Janji Alya

1482 Words
Bersamaan dengan itu, monitor alat detak jantung yang terpasang pada tubuh Alya menunjukkan penurunan, semakin lemah lalu menunjukkan garis lurus panjang. "nit......................." Sontak membuat perawat segera memeriksa keadaan Alya. Perawat pun segera memanggil dokter jaga saat itu. Dokter jaga yang berada di ruang IGD berlari secepat mungkin ke ruang ICU. Sutoro dan Nian melihat dokter jaga yang berlari masuk namun mereka berusaha tetap tenang. "Pak, apa yang terjadi di dalam? Apa ada situasi darurat? Pasti bukan putri kita kan Pak. Jawab ibu, Pak." "Alya pasti baik-baik, Bu. Bapak akan coba lihat ke dalam untuk memastikan." "Ibu ikut, Pak." Sutoro menekan bel namun dia tidak diizinkan masuk. "Maaf, saat ini sedang dilakukan tindakan oleh dokter. Ada perlu apa, Pak?" "Kalau boleh tahu, nama pasien yang sedang mendapat tindakan dari dokter bukan Alya kan, Sus?" "Ini dengan keluarga pasien anak Alya." "Benar Sus, saya ayahnya." "Pasien anak Alya mengalami henti jantung, dokter akan melakukan yang terbaik." Sutoro mematung sedangkan Nian bereaksi histeris. "Alya..... Alya... jangan tinggalin ibu, Nak. Alya........." Suster jaga yang mendengar teriakan Nian segera datang. "Ibu tenang, Bu", sambil memegang pundak Nian. Ello yang baru tiba juga heran melihat keadaan ibunya. "Ada apa Pak, Bu?" Belum sempat menjawab, seorang suster keluar dari ruang ICU. "Keluarga anak Alya, silahkan masuk." Dengan langkah gemetar Nian masuk dipapah oleh suster diikuti oleh Sutoro yang menggandeng erat Ello. Dokter menjelaskan keadaan Alya. "Kami telah melakukan yang terbaik untuk Alya, namun Tuhan lebih menyayangi Alya. Saya akan umumkan kematian pasien. Anak Alya, meninggal, 3 November 2001 pukul 00.40. Suster melepas semua alat yang menempel pada tubuh Alya, melipat kedua tangan Alya ke perut lalu menutupnya dengan kain putih. Nian menangis sejadinya namun suara tangisannya tak terdengar dan dia pun terduduk di lantai menepuk-nepuk dadanya. Sutoro menggendong Ello dan memeluknya erat. Pemandangan yang sangat memilukan hati. Suster membantu Nian untuk berdiri dan mengantar jenazah Alya ke kamar jenazah. Suara tangis Nian pecah sepanjang dia mengiringi jenazah Alya. Sutoro mengurus berkas-berkas untuk bisa membawa Alya ke rumah duka untuk didoakan. Ello duduk menemani ibunya yang airmata nya terus mengalir. "Ibu..... ibu.. ", sambil membelai lembut pipi ibunya. "Kita harus mengikhlaskan Kak Alya agar Kak Alya bisa tenang disana, Bu." "Ello sayang.... " Nian memeluk Ello dengan erat. Selesai mengurus berkas, Sutoro menemui Hardi di kamar Aleana. "Maaf Pak, membangunkan Anda subuh-subuh. Saya dan keluarga akan mengantar Alya ke rumah duka lalu selesai didoakan kami akan segera memakamkan Alya." "Alya... meninggal, Pak Toro. Saya dan keluarga turut berdukacita. Dimana Alya akan dibawa dan dimakamkan, Pak?" "Di rumah duka rumah sakit ini dan besok siang akan kami makamkan di TPU Jatiluhur." "Saya akan datang pagi nanti. Semoga Alea sudah sadar dan bisa mengantar Alya ke tempat peristirahatan yang terakhir." "Amin, Pak. Saya permisi dulu." Hardi masuk kembali ke ruangan. Melihat Metta yang masih tertidur lelap, dia tidak ingin membangunkannya dan baru akan menyampaikan berita duka ini pagi nanti. ***** Sementara itu, Alya dibawa menelusuri jalan yang panjang dengan pinggang yang masih terikat rantai. Dia sampai di sebuah rumah megah dengan pintu gerbang yang tinggi dan kokoh. Pintu gerbang itu terbuka. Lalu malaikat maut melepaskan rantai dari pinggangnya. "Masuklah. Aku hanya mengantar sampai gerbang ini." "Apa gerbang ini menuju surga atau neraka?" "Kamu akan segera mengetahuinya." Alya melangkah maju dan pintu itu tertutup dengan sendirinya. Dia menaiki anak tangga dan tiba di pintu utama. Pintu itu terbuka lalu Alya masuk ke dalam. Sebuah cahaya yang bersinar terang muncul di hadapannya lalu dia melihat seorang malaikat berjubah putih yang memiliki sayap berbulu putih bersih. "Siapa Anda?" "Desta, Sang Malaikat Takdir. Aku diutus oleh Sang Pencipta." "Malaikat Takdir..., Apa Anda akan membawaku ke surga?" "Tidak, Aku diberi tugas oleh-Nya untuk menyatakan kebesaran dan kemurahan-Nya. Kau hanya manusia beruntung yang dipilih-Nya untuk menjadi salah satu malaikat-Nya." "Apa maksud Anda?" Desta, Sang Malaikat Takdir mengibaskan sayapnya lalu mereka berada di sebuah ruangan dengan rak kaca yang besar dan tinggi. Desta mempersilahkan Alya duduk dan menghidangkan teh untuknya. "Ruangan ini akan menjadi ruang kerjamu. Di tempat ini, terdapat 2 pintu yaitu pintu menuju neraka dan pintu menuju surga. Kelak tugasmu adalah menentukan manusia mana yang akan menuju pintu neraka atau pintu surga berdasarkan kebaikan dan dosa yang mereka perbuat sepanjang hidup mereka." "Aku tidak bisa menjadi malaikat. Aku ingin kembali ke dunia. Aku belum meminta maaf sama Alea. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya? Aku juga sudah janji pada diriku untuk selalu menjaganya." "Urusanmu di dunia fana telah selesai. Teh ini untuk menghapus ingatan di kehidupanmu yang lalu. Minumlah." "Tuan Malaikat, aku mohon... izinkan aku kembali ke dunia." Lalu terdengar suara..... "Alya, jadilah Malaikat Keadilan sebab Aku adalah Tuhan yang adil. Tepati janjimu pada Aleana." Dan suara itu menghilang. "Aku akan menepati janjiku padamu, Alea", ucapnya dalam hati. Lalu Alya mengambil cangkir teh di hadapannya dan meminumnya, seketika itu juga dirinya bercahaya. Alya berubah menjadi Malaikat yang berpakaian jas putih dan memiliki sayap. ***** Kembali ke rumah sakit. Pagi telah tiba, Aleana menggerakkan jarinya lalu perlahan membuka mata. Aleana mendengar percakapan Hardi dan Metta. "Ma, subuh tadi Papa mendapat kabar duka dari Pak Toro. Alya sudah berpulang, Ma." "Alya meninggal dunia, Pa? Tidak mungkin...." Mata Metta berkaca-kaca, lalu terdengar suara Aleana pelan memanggil. "Mama...., Papa...." Hardi dan Metta mengarahkan pandangan kepada sumber suara. "Alea..." Mereka bergegas menghampiri Aleana. "Alea sayang...., akhirnya kamu siuman. Mama.... Mama..." Metta tak mampu berkata-kata, dia memeluk Aleana dan menciumi Aleana. Hardi merangkul pundak Metta dan Aleana dalam pelukannya. Setitik air mata mengalir membasahi pipinya. "Terimakasih Tuhan. Engkau telah mendengar doa kami. Jaga selalu putri kami dan keluargaku ini ya Tuhan." Aleana menanyakan tentang Alya kepada Papa Mamanya. "Pa, Ma, Kak Alya dimana? Alea ingin bertemu." Hardi dan Metta saling menatap. Metta menggeleng mengisyaratkan agar tidak memberitahukan hal sebenarnya kepada Aleana karena baru saja siuman. Metta takut saat Aleana mendengar kabar meninggalnya Alya akan membuat Alea drop kembali. Tetapi Hardi menggenggam tangan Metta dan menganggukkan kepala. Dia tidak ingin menyembunyikan kabar ini dari Alea, justru Hardi ingin Alea mengantar kepergian Alya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. "Sayang..., dengarkan dengan baik yang Papa ucapkan." Aleana mengangguk. "Alya sudah tidak sakit lagi. Dia sudah sehat. Tuhan sangat menyayangi Alya jadi sekarang Alya tinggal di surga." "Kalau di surga, Kak Alya enggak berasa sakit lagi, Pa?" "Iya sayang. Dari sana, Alya dapat melihat kamu dan dia juga pasti senang kalau Alea baik-baik di sini." "Hmm.., Alea paham, Pa. Kita semua pasti nanti ke surga. Surga itu tempat yang indah dan suatu hari nanti Alea akan ke sana dan bisa bertemu Papa, Mama, Kakek, Nenek, Om, Tante, Kak Alya, Kak Ello dan yang lainnya lagi." "Benar sayang, kelak kita akan berkumpul kembali di surga dan tidak ada lagi yang bisa memisahkan." "Alea akan hidup dengan baik di sini, Pa. Alea boleh mengunjungi makam Kak Alya, Pa." "Papa akan membawamu melihat Kak Alya untuk terakhir kalinya. Tapi, karena kondisimu masih lemah, Papa antar dengan menggunakan kursi roda. Tidak apa kan sayang." "Iya Pa." "Mama juga ikut kan." "Mama pulang dulu berganti pakaian dan datang lagi dengan kakek, nenek, om dan tante." "Sebentar lagi dokter akan memeriksa Alea. Setelah Alea diperiksa, barulah kita melihat Kak Alya." Dokter mengizinkan Alea untuk keluar sebentar. Hardi membawa Alea ke rumah duka sedangkan Metta pulang ke rumah. Sutoro, Nian dan Ello senang melihat Alea telah siuman. "Syukurlah Neng Aleana sudah siuman", ucap Sutoro. "Iya Pak, terimakasih. Pagi ini, Alea membuka mata, kondisinya sudah stabil dan hanya perlu istirahat. Saya sudah memberitahu Alea tentang Alya. Dia mengerti dan bisa menerima. Saya membawanya kemari untuk mengucapkan perpisahan kepada Alya dan supaya Alya disana juga bisa tenang." "Saya yakin Alya pasti tersenyum di sana." "Neng Alea...., terimakasih waktu itu sudah menolong Alya. Meski akhirnya Tuhan.... lebih sayang sama dia", ucap Nian sambil menangis. "Pak Toro, Bu Nian, saya akan melaporkan kasus ini ke kepolisian untuk diselidiki sebab kejadian ini seperti direncanakan oleh seseorang, entah siapa tapi yang pasti ini tindak kejahatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Untuk pemakaman dan rumah sakit Alya, Bapak dan ibu juga tidak perlu cemas. Saya yang akan menanggung semua biayanya." "Terimakasih Pak Hardi." Hardi mendorong kursi roda Alea ke depan altar yang terpajang foto Alya lalu mereka mendoakan Alya. "Kak Alya, Alea doakan Kak Alya sehat dan bahagia selalu di surga sampai nanti kita bertemu di surga. Kak Alya jangan lupain Alea ya. Alea tidak akan pernah lupa. Alea sudah anggap Kak Alya sebagai kakak dan selamanya akan seperti itu." Beberapa guru dan teman sekelas Alya juga datang untuk mendoakan Alya. Selang setengah jam, Metta dan yang lain juga sampai. Setelah selesai mendoakan Alya, beberapa ikut mengantar Alya ke TPU. Hanya Hardi yang ikut mengantar ke TPU sedangkan Alea, Metta dan yang lainnya menatap kepergian mobil yang mengantar Alya sampai berlalu. Setelah itu, Metta membawa Alea kembali ke ruang rawat. Aleana tidak meneteskan airmata sejak diberitahu tentang kepergian Alya. Saat di rumah duka bahkan sampai mengantar mobil jenazah Alya. Aleana berusaha menahan kesedihannya karena dia takut Alya sedih bila melihatnya menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD