bc

Marriage Agreement

book_age16+
158.9K
FOLLOW
590.6K
READ
billionaire
contract marriage
arranged marriage
CEO
boss
drama
sweet
bxg
office/work place
naive
like
intro-logo
Blurb

“Ayo, Pak. Menikah,” kata Nathasya mencoba setenang mungkin.

Bramuda menelengkan kepalanya. Ia menatap Nathasya dengan kening berkerut. “Apa?” tanya Bramuda tampak bingung.

“Saya menyetujui tawaran Bapak untuk menikah dengan Bapak,” kata Nathasya lagi.

“Kamu sedang mabuk?”

“Nggak, Pak! Saya nggak sedang mabuk! Saya itu sedang putus asa. Makanya ayo menikah. Beri saya uang yang Bapak janjikan. Saya rela menjual diri saya demi uang itu,” ucap Nathasya mencoba menahan air mata untuk tidak jatuh dari matanya. Namun, usahanya itu gagal. Pipinya kini sudah dibanjiri air mata yang menjatuhkan diri seenaknya.

***

Ibu Nathasya terjerat hutang ratusan juta, membuat Nathasya harus banting tulang untuk melunasi hutang tersebut. Namun, sekeras apa pun Nathasya bekerja, sepertinya ia tak akan pernah mendapatkan uang sebanyak itu. Hingga suatu hari bosnya, Bramuda Wicaksana, menawarinya perjanjian kerjasama untuk menikah dengannya dan menjanjikan uang sebanyak yang Nathasya butuhkan. Hal ini membuat Nathasya dilema. Di satu sisi ia memang membutuhkan banyak uang, dan di lain sisi, menikah kontrak dengan pria dingin dan menakutkan seperti Bram adalah bencana.

Wedding photo created by jcomp - www.freepik.com

chap-preview
Free preview
Bab 1
Nathasya berjalan memasuki lift. Tatapannya terlihat kosong. Namun, lain hal dengan pikirannya. Saat ini otak Nathasya sedang penuh memikirkan hutang ratusan juta milik ibunya. Tadi, sebelum ke kantor, ibunya menelepon dan mengatakan bahwa beliau butuh uang banyak. Beberapa bulan yang lalu uang untuk modal usaha membuka toko roti dibawa kabur oleh Hendi, pacar ibunya. Karena sedang butuh uang untuk modal usaha, ibunya pun akhirnya memilih untuk meminjam uang dari rentenir dengan bunga selangit. Dan kini, hutang itu berkembang menjadi ratusan juta. Ibunya tak tahu harus melunasi hutang tersebut dengan cara apa karena toko rotinya pun sepi pelanggan.     “Nath,” panggil suara di belakang Nathasya yang membuatnya menoleh ke belakang. Dilihatnya Bramuda, bosnya tengah menatapnya dengan raut wajah serius.     “Eh, iya, Pak?”     “Saya bilang, tolong pencet tombol lantai 16.”     Buru-buru Nathasya mengangguk dan memencet tombol tersebut. Karena sibuk melamun, Nathasya sampai tidak menyadari bahwa atasannya berada di satu lift dengannya. Ditambah, saat ini hanya ada mereka berdua di ruangan sempit itu. Mendadak, ia merasakan udara di sekelilingnya menjadi berat. Keberadaan Bramuda begitu mengintimidasi hingga membuat Nathasya ketakutan.     “Kamu sudah menghubungi Bu Wiona?”     Nathasya diam sejenak, lalu ia menoleh ke belakang, menatap Bramuda yang tengah memperhatikannya. Kening pria itu berkerut, tampak menunggu jawaban dari Nathasya.     “Bu Wiona, Pak?” tanya Nathasya kebingungan. Sebenarnya Nathasya tadi tak yakin jika Bramuda berbicara dengannya.     “Tiga hari yang lalu saya kan nyuruh kamu buat bilang ke Bu Wiona kalau siang nanti saya mau adain rapat buat bahas iklan produk yang akan kita luncurkan bulan depan. Kamu belum bilang ke Bu Wiona?” tanya Bramuda memasang wajah siap menghajar Nathasya. “Atau jangan-jangan kamu lupa masukin jadwal rapat hari ini di jadwal saya?”     Buru-buru Nathasya mengangguk. “Udah, Pak,” jawabnya. “Rapat dengan Bu Wiona dan tim nanti jam satu.”     Bramuda mengalihkan pandangan dari Nathasya ke arah pintu lift yang terbuka. “Ini masih pagi, Nath. Jangan hilang fokus. Saya nggak mau jadwal saya berantakan gara-gara kamu yang nggak becus kerja.”     Nathasya menunduk dalam. “Maaf, Pak,” ucapnya.     “Panggil Darma ke ruangan saya,” katanya lagi seraya berjalan keluar dari lift.      “Baik, Pak.”     Nathasya berjalan di belakang Bramuda. Baru beberapa langkah ia melihat bosnya itu berbalik dan menatap Nathasya dengan kening berkerut.     “Darma,” ucapnya mengingatkan Nathasya untuk memanggil rekan kerjanya.     “Iya, Pak. Saya mau naruh tas dulu di meja saya.”     “Saya bilang panggil Darma sekarang,” kata Bramuda tak mau dibantah.     “Iya, Pak. Baik,” balas Nathasya seraya berbalik dan berjalan menuju ruang kerja Darma yang berada di dekat pantri.     Nathasya mendengus. Sepertinya hari ini bosnya sedang dalam mode marah-marah. Dan kondisi Nathasya saat ini bisa membuat mood bosnya semakin buruk. Karena, Nathasya sedan tidak bisa fokus bekerja. Yang ada di kepalanya saat ini adalah bagaimana caranya mendapatkan uang ratusan juta untuk membayar hutang ibunya? ***     “Dasar Hendi berengsek,” maki Nathasya ketika mengetahui bahwa nomor ponsel pacar ibunya tidak aktif.     Padahal, Nathasya sudah pernah bilang kepada ibunya jika ia tidak suka dengan Om Hendi, pacar ibunya. Om Hendi adalah seorang duda yang tidak memiliki anak. Istrinya meninggal ketika usia pernikahan mereka menginjak lima tahun. Lalu, sekitar satu tahun yang lalu ibunya berkenalan dengan pria itu hingga akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Sejak awal Nathasya menentang hubungan mereka. Ia tak suka melihat ibunya berkencan dengan pria yang usianya lebih muda. Belum lagi, pria itu pengangguran. Ya, pria itu hanya bermodalkan tampang saja. Andai ibunya dulu mendengarkan Nathasya mungkin pria itu tak akan membawa lari uang ibunya.     Nathasya memijit pelipisnya, mencoba meredakan sakit kepalanya. Memikirkan hutang ibunya membuat dirinya kelimpungan sendiri. Tabungannya saat ini masih jauh dari kata cukup untuk melunasi hutang ibunya.      “Nath, kalau Nancy nyari saya bilang kalau saya nggak ada. Pokoknya jangan kasih masuk ke ruangan saya.”     Nathasya sedikit terlonjak kaget ketika mendengar suara bosnya itu.     “Baik, Pak,” jawabnya, mengamati Bramuda yang berjalan memasuki ruangannya.     Setahu Nathasya, Nancy adalah kekasih Bramuda. Nathasya kerap melihat Nancy ke kantor untuk menemui bosnya itu. Beberapa teman kerjanya menganggap Nancy dan Bramuda sangat cocok karena sama-sama rupawan. Nathasya sendiri tidak pernah memikirkan hubungan mereka.     Tak berapa lama kemudian Nathasya melihat Nancy datang. Wanita berpostur tinggi dan langsing itu berjalan mendekat ke arah ruangan Bramuda. Buru-buru Nathasya bangkit untuk mencegah Nancy memasuki ruangan bosnya itu.     “Maaf, Pak Bramudanya sedang keluar,” kata Nathasya yang saat ini sudah berdiri di depan pintu ruangan Bramuda.     Nancy melepaskan kacamata hitamnya dan menatap Nathasya dengan tampang bosan. “Mobilnya Bram ada di parkiran,” balasnya dengan nada jutek.     Nathasya mengangguk. “Pak Bramuda sedang ada rapat di bawah.”     Nancy menatap Nathasya malas. “Ya udah, gue tunggu Bram di dalam,” ucapnya hendak  melangkah melewati Nathasya.     “Maaf, nggak bisa, Mbak,” kata Nathasya lagi menghalangi Nancy masuk ke dalam ruangan Bramuda.     “Lo nggak tahu siapa gue?” Nancy menatap garang ke arah Nathasya.     “Tahu, Mbak Nancy. Tapi, Pak Bramuda sedang nggak ada di ruangannya. Kalau Mbak mau, Mbak bisa tunggu Pak Bramuda di ruang tunggu depan.”     “Lo nggak sopan, ya. Gue itu pacarnya Bram. Bisa-bisanya lo nyuruh gue nunggu Bram di ruang tunggu.”     “Sekali lagi, maaf, Mbak. Tapi—”     “Minggir!” bentak Nancy seraya mendorong tubuh Nathasya ke samping hingga hampir jatuh. Lalu wanita itu langsung membuka pintu ruangan Bram dan masuk ke dalam.     Nathasya buru-buru menyusul Nancy ke dalam ruangan.     “Bram! Bisa-bisanya semalam kamu nggak datang. Aku nungguin kamu sampai restorannya tutup!” kata Nancy kepada Bram penuh amarah.      Nathasya yang hendak menarik lengan Nancy sontak membatu ketika melihat bosnya sudah melayangkan tatapan tajam ke arahnya.     “Maaf, Pak,” kata Nathasya hampir tanpa suara.     “Kenapa telepon aku nggak kamu angkat? Kamu marah sama aku? Atau jangan-jangan kamu udah bosan sama aku? Oh, atau malah kamu udah ada cewek lain?” tanya Nancy lagi masih menggebu-gebu.     Bramuda memberi isyarat kepada Nathasya menyuruhnya keluar. Cepat-cepat Nathasya berjalan mundur hingga keluar dan menutup pintu ruangan Bramuda.      Ketika Nathasya kembali ke mejanya yang berada di depan ruangan Bramuda, ia langsung dihampiri beberapa rekan kerjanya.     “Lagi berantem?” tanya Caca kepadanya.     “Nggak tahu,” jawab Nathasya.     “Gue baru lihat Mbak Nancy marah sampai bentak-bentak lo gitu. Gue pikir dia lemah lembut yang nggak bakal bisa marah sama orang,” kata Visha.     Caca mengangguk setuju. “Gue jadi penasaran mereka ngomongin apa,” ucap Caca lagi.     “Apa pun itu nggak penting buat hidup kalian. Udah sih, sana balik kerja.”     “Penting lah! Kalau mereka berantem dan akhirnya putus, kan berarti gue masih ada harapan buat dapetin Pak Bramuda.”     “Iya bener!” sahut Visha. “Emang lo nggak penasaran apa, Nath?”     Nathasya menggeleng. “Nggak peduli,” jawabnya. Yang Nathasya pedulikan saat ini adalah uang agar bisa membayar hutang ibunya. Memikirkan itu saja sudah membuat Nathasya pusing. Mana ada waktu untuk memikirkan masalah bosnya.     Setelah obrolan singkat itu, Caca dan Visha akhirnya kembali ke meja kerjanya. Nathasya sendiri sibuk mencari lowongan kerja di internet. Ia bermaksud untuk mengisi akhir pekannya dengan bekerja. Siapa tahu dengan begitu ia akan mendapatkan uang tambahan.      Nathasya melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah jam satu lebih lima belas. Lalu Nathasya ingat jika bosnya ada rapat jam satu siang dengan Bu Wiona. Nathasya melirik ruangan bosnya yang tertutup. Samar-samar ia bisa mendengar pertengkaran Bramuda dan Nancy.      Dengan jantung berdegup cepat, Nathasya bangkit dari duduk dan berjalan ke arah ruangan bosnya. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan itu. Sebenarnya berada di tengah-tengah pertengkaran mereka itu cukup berisiko. Namun, membiarkan Bramuda telat ke rapat yang dinantikannya jauh lebih berisiko.     “Kamu bilang putus?” tanya Nancy dengan nada tidak percaya.     “Maaf, Pak,” kata Nathasya menyela.      “Lo nggak usah ikut campur!” bentak Nancy menoleh ke arah Nathasya.     “Ada apa, Nath?” tanya Bramuda mengabaikan Nancy. Pria itu tampak sudah lelah mendengar ocehan Nancy.     “Rapat sama Bu Wiona.”     Bramuda mengangguk. Lalu ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Nathasya.     “Bram, kamu mau ke mana? Masalah kita belum selesai!” teriak Nancy marah.     Bramuda berhenti dan menatap Nancy dengan tatapan tak acuh. “Masalah kita sudah selesai saat saya bilang kita putus,” kata Bramuda tanpa perasaan. “Antar dia keluar, Nath,” perintahnya seraya keluar dari ruangannya.     “Baik, Pak,” balas Nathasya. Lalu ia menatap Nancy yang menatap kepergian Bramuda dengan tatapan tak percaya. “Mari, Mbak,” ucap Nathasya yang dibalas Nancy dengan lirikan tajam.     Kemudian, tanpa berkata apa-apa, Nancy berderap pergi meninggalkan ruangan Bramuda.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mengikat Mutiara

read
142.1K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
525.9K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

Perfect Marriage Partner

read
809.8K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.1K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook