Bab 4

1169 Words
Cahaya matahari menyeruak masuk ke dalam ruangan. Membanjiri ruangan itu dengan silau yang menyilaukan. Membuat Nathasya yang tadinya tertidur nyenyak kini mulai mengerjapkan mata. Sorotan cahaya matahari membuat matanya silau dan mengundang sakit kepala.     Nathasya mengerang, lalu  ia mulai memfokuskan pandangan ke arah lukisan abstrak yang tergantung di tembok yang berada di sebelah tempat tidur. Kini kesadarannya mulai pulih. Buru-buru ia bangkit dari tidur dan menatap sekeliling.     Saat ini Nathasya berada di sebuah kamar yang cukup luas. Ini bukanlah kamarnya. Ia pun tak tahu ini kamar siapa. Kepalanya terasa pening ketika harus dipaksa mengingat bagaimana bisa ia berada di kamar ini.     Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kamar. Membuat Nathasya terperanjat kaget.     “Udah bangun?”     Nathasya menatap tak percaya bosnya yang tampak rapi dengan setelan jas berwarna biru navy. Bramuda sepertinya sudah siap untuk berangkat ke kantor. “Pak Bramuda kok ada di sini?” tanya Nathasya kebingungan.     “Kamu nggak ingat kejadian semalam?”     Nathasya mencoba mengingat tentang peristiwa semalam. Lalu, ingatan tentang Darian yang berselingkuh darinya muncul. Hal ini membuat hati Nathasya kembali perih. Ia pun ingat menangis tersedu-sedu karena patah hati. Kemudian, kelebatan ingatan tentang Bramuda serta ajakan Nathasya minum akhirnya muncul.     “Saya..., saya semalam mabuk?” tanya Nathasya tergagap.     Ya, Nathasya ingat ketika menenggak minuman beralkohol untuk pertama kalinya. Ia merasakan rasa pahit di tenggorokannya. Namun, ia terus saja meminum minuman beralkohol yang ia pesan semalam.     Bramuda mengangguk santai. “Jadi bagaimana? Udah puas ngerasain mabuk?”     Nathasya menenggelamkan wajahnya ke selimut tebal yang ada di pangkuannya. Ia merasa sudah kehilangan muka di depan bosnya. Apa yang dipikirkannya semalam hingga mengajak Bramuda minum hingga dirinya tak sadarkan diri?      “Saya sudah siapin sarapan. Ayo ke ruang makan,” kata Bramuda seraya berjalan meninggalkan kamar.     Setelah kepergian Bramuda, Nathasya langsung bergegas ke kamar mandi yang berada di kamar ini. Ia menatap penampilannya yang amat sangat mengerikan di cermin. Sekitar matanya tampak hitam karena maskara yang ia pakai luntur. Rambutnya pun terlihat acak-acakan. Lalu, ketika ia ingat jika tadi Bramuda melihat penampilannya ini, rasanya Nathasya ingin membenturkan kepalanya ke tembok.     Setelah Nathasya mencuci muka dan merapikan rambutnya, ia langsung pergi ke ruang makan. Dilihatnya Bramuda tengah duduk di sana dan tampak sibuk dengan tablet di tangannya.      “Pagi, Pak,” sapa Nathasya mendekat ke arah Bramuda.     Pria itu mengangguk. “Makan sarapannya dan minum banyak air putih,” kata Bramuda tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet.     Nathasya menurut. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Bramuda. Nasi goreng plus telur mata sapi tersaji di hadapannya. Nathasya meraih gelas yang berisi gelas berisi air putih di sebelah piring nasi gorengnya dan menenggak isinya. Ia sangat haus. Tenggorokannya terasa sangat kering. Selain itu kepalanya pun masih sedikit pusing. Badannya teraasa sangat tidak enak.     “Pak Bramuda,” panggil Nathasya setelah meletakkan gelasnya ke meja. Bramuda menaikkan pandangan untuk menatap Nathasya. “Maafin saya ya, Pak. Saya pasti semalam ngerepotin Bapak.”     Bramuda meletakkan tablet ke meja dan memberi perhatian penuh ke Nathasya. Tatapan Bramuda tampak begitu serius hingga membuat Nathasya ketakutan. Biasanya, Bramuda akan menatapnya seperti itu kalau mau mengomelinya.     “Apa sih, yang kamu pikirin sampai niat banget mabuk kayak semalam? Kalau kamu nggak ketemu sama saya, kamu mau ke klab sendiri dan mabuk gitu? Kamu nggak takut diapa-apain sama orang? Kamu tuh perempuan, Nath. Jangan sembarangan sama diri sendiri.”     Nathasya hanya bisa menunduk, menyesal dengan apa pun yang terjadi semalam. Namun, sesungguhnya, Nathasya tidak begitu ingat apa yang ia lakukan ketika sedang minum. Ia hanya ingat ngomong sesuatu kepada bosnya. Tapi ia tak ingat apa yang ia omongkan.     “Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” kata Nathasya.     Bramuda mendengus. Lalu ia kembali sibuk dengan tabletnya. “Cepat makan sarapannya, saya mau ke kantor.”     Nathasya mengangguk lalu buru-buru menyendok nasi goreng di depannya. Kemudian, mendadak Nathasya sadar jika dirinya saat ini sedang berduaan dengan Bramuda. Berarti semalam pun sama. Lalu, apakah ada yang terjadi di antara mereka semalam? Nathasya terlalu mabuk sampai tidak ingat apa-apa.     “Pak,” panggil Nathasya lagi takut-takut. “Semalam..., semalam Bapak nggak ngapa-ngapain saya kan?” tanya Nathasya lagi yang sontak membuat Bramuda melayangkan tatapan tajam. “Saya kan mabuk, Pak. Saya nggak ingat apa-apa,” tambah Nathasya cepat-cepat.     “Apa menurut kamu, saya ini pria berengsek?”      Tidak. Ya, menurut Nathasya Bramuda itu tidak berengsek. Bosnya itu, meskipun tampan dan kaya raya, dia tak pernah gonta-ganti pacar. Selama dua tahun Nathasya bekerja sebagai sekretaris Bramuda, hanya ada Nancy dan Kaira—pacar Bramuda sebelum Nancy—yang ia temui sebagai pacar Bramuda. Tak ada wanita lain selain mereka berdua yang mengaku-ngaku pacar Bramuda atau sebangsanya.     “Saya kan tidak kenal Bapak di luar jam kantor.”     “Udah tahu kamu nggak kenal saya di luar jam kantor tapi masih berani ngajakin saya minum? Wah, luar biasa sekali kamu ini.”     “Semalam pikiran saya kan lagi kacau, Pak.”     Bramuda memajukan tubuhnya, lalu menatap Nathasya tajam. “Lain kali kalau patah hati atau sedang ada masalah mending pulang ke rumah dan nangis sepuasnya di kamar. Nggak perlu mabuk karena setelah mabuk pun masalah kamu tetap belum selesai kan? Pacar kamu tetap selingkuh? Hubungan kalian tetap berakhir? Dan kamu tetap—” Bramuda berdeham. “Lain kali jangan mabuk,” katanya mengakhiri.     Nathasya tertunduk lesu mendengar ceramah pagi dari bosnya. Biasanya bosnya itu akan mengomelinya soal pekerjaan. Sungguh aneh rasanya mendengar Bramuda memarahinya soal masalah pribadi.     Nathasya menatap Bramuda dengan kening berkerut. “Kapan saya curhat ke Bapak kalau pacar saya selingkuh?” tanya Nathasya kebingungan. Seingatnya ia tidak pernah mengatakan apa pun tentang Darian yang selingkuh.     “Kamu nggak ingat?” tanya Bramuda yang membuat Nathasya menggelengkan kepala. “Pas kamu mabuk, kamu cerita soal Durian? Dorian—”     “Darian,” potong Nathasya mengoreksi.     Bramuda mengangguk. “Kamu cerita soal Darian yang selingkuh dengan wanita bernama Safira. Dan kamu juga cerita tentang betapa kamu merana serta sedih. Selain itu kamu juga cerita tentang betapa menakutkannya saya. Kamu bilang kalau tatapan saya itu seperti tatapan pembunuh.”     “Maaf, Pak. Saya sepertinya sedang mabuk,” kata Nathasya cepat-cepat. Bagaimana nasibnya setelah ini?     “Kamu memang sedang mabuk,” cibir Bramuda terdengar kesal.     Nathasya hanya cengar-cengir, tak tahu harus membalas apa. Lalu ia kembali bertanya dengan was-was, “Saya semalam nggak cerita tentang Ibu saya kan, Pak?”     Bramuda diam sejenak. “Ibu kamu kenapa?” tanya Bramuda.     Nathasya menggelengkan kepala. “Ibu saya baik-baik saja. Hanya kangen sama saya.”     Nathasya takut jika tanpa sengaja ia menceritakan hutang Ibunya yang sampai ratusan juga. Ia tak akan sanggup menanggung malu jika bosnya itu tahu. Karena saat ini keadaannya sudah sangat memalukan. Ia tak sanggup menanggung malu lagi.     Bramuda bangkit dari duduknya. “Saya mau ke kantor sekarang. Kamu bisa berangkat agak siangan,” kata Bramuda kepada Nathasya. “Tenang gaji kamu nggak akan saya potong,” tambah Bramuda seakan tahu apa yang ada di pikiran Nathasya. “Nanti sebelum kamu pergi, tolong kunci pintu rumah saya.” Bramuda menaruh kunci rumahnya di meja. “Saya berangkat dulu.”     “Pak!” panggil Nathasya sebelum Bramuda pergi.     “Apa, Nath?” tanya Bramuda berbalik menatap Nathasya.     “Jadi semalam bagaimana? Bapak Nggak ngapa-ngapain saya, kan?” tanya Nathasya tak tahu malu.     Bramuda mendengus. “Pikir aja sendiri,” jawabnya ketus seraya berbalik dan kembali berjalan.     “Pak!” Nathasya kembali memanggil bosnya.     Bramuda menghela napas dalam. “Apa lagi sih, Nath?” tanyanya kembali berbalik menatap sekretarisnya yang tampak berantkana.     “Terima kasih,” kata Nathasya tersenyum kecil ke arah bosnya. “Untuk semuanya, terima kasih, Pak.”     “Misal semalam saya ngapa-ngapain kamu, kamu bakal tetap berterima kasih?” tanya Bramuda terdengar jengkel.       “Pak!” seru Nathasya sebal sendiri.     “Jangan panggil-panggil saya lagi.”     Dengan begitu Bramuda meninggalkan ruang makan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD