju tangga dan memilih mendekati jendela, mencari tahu pembicaraan apa yang sudah membuat wanita itu bahagia? Calvin tidak sengaja melihat piring makan Ayana yang masih bersisa, alisnya bertautan. "Menu itu masakannya?" tanyanya bernada rendah. Dari 4 menu yang dibawa Rosita, hanya dua yang habis tak bersisa. Salah satunya milik Ayana. Calvin tidak tahu kalau ternyata Rosita menyelipkannya bersama sarapan lain. Calvin berdiri di dekat jendela, menyeka gordennya sedikit. Mencuri dengar percakapan mereka. "Kau tahu lokasi perpustakaan di dekat sini, Freed?" tanya Ayana. "Ya, Nyonya! Tidak jauh ke arah kota. Sekitar 10 menit bila diantar menggunakan mobil." "Aah, kalau jalan kaki?" "Kenapa harus jalan kaki? Di sini ada dua mobil, Nyonya bisa gunakan mobil itu," jawabnya menunjukkan ke arah mobil sedan berwarna hitam di depan garasi yang sedang dicuci oleh seseorang. "Ahaha, aku tidak mungkin menggunakannya." "Nyonya, itu milik suami anda. Mengapa merasa segan?" Ayana tersenyum malu dan mengangguk. Calvin menjauh, melanjutkan niatnya untuk ke kamar. Setelah dia turun, Calvin melihat istrinya baru saja masuk dengan wajah sumringah. Ayana bingung, mau ditegur atau tidak? Akhirnya dia memutuskan untuk menyapanya. "Kamu mau pergi?" Calvin bersikap dingin dan tidak menjawabnya. Memilih pergi begitu saja dan langsung naik ke dalam mobil. Ayana berbalik, melihat pria itu melaluinya dan cuek. Calvin menoleh sebentar saat Ayana menunduk kemudian meminta Freed secepatnya pergi. Ayana tersenyum sendiri, menghibur hati yang benar-benar lucu dianggap asing oleh pria itu. Ayana menuju ruang makan, membenahi makanan yang tidak dihabiskannya kemudian mencuci semuanya. "Nyonya, kenapa anda yang melakukannya?" tanya seseorang. "Haha, tidak apa-apa. Aku terbiasa melakukannya." Ayana kemudian pergi ke kamar. Berganti pakaian dan beranjak ke toko buku yang sudah ditanya Ayana tadi pada Freed. Seorang pria memanggil Ayana saat dirinya mau pergi dari rumah. Ayana menoleh. Pria itu menawarkannya mobil untuk mengantarkan dirinya ke perpustakaan. Ayana menerimanya, tapi tidak mau ditungguin dan berjanji akan pulang sendirian dengan selamat. Ayana mencari buku mengenai pertukaran jiwa dan ingin tahu caranya kembali ke jiwa yang sesungguhnya. Dia tidak menemukannya di toko buku tersebut dan melanjutkan perjalanan ke toko lainnya. Sesuai referensi, buku itu berkaitan dengan ilmu sosiologi. Akhirnya Ayana sampai di perpustakaan umum. Pria penjaga perpustakaan itu sangat mengenal Jovanka dari Calvin. Dia pernah bertemu dengan mereka berdua dalam acara sosial. Ayana bingung saat pria itu menyapanya ramah. Bahkan dia mengantarkan Ayana ke rak buku yang dicarinya. Wanita itu mendapatkan beberapa referensi, perlahan-lahan dia membacanya. Meski informasi yang di dapat membuatnya tertawa sendiri sebab, menurut teori pertukaran jiwa dianggap salah satu gangguan jiwa karena sedang berhalusinasi. Beberapa jam kemudian, Ayana masih terus membaca dan mencarinya sampai lupa waktu. Dia melihat jam tangannya, sudah malam dan harus segera kembali. Menggunakan taksi, Ayana tiba di rumah pukul 9 malam. Calvin menunggunya di ruang tamu, sambil mengerjakan pekerjaannya. Mendengar suara bel, Calvin pun melepas laptopnya di meja, duduk bersandar dan menaikkan satu kakinya bertopang di atas kaki lain. Rosita membukakan pintu. "Nyonya, dari mana saja?" "Aku ada urusan. Terima kasih sudah membukakan pintu," ujarnya. Ayana melihat Calvin, tapi tidak menyapanya dan mengabaikannya sama seperti dirinya yang mengabaikan dia tadi pagi. Ayana segera naik ke lantai dua. "Nyonya sudah makan malam?" tanya Rosita. "Sudah," jawabnya singkat. Ayana segera membersihkan diri dan tidur. Namun, ketika Calvin masuk untuk tidur bersama dengannya, Ayana terbangun, tanpa membuka mata, merasakan setiap langkah pria itu dan tetap menyusup ke sampingnya. Memeluk Ayana dan mendaratkan kecupan di keningnya sebelum tidur. Keesokan harinya masih seperti kemarin. Calvin lebih dulu bangun, berusaha agar Ayana tidak tahu bahwa dirinya tidur bersama dengannya selama beberapa hari ini. Nyatanya, Ayana menyadari itu dan tidak menegurnya sama sekali bahkan Ayana merasa lebih nyaman bisa istirahat bersama dengan pria tersebut. Ayana mengelus tangannya, kulit putih yang berambut lebat itu terlihat menggoda. Ayana bisa merasakan nafasnya berhembus dari belakang. Aku kenapa merasa nyaman bersamanya? Andai dia mau mempercayaiku, mungkin Calvin bisa lebih menghargai aku sebagai Ayana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD