Dalam perjalanan menuju mall, Kaif menceritakan perihal rencana papanya untuk menjadikannya CEO, tapi ditolak olehnya.
Tania marah besar pada Kaif karena menolak tawaran bagus itu.
“Kamu ini gimana sih? Kamu itu anak pertama papamu, kamu yang harusnya nerusin usaha dia. Gimana kalau seandainya si Aydan yang ngambil alih?” tanya Tania.
“Tapi bisnis itu bukan keinginanku, Sayang!”
“Haha, kamu itu bodoh kali! jalanin aja dulu pekerjaanmu, nanti kalau kamu udah terbiasa baru jalanin bisnis lain yang sesuai dengan keinginanmu.”
“Jadi menurutmu harus kuambil?” tanya Kaif.
“Ya iyalaaah! Katanya mau nikahin aku, kalau kamu gak kerja aku juga gak mau. Mau makan apa? Meski kamu anak orang kaya, tapi yang banyak harta itu kan papa kamu. Kamu harusnya pintar sedikit lah.”
Tania malah menggosok Kaif untuk menguasai harta Raihan. Kaif mengangguk, merasa ucapannya benar juga.
'Lagian Aydan kan anak angkat papa, Tania aja yang gak tau masalah itu,' batin Kaif.
“Iya. aku akan ngomong sama papa untuk memberiku kesempatan lagi.”
“Nah, gitu lah! Seorang pria kok takut dikasih tantangan untuk berbisnis. Masalah perusahaan itu jual pakaian dalam yah, biasalah. Aku pakai, mama kamu pakai terus itu, wanita di sana juga pakai.”
Alis Tania terus berkedut menasehati kekasihnya itu. Kaif memegang kepalanya dan tersenyum.
“Kalau aku lebih suka kau gak make itu,” sahutnya.
“Iiihh, aku ngomong serius!”
“Iya, iya,” sahut Kaif tertawa melihat pacarnya marah padanya. Tania terus cemberut.
“Senyumnya mana?” tanya Kaif.
“Abis di makan rayap,” jawab Tania kesal.
“Hahaha, ya udah kalau gitu, ntar rayapnya kumakan.”
“Makan aja sana semua!”
Dalam kondisi lampu merah, mobil mereka berhenti. Kaif menarik lehernya dan meraup bibir manis Tania sesuai perintahnya tadi untuk memakannya semua.
Tania mendadak terhibur dan segera melepasnya. “Apaan sih? Malu diliati orang,” katanya dengan nada rendah, rasa marahnya hilang.
“Mana bisa mereka liat, kan kacanya dilapis stiker 60%.”
“Ya sih, gelap emang. Ah, udah lah, aku lagi ngambek, jangan dirayu.”
Kaif menarik tubuhnya dan kembali memegang stir mobil. Semua orang yang berada di luar melihat ke arah mobil sport itu.
Beberapa dari mereka bahkan memoto dan merekamnya. Kaif membuka kaca dan melihat ke arahnya.
“Ngapain kau?” tanyanya.
Anak itu langsung menyingkirkan ponselnya yang sedang merekam. “Gak ada, Bang!”
“Baru ini ya ngeliat mobil bagus?” tanya Kaif.
“Iya, Bang! Bagus kali soalnya bang.”
“Haha, baguslah!” Kaif memberinya uang 200 ribu karena memuji mobilnya.
Orang-orang mengira Kaif akan memarahinya habis-habisan, tapi malah dikasih uang.
“Makasih banyak, Bang!”
“Ya, hapus video kau itu. Kalau gak kuretakkan tulang selangkamu,” sahut Kaif.
“Heh, orang kaya! Jangan sok kali kau bicara, mentang punya mobil kek gini aja, langsong kau sombong!”
“Mobil kek gini? Yakin kau bilang kek gitu? Harganya 40 milliar ini biar kau tau!”
Spontan mereka semua tercengang karena mengetahui harganya. Mulut tertutup dan tidak berani membalas ucapannya.
Kesombongan Kaif menggetarkan hati banyak orang. Begitu lampu berganti warna menjadi hijau, knalpot racing itu ia gas dan puluhan pasang mata tak bergeming, terpana melihat kemewahan mobil yang merupakan milik Aydan tersebut melesat mulus.
Di perusahaan Raihan.
Setelah makan siang, Aydan diminta papanya untuk mengunjungi dirinya dalam ruangan kerja.
Aydan melangkah menuju lift lalu para karyawan yang melihat pria itu berdiri di depan pintu segera menggeser untuk memberikan ruang padanya.
“Silahkan, Pak!” kata seorang pria.
Aydan tersenyum lalu masuk ke dalam. “Makasih ya, Pak!”
“Sama-sama. Mau ke mana, Pak?”
“Mau ke ruangan pak Direktur.”
“Oh.” Pria itu mengangguk cepat. Lift tersebut spontan menjadi wangi karena aroma yang berasal dari parfumnya.
Begitu Aydan tiba dan keluar, mereka masih bisa mencium wanginya.
“Aduh, udah tampan, pintar, wangi pulak itu! Betul-betul idaman aku bah,” kata seorang perempuan yang mengajak temannya ngobrol.
Mereka asik menceritakan Aydan seolah tidak ada orang lain di sana.
“Ah, enak aja kau, pak Aydan itu milikku,” sahut temannya yang lain.
“Apa pulak kau, punyaku dia.”
“Ehem.” Seseorang berdehem dan membuat tiga orang itu terdiam.
Tok. Tok.
Aydan mengetuk pintu papanya dan sekretarisnya melihat bahwa ada orang yang mengunjungi ruangan bosnya.
Pria itu menghampiri Aydan. “Selamat siang, Pak!”
“Selamat siang, Pak Jhon!”
“Bapak mau bertemu pak Raihan?”
“Ya, benar.”
“Kalau gitu biar saya bukakan pintunya.”
Aydan tersenyum lebar. “Terimakasih, Pak Jhon!”
“Sama-sama, Pak Aydan!”
Aydan pun masuk. Raihan sendirian di dalam sedang mengecek berkas.
“Assalamu’alaikum, Papa.”
Raihan menoleh setelah mendengar suara anaknya. “Wa’alaikumsalam, Nak! Sini masuk, duduklah di sofa, papa mau bicara.”
Aydan mengangguk dan mengikuti perintah Raihan. Aydan duduk, melihat wajah papanya yang sudah makin tua. Saat dia kecil, Raihan masih bugar. Janggut yang tumbuh di pipi pun masih hitam, kini telah memutih bersama rambutnya.
Namun, ketampanan dan kegagahan Raihan tak pernah berkurang. Wibawa Raihan yang diikuti oleh Aydan serta ramahnya juga.
Raihan keluar dari meja kerjanya lalu menghampiri anaknya, duduk di samping Aydan.
“Apa Papa lelah?” tanya Aydan.
“Hmm, lumayan. Tadi ngurus masalah jumlah produksi yang bermasalah.”
“Bermasalah kenapa?”
“Hanya salah mencatat jumlah yang seharusnya.” Raihan tersenyum.
“Sini Aydan pijat bahu Papa,” katanya.
“Serius kamu mau mijatin Papa?”
“Iya.” Raihan diminta untuk menghadap ke depan. Aydan memegang bahunya dan mulai memijat perlahan-lahan.
Aydan merasa memang pundaknya terasa ada penegangan.
“Enaknya, ya Allah,” sahut Raihan mengomentari pijatannya.
“Hmm, nanti malam kalau Papa mau dipijatin semua, aku akan melakukannya.”
“Boleh, nanti malam kita saling kusuk ya,” kata Raihan tertawa bahagia.
“Iya, Pa.” Aydan tersenyum, jarinya sedikit ia gerakkan ke bagian kepala. “Maaf, Pa, aku kusuk bagian kepalanya sedikit,” katanya.
“Yaya, itu dia-“ Raihan merasa Aydan menekan titiknya yang tepat.
Selama 5 menit Aydan merelaksasi tubuh Raihan kemudian papanya ingin berbicara serius dengannya.
“Nak, posisi CEO kita udah lama kosong. Papa gak bisa nemuin orang yang bisa percaya untuk menjalankannya.”
Aydan mendengarkannya, mengangguk pelan.
“Papa ingin kau yang mengisinya,” kata Raihan sambil memegang bahu Aydan.
“Aku? bukankah posisi itu harusnya untuk kak Kaif?”
“Kaif gak mau. Papa lelah memujuknya. Lagian kalau dia yang ngurus pasti Papa juga yang repot karena dia masih nihil ilmu bisnisnya.”
“Lalu gimana posisiku saat ini?” tanya Aydan.
“Tenanglah, Papa sudah punya orang yang bisa menggantikan posisimu saat ini.”
Aydan menunduk, berpikir sejenak. Bukannya dia tidak mau, tapi takut kalau Kaif akan menggesernya lagi dari posisi itu suatu saat nanti.
Aydan tersenyum. “InsyaAllah Aydan terima. Kalau keputusan Papa itu meringankan kerja Papa saat ini, Aydan bersedia.”
Raihan tersenyum gembira. Dia memeluk putranya dan menepuk punggungnya. “Kau akan sangat membantuku. Kita jalanin usaha ini bersama-sama.”
“Iya, Pa.”
Raihan melepas pelukannya dan menyeka air mata yang spontan tergenang di telaga beningnya.
Aydan bahagia melihat wajah Raihan yang tersenyum lebar. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk Aydan menebus kebaikan mereka selama 22 tahun ini.