Bab 3

1245 Words
Ponsel di atas meja bergetar. Nathasya mengamati nama kontak yang tertera di layar. Itu adalah panggilan dari ibunya.     “Iya, Bu? Ibu baik-baik saja?” tanya Nathasya agak panik.     Salah satu hal termenakutkan baginya saat ini adalah mendapatkan panggilan dari ibunya. Ia takut jika ibunya membawa kabar buruk seperti babak belur karena dipukuli preman suruhan rentenir.     “Iya, Nath. Ibu baik. Kamu gimana kabarnya?”     Nathasya menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Nathasya juga baik, Bu.”     “Kamu kapan bisa pulang ke rumah, Nath? Ada yang mau Ibu omongin.”     “Belum tahu, Bu. Nanti Nathasya kabarin ya, Bu,” jawabnya. “Jadi, gimana dengan Om Hendi? Udah ketemu orangnya di mana?”     “Belum. Ibu sudah nanya sana-sini, tapi nggak ada yang tahu Hendi ke mana.”     Nathasya memejamkan mata sesaat. Lalu ia kembali bertanya, “Menurut Nathasya, Ibu harus laporin Om Hendi ke polisi. Bawa kabur uang sebanyak itu udah termasuk tindakan kriminal, Bu.”     “Tapi Nath, siapa tahu Hendi memang sedang butuh uang.”     “Bu, butuh uang sama bawa lari uang itu beda!” kata Nathasya kesal. “Kenapa, sih, Ibu masih belum bisa nerima kalau pacar Ibu itu maling?! Kenapa Ibu masih bela orang kayak gitu? Dia udah nyusahin Ibu. Dia bikin Ibu kelilit hutang.”     “Ibu, tahu. Maafin Ibu, ya, Nath. Ibu bikin kamu susah,” ucap Ibunya yang membuat Nathasya merana. Ia paling tidak bisa mendengar Ibunya meminta maaf kepadanya.     “Bu, Nathasya nggak akan ngeluh kesusahan kalau semuanya buat Ibu. Nathasya akan ngelakuin apa aja buat Ibu. Tapi, Nath mohon, laporin Om Hendi ke polisi.”     “Iya, nanti Ibu pertimbangin, ya. Udah dulu ya, Nath. Toko sedang rame. Kamu jaga kesehatan ya.”     Dengan begitu Ibunya mematikan sambungan telepon mereka.     Nathasya menghela napas dalam. Sesungguhnya ia tak habis pikir dengan sikap Ibunya yang terlalu lembek dalam menghadapi Hendi, pacarnya. Nathasya tahu bahwa Ibunya itu adalah wanita yang lembut dan sangat baik. Tapi, yang Nathasya heran, bagaimana bisa Ibunya sebuta itu dalam melihat sosok Hendi tukang tipu?     Rasanya kepala Nathasya seperti mau pecah.     “Nath,” panggil suara di depannya.     Nathasya mendongak. Dilihatnya Darian sudah datang dan duduk di hadapannya.     “Udah nunggu lama?” tanya cowok itu kepada Nathasya.     “Baru aja, kok.”     “Kamu kenapa lesu gitu?”     Nathasya berulang kali mempertimbangkan menceritakan masalah yang dihadapinya kepada Darian. Tapi setiap kali hendak bercerita, entah kenapa selalu tidak jadi. Nathasya takut jika Darian malah pergi meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ibunya punya banyak hutang.                “Nggak apa-apa.”     “Kamu udah pesan makanan?” tanya Darian lagi mengambil buku menu di atas meja. “Aku lapar banget. Aku pesan steak, ya? Kamu steak juga?”     Nathasya menggeleng. Aku minum aja. Nggak lapar.”     “Oke kalau gitu.”     Darian memanggil pelayan dan memasan makanan untuk dirinya. Lalu setelah menunggu beberapa saat, pesanan Darian datang. Dengan lahap pria itu memakan steak pesanannya.     “Enak?” tanya Nathasya yang membuat Darian mengangguk.     “Eh iya, Nath,” ucap Darian seraya menatap Nathasya. “Minggu depan aku mau ke Bali. Urusan kerjaan.”     Nathasya mengangguk. “Berapa hari?”     “Dua hari.”     “Sama bos kamu?”     Darian kembali menganguk.     Nathasya mengamati Darian beberapa saat. Ia sedang mempertimbangkan untuk meminta kembali uang yang pernah dipinjam Darian untuk keperluan mendesak sebulan yang lalu. Meskipun tak sampai puluhan juta, tapi jika digabung dengan tabungannya, jumlahnya kan jadi lebih banyak. Nathasya harus segera memberikan ibunya uang. Ia takut jika rentenir datang sewaktu-waktu ke tempat ibunya.     “Aku ke toilet bentar, ya,” kata Darian ketika Nathasya hendak membicarakan masalah hutang.     “Iya.”     Dengan begitu Darian pergi ke toilet.     Nathasya mengamati steak pesanan Darian yang masih belum habis. Potongan daging itu tampak menggiurkan. Tiba-tiba saja perutnya yang semula tidak lapar jadi bergemuruh minta diisi. Ketika Nathasya hendak memotong steak itu untuk dimakannya sendiri, ponsel Darian yang ada di meja bergetar.     Nathasya mengamati nama penelepon. Safira. Nathasya mengabaikan panggilan itu. Lalu kontak itu kembali menghubungi Darian sampai beberapa kali. Karena Darian tak kunjung datang, Nathasya lantas menjawab panggilan dari kontak nama Safira. Nathasya takut jika itu panggilan yang penting.     “Darian! Kok nggak diangkat-angkat, sih? Kamu di mana?” tanya suara yang terdengar manja dari seberang telepon. “Jalan, yuk? Aku bosen di rumah. Aku juga kangen, pengen ketemu sama kamu. Kamu nggak kangen sama aku apa?”     Hati Nathasya rasanya seperti ditusuk pisau mendengar perkataan itu. Safira itu siapa? Kenapa dia terlihat sangat dekat dengan kekasihnya?     “Oh iya, Dar, kamu udah beli tiket pesawat buat ke Bali belum? Aku nggak mau ya, kalau tiba-tiba nggak jadi. Aku udah kosongin jadwal tahu buat kamu,” ucapnya lagi terkikik geli. “Kamu kok diem aja, sih? Sayang?!”     Nathasya memutus panggilan telepon itu. Ia tak menyangka jika Darian berselingkuh.     “Kamu ngapain pegang ponselku?” tanya Darian yang tiba-tiba datang. Lelaki itu langsung menyambar ponselnya dari tangan Nathasya. “Kamu habis ngecek pesan-pesan di ponselku, ya?” tuduh Darian menatap Nathasya marah. “Kamu tuh, nggak bisa menghargai privasiku. Aku nggak suka kamu ngecek ponselku kayak gitu.”     Nathasya menatap Darian dan bertanya-tanya, kenapa bisa ia ditipu oleh Darian? Dan bagaimana bisa pacarnya berselingkuh?     “Safira kangen. Katanya pengen ketemu. Terus dia juga nanya, kamu udah beli belum tiket pesawat buat ke Bali minggu depan?” kata Nathasya tanpa menampilkan emosi apa pun.     “Safira?” gumam Darian. Seketika dia jadi panik. “Kamu kenapa sih, jawab panggilan dari Safira?” tanya Darian marah. “Dia ngomong apa? Dia tuh temen kantorku, Nath.”     “Kamu habis gajian kan?” tanya Nathasya mengabaikan ucapan Darian. “Tolong segera kembaliin uang yang kamu pinjem bulan lalu. Aku lagi butuh.”     Setelah mengucapkan itu Nathasya bangkit dan pergi meninggalkan Darian dengan hati remuk redam. ***     Langkah kaki Nathasya semakin goyah. Akhirnya ia berjongkok di depan sebuah toko dan mulai menangis tersedu-sedu. Belum selesai masalah hutang ibunya yang belum bisa ia lunasi, kini datang masalah baru soal Darian yang selingkuh. Nathasya tak habis pikir, bagaimana bisa Darian mengkhianatinya? Memang, apa kurangnya Nathasya sampai Darian berpaling darinya? Dari segi wajah dan penampilan, bisa dibilang Nathasya cukup. Tapi, bagi Darian, cukup saja sepertinya kurang.     “Nath?” panggil suara di sampingnya. Dengan wajah berlinang air mata Nathasya mendongak. Dilihatnya bosnya tengah menatapnya dengan ekspresi keheranan.     “Pak Bramuda? Bapak sedang apa di sini?”     “Saya habis dari minimarket sebelah. Kamu ngapaian jongkok di sini sambil nangis? Kamu habis kecopetan? Apa perlu saya antar ke kantor polisi?”     Pertanyaan bosnya itu membuat tangis Nathasya semakin menjadi. Apa bisa melaporkan cowok yang bselingkuh ke kantor polisi?     “Nath, jangan nangis,” kata Bramuda terdengar panik.     “Pak, temenin saya minum,” pinta Nathasya yang membuat Bramuda menatapnya bingung. “Saya pengen mabuk,” katta Nathasya lagi sesenggukan. “Katanya kan, mabuk bisa bikin kita melupakan masalah kita untuk sesaat. Saya pusing, Pak. Kepala dan hati saya rasanya mau pecah!”     Bramuda menatap Nathasya dengan kening berkerut, seolah ia tak yakin dengan apa yang didengarnya. Beberapa pejalan kaki  kini menoleh ke arah mereka berdua, tampak penasaran dengan apa yang sedang terjadi.     “Ayo, Nath. Saya antar kamu pulang,” ucap Bramuda membantu Nathasya berdiri.     “Saya nggak mau pulang, Pak. Saya mau ke diskotik.” Nathasya menghapus air mata yang menetes di pipinya.     “Kamu yakin saat ini kamu nggak sedang mabuk?” Bramuda melayangkan tatapan tak yakin pada Nathasya.     “Saya nggak mabuk. Tapi saya pengen mabuk,” jawab Nathasya dengan suara serak.     “Mending kamu pulang aja, Nath. Ayo saya antar.”     Nathasya menggeleng. “Bapak aja yang pulang. Saya mau melupakan semua hal di kepala saya,” kata Nath lagi menunjuk kepalanya.     Bramuda menghela napas dalam. “Kamu nggak ingat besok kamu harus masuk kerja pagi?”     “Saya izin dulu, Pak,” kata Nathasya.     “Saya potong gaji kamu kalau besok kamu nggak berangkat,” ucap Bramuda melayangkan tatapan mengancam.     Mendengar ucapan Bramuda itu malah membuat tangis Nathasya menjadi. Ia kembali berjongkok, menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Melihat hal itu membuat Bramuda sedikit panik. Buru-buru ia menarik kedua lengan Nathasya dan menenangkannya.     “Hidup saya tuh sedang berantakan, Pak. Masak Bapak tega motong gaji saya?” kata Nathasya di sela isak tangisnya.     Bramuda menghela napas dalam. “Mau kamu gimana, Nath?”     “Temenin saya minun, Pak.”     Dengan enggan Bramuda mengangguk. Lalu ia menggiring Nathasya menuju mobilnya yang terparkir di minimarket sebelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD