Bab 5

991 Words
    Nathasya berpikir bahwa ibunya buta akan cinta hingga semudah itu dibohongi oleh Hendi. Nyatanya, dirinya tak jauh berbeda dengan ibunya. Darian yang menyelingkuhinya adalah buktinya. Meskipun begitu, dalam hati Nathasya yang paling dalam, ia menginginkan Darian untuk menyangkal tuduhan Nathasya dan memberikan bukti yang kongkrit bahwa dia tidak selingkuh. Nathasya memang bodoh.     Nathasya menghela napas dalam dan keluar dari lift. Ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan Darian. Karena saat ini ia akan bertemu dengan bosnya, Bramuda, lelaki yang semalam melihatnya mabuk hingga tak sadarkan diri. Sungguh memalukan.     “Nath!” panggil suara dari arah sampingnya. Dilihatnya Caca tengah berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua buah cangkir. “Kok lo baru berangkat, sih?”     “Iya, Ca. Ada urusan tadi,” jawab Nathasya berbohong. Tidak mungkin Nathasya bercerita jika ia kesiangan bangun gara-gara mabuk dan berakhir tidur di rumah bosnya. Bisa gempar satu gedung! “Buat siapa?” tanya Nathasya menunjuk nampan di tangan Caca.     Caca menyerahkan nampan tersebut kepada Nathasya. “Nih, tolong antar ke ruangan bos,” jawabnya.     “Nggak. Gue kan baru datang, Ca,” kata Nathasya kebingungan. Sesungguhny ia belum siap jika harus bertemu dengan Bramuda sekarang.     “Apa pun yang berhubungan dengan Pak Bramuda kan tugas lo, Nath. Udah sana,” ucap Caca lagi seraya mengambil alih tas milik Nathasya. “Udah sana.”     Dengan berat hati Nathasya berderap meninggalkan Caca menuju ruangan Bramuda. Nathasya mengetuk pintu ruangan itu. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka pintu ruangan tersebut. Lalu, setelah Nathasya siap secara mental, akhirnya ia masuk ke dalam ruangan Bramuda. Dilihatnya Bramuda tengah berbicara dengan seorang wanita yang terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi. Nathasya mengenali wanita itu. Beliau adalah ibu dari Bramuda, Rieta.     “Mama pusing dengerin mantan kamu ngomel soal kamu yang putusin dia,” kata Rieta kepada Bramuda. “Lagian, Mama pikir kamu sama dia itu udah serius. Kenapa pakai acara putus segala sih, Bram?”     Bramuda yang menyadari kehadiran Nathasya sontak menatap wanita itu. “Nancy terlalu merepotkan,” jawab Bramuda.     Nathasya mendekat ke arah Bramuda dan ibunya. Ia menunduk hormat kepada mereka berdua sebelum meletakkan cangkir berisi teh hangat.     “Bram, berhenti main-main. Kamu itu udah waktunya buat menikah. Oma nanyain terus kapan kamu ngenalin calon kamu.”     Bramuda menghela napas dalam. “Iya, Ma.”     “Jangan iya-iya aja. Apa perlu Mama kenalin sama anak teman Mama?”     Nathasya mencuri pandang ke arah Bramuda sambil meletakkan gelas ke atas meja. Ia penasaran dengan ekspresi bosnya itu. Namun, ternyata Bramuda saat ini tengah melayangkan tatapan tajam ke arahnya  yang langsung membuat Nathasya menunduk.     “Nggak perlu, Ma,” jawab Bramuda terdengar malas.     “Perlu! Kamu harus segera menikah, Bram.”     Setelah meletakkan cangkir, Nathasya pamit untuk kembali ke meja kerjanya.     Nathasya tak menyangka mendengar obrolan tadi. Nathasya pikir, seorang Bramuda itu tidak akan pernah mendapat todongan ‘kapan nikah’ bahkan dari ibunya. Ternyata Nathasya salah. Bramuda juga manusia. Sama seperti dirinya dan orang-orang seumurannya yang masih belum menikah. ***     Nathasya sedang berada di pantri. Menikmati cemilan bersama beberapa rekan kerjanya.     “Kira-kira kenapa Pak Bos sama Mbak Nancy putus?” tanya Visha.     “Mungkin Pak Bos bosan sama Mbak Nancy. Atau bisa jadi sudah tidak cinta lagi,” jawab Caca.     Karena Mbak Nancy terlalu merepotkan, jawab Nathasya dalam hati. Paling tidak itu yang Nathasya dengar dari Bramuda tadi.     “Padahal Mbak Nancy cantik banget. Model gitu loh,” kata Visha.     “Tapi ngeri kalau lagi marah. Nathasya sampai dibentak-bentak terus disiram kopi.” Darma bergidik ngeri. “Kalau gue sih, mending jomblo daripada sama cewek bar-bar kayak gitu.”     “Alah, sok lo. Padahal lihat Mbak Nancy juga sampai ngiler,” sahut Caca mencibir.     “Itu kan dulu sebelum tahu watak aslinya.”     “Misal papasan di jalan juga pasti bakal lo lihatin sampai mata lo copot!” balas Visha.       “Nath, lo nggak mau bantuin gue?” Darma menoleh ke arah Nathasya yang duduk di sebelahnya, meminta bantuan.     Nathasya menghela napas dalam dan menggelengkan kepala. “Nggak peduli gue. Mau Mbak Nancy sama Pak Bramuda putus atau balikan lagi juga gue nggak peduli. Yang penting gaji gue dibayar. Udah gitu aja,” jawab Nathasya tersenyum lebar.     Lagian, masalah Nathasya terlalu banyak. Ia tak ada waktu untuk mengurusi masalah percintaan bosnya.     Ponsel yang berada di genggamannya bergetar menampilkan kontak nama Darian. Mendadak perut Nathasya mengejang. Akhirnya Darian menghubunginya.     Nathasya bangkit dari duduk, lalu meninggalkan pantri. Ia mengangkat panggilan dari Darian di lorong menuju kamar mandi yang sedang sepi.     “Hai Nath?” sapa Darian di ujung telepon. Nathasya hanya bergumam menjawab sapaan Darian. “Aku belum jelasin apa-apa ke kamu soal Safira.”     “Sejak kapan kamu selingkuh dari aku?” tanya Nathasya tanpa mau basa-basi.     “Aku sama dia nggak—”     “Nggak usah bohong, Dar! Jangan anggap aku seperti orang bodoh.”     “Sejak lima bulan yang lalu,” jawab Darian terdengar enggan.     Nathasya memandang kosong tembok di depannya. Ia tak percaya Darian sudah menduakannya selama itu.     “Kita pacaran baru tujuh bulan!” seru Nathasya marah. “Dan kamu selingkuh sejak lima bulan yang lalu? Wah, jadi ternyata aku sebodoh itu?”     “Nggak gitu, Nath. Aku bisa jelasin semuanya.”     Nathasya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Nggak ada yang perlu kamu jelasin, Dar. Udah, bayar hutang kamu aja. Kirim ke rekeningku sekarang.”     “Aku sedang nggak ada uang, Nath. Uangku abis buat booking hotel dan pesawat buat liburan ke Bali minggu depan.”     Nathasya sampai menganga mendengar perkataan Darian. Ia tak menyangka jika lelaki itu setak tahu malu ini.     “Darian berengsek! Mati aja lo!” teriak Nathasya pada layar ponselnya. Setelah itu ia mematikan sambungan teleponnya dengan Darian.     Tubuh Nathasya terasa lemas, hingga membuatnya berjongkok. Ia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya di atas lutut. Uang yang sedang ia butuhkan malah dipakai Darian untuk liburan dengan Safira. Nathasya tak pernah merasa sebodoh ini dalam hidup. Ia merasa lebih bodoh dari ibunya.     “Nath,” panggil suara di depannya. Ia mendongak. Dilihatnya Bramuda tengah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di dalam saku celanannya.     “Iya, Pak?” tanya Nathasya terdengar waspada.     Apa yang bosnya lakukan di sini? Apa bosnya ini membuntutinya? Atau memang Bramuda baru saja keluar dari toilet? Lalu, apakah bosnya mendengar percakapannya di telepon? Jika iya, apa yang bosnya pikirkan?     Ya Tuhan, kenapa Nathasya harus melakukan hal-hal memalukan di hadapan Bramuda?     “Ke ruangan saya sekarang,” kata Bramuda seraya berjalan melewati Nathasya meninggalkan lorong ini.     Nathasya kembali menenggelamkan kepalanya di lipatan lengannya. Kenapa bosnya itu selalu muncul di saat seperti ini? Tidak bisakah Nathasya menikmati kesedihan dan amarahnya dengan tenang tanpa diganggu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD