Bab 2

1063 Words
Nathasya menatap kosong arah depannya. Matanya tampak sembab karena habis menangis semalaman. Di saat dirinya sedang ada masalah karena hutang ibunya,  Darian malah bertingkah. Pacarnya itu tiba-tiba marah tanpa alasan yang jelas. Nathasya pusing.     “Nath, nggak masuk?”     Nathasya tersadar dari lamunannya. Saat ini pintu lift sudah terbuka. Di dalam sana sudah ada Bramuda yang tengah menatapnya dengan tatapan tidak sabar.     “Oh, iya, Pak,” jawab Nathasya seraya memasuki lift. Lalu ia memencet tombol 16, lantai yang mereka tuju.     “Dari kemarin saya perhatiin kamu jadi sering melamun,” ucap Bramuda menatap Nathasya dengan sebelah alis terangkat.     “Maaf, Pak.”            “Jangan bawa masalah pribadi ke kantor. Saya nggak mau urusan kantor jadi berantakan.”     Nathasya menunduk. “Baik, Pak.”     Bramuda mengangguk. “Jadi, berkas yang saya minta udah kamu siapin?”     “Sudah, Pak. Nanti saya antar ke ruangan Bapak,” jawab Nathasya.     “Oh iya, nanti kalau Nancy datang ke kantor bilang kalau saya nggak mau ketemu,” kata Bramuda lagi. “Bagaimanapun caranya jangan kasih Nancy masuk ke ruangan saya. Ngerti?”      Nathasya mengangguk. “Iya, Pak.”     Pintu lift terbuka. Bramuda berjalan keluar dari lift diikuti oleh Nathasya.     “Sebelum kamu ke meja kerjamu, sebaiknya kamu ke toilet dulu, Nath,” ucap Bramuda seraya menoleh ke arah Nathasya yang berada di belakangnya.     Nathasya menatap Bramuda dengan tatapan bingung. “Saya nggak pengen buang air, Pak.”     “Wajah kamu kelihatan sembab. Cuci muka atau tebelin make up kamu biar sembabnya nggak kelihatan.”     “Tapi—”     “Sana. Sekalian beliin saya kopi.”     Nathasya menghela napas dalam. Ini masih terlalu pagi untuk menerima perintah Bramuda.      “Kamu mengeluh?” tanya Bramuda dengan sebelah alis terangkat.     Buru-buru Nathasya menggeleng. “Nggak, Pak. Baik, saya akan ke toilet habis itu beliin Bapak kopi,” jawab Nathasya memaksakan senyum lebar.     Bramuda mengangguk-anggukan kepala, tampak puas. “Oke,” katanya singkat seraya berbalik dan kembali berjalan menuju ruangannya.     Nathasya mendengus kesal. Memangnya kenapa kalau wajahnya sembab? Apa sejelek itu wajah sembabnya hingga membuat bosnya malas untuk melihatnya? Lalu, kenapa tiba-tiba minta dibeliin kopi? Padahal bosnya itu jarang minta dibelikan atau dibuatkan kopi.     Bramuda memang kadang-kadang menyebalkan. Sebenarnya pekerjaan yang dilimpahkan kepada Nathasya tidak begitu sulit. Hanya saja, bosnya itu memiliki aura mengintimidasi yang kuat. Nathasya sering dibikin was-was setiap kali diajak bicara oleh Bramuda. ***              Ketika Nathasya hendak mengantarkan kopi pesanan bosnya, ia melihat Nancy keluar dari lift. Wanita itu pasti mau menemui Bramuda.     “Maaf Mbak Nancy, Pak Bramuda sedang tidak bisa ditemui,” kata Nathasya buru-buru menghampiri Nancy.     “Dia di dalam?” tanya Nancy terdengar marah.     “Pak Bramuda sedang sibuk, Mbak,” jawab Nathasya sopan.     “Bagaimanapun caranya, gue harus ketemu sama Bram,” ucap Nancy lagi seraya berjalan melewati Nathasya.     Dengan cepat Nathasya berlari mengikuti Nancy dan kembali menghadangnya. “Maaf Mbak, Pak Bramuda sedang tidak bisa ditemui. Kalau Mbak mau, Mbak bisa bikin janji temu sama Pak Bramuda di lain waktu.”     “Lo nyebelin amat, ya!” seru Nancy semakin marah. “Minggir, nggak?”     Nathasya masih berdiri di depan Nancy. “Maaf, Mbak.”     Tangan Nancy mendorong tubuh Nathasya, membuatnya sedikit limbung. Tapi, dalam hitungan detik Nathasya kembali pada posisi bertahan. Ia menghalangi Nancy dengan sebelah tangannya karena tangan yang satu tengah memegangi kopi pesanan Bramuda.      “Lo rese amat sih, jadi orang!” teriak Nancy seraya menjambak rambut panjang Nathasya. Membuat Nathasya mengaduh kesakitan. “Seperti yang gue bilang tadi, bagaimanapun caranya, gue akan masuk ke ruangan Bramuda dan ketemu sama dia!”     “Mbak, sakit,” kata Nathasya mencoba menarik tangan Nancy dari rambutnya. “Tolong lepasin.”      Sambil mendengus kesal, Nanacy melepaskan tangannya dari rambut Nathasya yang sudah berantakan. “Makanya minggir,” ucap Nancy tajam seraya mendorong Nathasya supaya tidak menghalangi jalannya.     “Maaf, Mbak. Mbak Nancy nggak bisa ketemu sama Pak Bramuda,” kata Nathasya kembali menghalangi Nancy.     Dengan geram Nancy menyambar kopi di tangan Nathasya dan menyiramkannya ke badan Nathasya. Membuat Nathasya memekik kaget. Beruntung kopi itu sudah mendingin dan tidak akan melukai kulitnya. Kini kemeja putih yang dipakainya berubah warna jadi cokelat.     “Tolong panggil sekuriti,” kata suara di belakang Nathasya.     “Bram!” seru Nancy terdengar merana.     Nathasya menoleh ke arah bosnya yang saat ini sedang mengamatinya. Lalu bosnya itu kembali menatap mantan pacarnya yang sudah berjalan mendekat ke arahnya.     “Apa saya perlu mempermalukan Anda di depan karyawan saya?” tanya Bramuda terdengar dingin. Ucapan Bramuda itu membuat Nathasya mengamati sekitar. Dan benar saja, ternyata saat ini dirinya dan Nancy tengah menjadi tontonan koleganya.     “Kamu kok tega sih, Bram sama aku? Memangnya apa yang udah aku lakuin sampai bikin kamu memperlakukanku kayak gini?” Nancy menatap Bramuda dengan mata berkaca-kaca.     “Sikap Anda kampungan. Saya muak. Silakan pergi dari kantor saya dan jangan pernah kembali,” ucap Bram lagi. “Terima kasih.”     “Aku bakal aduin kamu ke Mama,” kata Nancy mengancam.     “Silakan.”     Dua sekuriti keluar dari lift dan berjalan ke arah kami. Bramuda menunjuk Nancy dengan dagunya, memberi isyarat kepada mereka untuk membawa pergi Nancy.     “Yang lain silakan kembali bekerja,” ucap Bramuda menatap sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Nathasya. “Dan kamu, ke ruangan saya.” Bramuda berbalik, lalu berjalan menuju ruangannya.      Nathasya mengikuti di belakang. Tangannya bergerak ke arah kemejanya yang kotor, mencoba mmebersihkannya. Tapi tentu saja tidak bisa. Nathasya jadi ragu jika noda ini akan hilang meskipun nanti dicuci.     “Kenapa kamu malah berantem sama Nancy, sih, Nath?” tanya Bramuda yang saat ini sudah duduk di kursinya.     “Saya nggak berantem, Pak. Saya hanya menghalangi Mbak Nancy buat ke ruangan Bapak. Seperti perintah Pak Bramuda tadi,” jawab Nathasya terdengar capek. Ya, fisik dan mental Nathasya saat ini sedang sangat lelah.     Bramuda mengangguk. “Lalu, mana kopi saya?”     Nathasya menarik kemeja bagian depannya yang kotor, memperlihatkan kopi yang saat ini hanya tinggal noda. “Tumpah, Pak,” ucap Nathasya. “Akan saya belikan lagi.”      Bramuda menghela napas dalam. “Nggak perlu. Ambilkan saja berkas yang saya minta tadi,” ucapnya. “Dan tolong kosongkan jadwal saya besok dari jam sepuluh sampai jam satu.”     Nathasya mengangguk. “Baik, Pak. Nanti saya akan atur ulang jadwal Bapak,” balas Nathasya.     “Oke.”     “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.”     Bramuda mengangguk.     Nathasya berajalan meninggalkan ruangan Bramuda. Namun, sebelum ia menutup pintu ruangan itu, ia mendengar Bramuda memanggil namanya.     “Iya, Pak?” Nathasya menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan.     “Terima kasih,” kata Bramuda.     Nathasya mengangguk. “Sama-sama, Pak.” Dari raut wajah Bramuda, dapat Nathasya lihat jika bosnya itu hendak mengatakan sesuatu. “Ada lagi, Pak?”     Bramuda menghela napas dalam. “Maaf atas perbuatan Nancy. Nanti saya ganti baju kamu yang kotor.”     Buru-buru Nathasya menggeleng. “Nggak perlu diganti, Pak,” balasnya. Lalu ia ingat jika saat ini ia sedang membutuhkan uang berapa pun nominalnya. “Tapi kalau Bapak mau ganti berupa uang akan saya terima dengan senang hati,” ucap Nathasya tak tahu malu. “Ngomong-ngomong kemeja ini mahal, Pak,” tambahnya tersenyum lebar.     Bramuda menatap datar Nathasya yang membuat wanita itu tersenyum canggung. “Berkas, Nath. Berkas.”     Nathasya mengangguk. “Iya, Pak.”                                                                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD