Awal Perkenalan

1030 Words
Dua jam telah berlalu, Metta telah menunggu Aleana di depan ruang kelas. "Sayang...." "Mama.... " "Bagaimana di kelas tadi? Apakah menyenangkan?" "Iya Ma. Alea berkenalan dengan Ivander, Rafael dan Natasya. Kami bermain bersama. Seru deh Ma." "Wah, putri Mama sudah mempunyai teman. Mama senang melihat Alea senang." "Iya, Alea mau ke sekolah setiap hari." "Tapi sayang, sabtu dan minggu itu hari libur. Ibu Gita dan teman-temanmu tidak pergi ke sekolah. Mereka berkumpul bersama keluarga mereka." "Seperti Papa ya, Ma. Kalau sabtu minggu libur lalu bisa bermain bersama Alea sepanjang hari." "Iya benar sayang." Saat di halaman parkir, Metta bertegur sapa dengan beberapa orangtua yang menjemput anak-anak mereka. Aleana berjalan duluan hendak naik ke mobil tetapi tanpa sengaja Aleana terserempet seorang anak laki-laki yang bersepeda. Aleana terjatuh, sikut kirinya berdarah. "Alea.....", teriak Metta panik. Anak laki-laki itu juga terjatuh dari sepedanya namun beruntung dia baik-baik saja. Segera dia bangun menghampiri Aleana. "Maafkan saya, tadi saya berusaha menghindari seekor kucing tetapi saya malah hampir menabrak kamu." Anak laki-laki itu berjongkok dan hendak membantu Aleana untuk berdiri namun Metta segera mendahuluinya. "Lihat perbuatan kamu terhadap putri saya. Sikutnya sampai berdarah." "Maafkan saya, Tante. Saya tidak sengaja." "Ma, Alea tidak apa-apa, hanya berdarah sedikit." "Ini pasti sakit ya, sayang. Kita ke dokter ya. Kita obati luka kamu." "Tidak perlu Ma. Ini hanya sakit sedikit. Lebih sakit suntikan dokter, Ma." (Raut wajah Metta berubah sendu.) "Kita tidak harus selalu suntik bila ke dokter. Bila hanya luka luar nanti dokter akan membersihkannya lalu menempel lukanya dengan plester." "Jadi, bukan luka yang besar kan Ma. Bagaimana kalau Mama saja yang mengobati Alea di rumah?" Aleana memberi senyuman manis kepada mamanya. "Iya sayang. Kita obati di rumah saja." "Dan kamu, lain kali hati-hati, untung saja ini hanya luka kecil", ucap Metta kepada anak laki-laki yang masih berseragam putih merah. (Anak laki-laki itu berumur 10 tahun, dia duduk di bangku kelas 3 SD.) "Iya Tante." Metta dan Aleana masuk ke mobil, anak laki-laki tadi menunggu sampai mobil yang dinaiki Aleana pergi barulah dia melaju kembali dengan sepedanya menuju halaman belakang. Dia hendak membantu ayahnya yang merupakan seorang tukang kebun di sekolah ini. Ayahnya sedang sakit-sakitan, namun beliau tidak ingin kehilangan pekerjaannya. "Ayah, istirahatlah. Biar Ello yang melanjutkan mencabut rumputnya." "Ello..., kamu sudah pulang sekolah Nak. Mengapa tidak pulang ke rumah saja?" Ello mengganti seragamnya dengan kaos yang dibawanya di dalam tas. "Ello mau bantu Ayah. Ello juga bawakan obat Ayah. Minum obat dulu, Yah lalu istirahat sejenak. Nanti setelah Ayah istirahat barulah Ayah bekerja lagi. Sementara itu, biar Ello yang bekerja." "Anak itu, usianya baru 10 tahun namun sudah dewasa pemikirannya. Padahal, aku ingin dia bermain seperti teman-temannya seusianya", gumam pria setengah baya ini. (Dia adalah Sutoro, ayahnya Elloandro, tukang kebun di TK WINATA yang baru bekerja selama 2 bulan ini.) Malam harinya, Alea semangat sekali menceritakan hal-hal yang dia lakukan di sekolah kepada Papanya. Hardi mendengarkan cerita putrinya dengan penuh semangat juga. Aleana juga menceritakan tentang kecelakaan kecil yang dia alami. "Alea juga tadi terjatuh namun hanya luka sedikit dan sudah di plester sama Mama", sambil menunjukkan plester itu kepada papanya. "Pintarnya putri Papa tidak menangis." "Iya Pa. Ini tidak sesakit suntikan dokter." (Raut wajah Hardi berubah sama seperti Metta saat siang tadi. Selama ini, Aleana sering mendapatkan suntikan saat ke rumah sakit namun dia tidak menangis.) "Selama ini putriku sudah menahan entah berapa jarum suntik yang dia terima. Selama itu juga, dia tidak menangis. Papa janji tidak akan membuatmu merasakan jarum suntik itu lagi. Papa juga tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu", batin Hardi. Waktu tidur tiba, Hardi dan Metta mengantar Aleana ke tempat tidurnya. Setelah memberikan kecupan, mereka pergi ke kamar mereka. "Aku baru menyadari ternyata selama ini putri kita sangat kuat. Dia tidak mengatakan apapun saat menjalani pengobatan selama ini dan saat tadi mendengar dia mengatakan lukanya tidak sesakit suntikan dokter, hatiku hancur." "Mama juga begitu, Pa. Mama merasakan hal yang sama. Aleana yang masih sekecil itu, mama tidak sanggup membayangkan yang dia rasakan saat itu." Hardi mengenggam tangan Metta. "Kita akan menjaga Aleana, dia tidak perlu merasakan sakit seperti itu lagi." "Iya Pa, kita akan menjaganya, menjauhkannya dari hal-hal yang tidak baik. Aleana harus mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya." ***** Pagi ini, Aleana mengenakan seragam olahraga dengan rambut yang diikat dua. Bu Gita membawa mereka ke lapangan bermain. Banyak kegiatan yang mereka lakukan seperti melempar bola, mengoper bola, memasukkan bola ke keranjang. Aleana sangat senang, dia sampai berkeringat. Salah satu temannya melempar bola hingga keluar lapangan. Aleana mengejar bola hingga ke halaman belakang sekolah. Bola itu berhenti tepat di sepasang kaki yang kini berdiri di depan Aleana. "Kamu.... anak laki-laki yang kemarin bukan?" "Iya betul, bagaimana sikutmu?" "Hanya di plester dan tidak sakit lagi." "Syukurlah. Ini bolamu." "Iya, terimakasih." "O iya, namamu Alea bukan? Aku Elloandro." "Aleana." "Senang berjumpa denganmu." "Aku juga senang. Ehh...aku harus kembali ke lapangan. Dah... " Aleana melambaikan tangan kepada Elloandro. Sepulang sekolah, Aleana bercerita kepada Metta tentang kegiatannya hari ini namun dia tidak bercerita tentang pertemuannya dengan Ello. Keesokkan harinya, Aleana sengaja pergi ke halaman belakang. Dia bertemu dengan Ello yang sedang menyiram tanaman. Ello tidak menyadari kehadiran Aleana dan saat Aleana menepuk pundaknya, Ello spontan berbalik badan dan selang air yang dipakainya mengarah ke Aleana sehingga dia menjadi basah. Ello segera meletakkan selang air itu dan menyeka wajah Aleana yang basah dengan punggung tangannya. "Maaf, aku tidak tahu kalau kamu berdiri di belakangku." (Aleana hanya setinggi d**a Elloandro saat ini. Jadi Ello berjongkok saat menyeka wajah Aleana.) "Wajah kak Ello ini seperti cerita pangeran dalam dongeng, mata besar, alis tebal, hidung mancung, bibir merah. Dia juga baik hati dan penolong", batin Aleana. (Aleana sering dibacakan dongeng sebelum tidur. Pangeran yang sering diceritakan oleh papa atau mamanya sekarang ada di hadapannya.) "Ini salahku mengagetkan Kak Ello. Maaf ya." "Aku hanya sedikit kaget. Tidak masalah. O iya, mengapa kamu bisa sampai ke halaman belakang? Bukannya hari ini, tidak ada jam pelajaran di luar lapangan." "Aku hanya penasaran denganmu. Apa yang kamu lakukan di sekolah ini? Seragam yang kamu kenakan juga bukan dari sekolah ini?" "Aku memang tidak bersekolah di sekolah ini. Ayahku hanya bekerja sebagai tukang kebun di sekolah ini. Saat ini, beliau sedang sakit keras, jadi aku kemari untuk membantunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD