"Ngapain kamu berdiri di sini? Nguping?"
Pertanyaan dari suara yang sangat dikenalnya, Kinara memutar tubuhnya sambil meringis pelan. Tubuh tinggi Eshan yang berbeda satu jengkal dengan Kinara berada tepat di depannya.
"Hehehehe... nggak kok, Pak. Saya cuma nggak sengaja lewat aja." ujar Kinara dengan tersenyum juga meringis malu.
"Ikut ke ruangan saya. Saya perlu bicara sama kamu."
Kinara menghela napas panjang. Seharusnya ia tidak bermain-main di sana. Seharusnya Kinara ingat jika Eshan adalah bos yang galak, dingin, sekaligus menyebalkan. Tapi masalahnya, otak dan hati Kinara selalu bertolak belakang jika mengenai Eshan.
"Ada apa, Pak?" Kinara menundukkan kepalanya, berdekatan dengan Eshan selalu membuatnya terintimidasi.
"Duduk, Kinara." Kali ini bisa Kinara dengar jika suara Eshan sedikit lebih lembut. Kinara duduk di kursi kosong di depan meja Eshan.
Mata elang Eshan menatap manik cokelat milik Kinara. Bibir tipisnya menatap manik cokelat milik Kinara. "Ini pasti akan terdengar lucu untuk kamu, tapi cobalah untuk tidak tertawa karena saya serius."
"Saya hanya akan bicara satu kali, maka dengarkan saya dengan baik."
Kinara menelan salivanya dengan gugup. Ada apa dengan tatapan Eshan padanya? Ini bukanlah tatapan yang biasa Kinara dapatkan saat bersama dengan Eshan.
"Saya cinta kamu, Kinara."
Bibir Kinara sukses terbuka lebar kala mendengar kalimat dari mulut bosnya yang sama sekali tak terdengar ragu-ragu.
Kinara tak mampu berkata-kata, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Eshan mencintainya? Mungkinkah itu? Padahal selama ini ia tidak pernah mendapat perlakuan khusus dari Eshan. Yang ada Eshan justru terus menyiksa Kinara dengan setumpuk pekerjaan yang seakan tiada habisnya.
"Kinara, kamu dengar saya, kan?"
"Bapak habis diancam apa sama Bos besar?" Kinara meringis dalam hati. Menertawakan kebodohan dirinya sendiri karena bertanya hal yang aneh pada Eshan yang baru saja menyatakan perasaannya.
"Maksud kamu?"
"Bapak kan tadi habis dari ruang Bos besar, saya takut Bapak diancam yang aneh-aneh, makanya Bapak jadi ngomong itu sama saya."
Eshan menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum manis di depan Kinara yang kini tak lagi bisa mengalihkan pandangannya. Senyum Eshan begitu manis untuk dilewatkan. Namun seakan mendengar bisikan di telinga kanannya, Kinara tersadar dan langsung beristighfar dalam hati.
"Saya justru bilang sama Bos besar kalau saya akan menikahimu."
Kinara sontak menutup mulutnya. "Jadi Bapak serius?"
Eshan kembali tersenyum, kali ini seraya mengangguk kecil. Matanya menatap lembut manik mata Kinara. "Malam ini saya akan ke rumah kamu untuk melamar kamu, Kinara."
Hafiz masih menatap kotak cincin di tangannya. Helaan napas panjang kembali meluncur dengan berat. Seperti ada sebuah batu yang kini menindih dadanya. Rasanyak sesak.
Selama 25 tahun hidupnya, Hafiz hanya pernah mencintai satu orang. Selama 25 tahun hidupnya, Hafiz hanya memiliki satu orang nama di hatinya. Selama 25 tahun hidupnya, Hafiz berusaha menahan perasaannya hingga dirinya merasa siap memasuki jenjang yang lebih serius.
Namun dalam sehari, semuanya berubah dengan begitu cepat. Tidak, bahkan tidak ada sehari. Hafiz bahkan masih tidak bisa percaya. Kinara dilamar Eshan? Mengapa? Mengapa Eshan? Mengapa harus langsung melamar? Dan mengapa semua itu harus terjadi di saat Hafiz sudah menyiapkan seluruh jiwa dan raganya untuk mengungkapkan perasaannya.
"Aku dilamar Pak Eshan, Hafiz."
"Pokoknya aku ngerasa bahagia banget. Karena ternyata Pak Eshan juga suka sama aku, dia bahkan mau nikahin aku, Fiz."
"InsyaAllah 2 minggu lagi aku akan tunangan dengan Pak Eshan."
Hafiz tersenyum kecut. Kepalanya mendongak menatap gelapnya langit. Ada bulan sabit juga beberapa anak bintang yang benderang di atas sana.
Rasanya lucu, Hafiz jadi ingin menertawakan dirinya sendiri. Ia masih ingat bagaimana dua minggu lalu ia memberitahukan kepada kedua orang tuanya jika ia ingin menikah.
"Bun, Yah, apa boleh jika aku menikah tahun ini?"
Althaf, ayah kandung Alhafiz tentu saja merasa senang mendengar sang putera yang berkeinginan untuk menikah. "Tentu saja boleh, Kak Hafiz mau menikah dengan siapa?"
"Kinara, ya?" tebak Alya, bundanya Alhafiz. Senyumnya merekah lebar tatkala melihat Hafiz yang juga tersenyum malu-malu padanya.
"Bunda tahu kalau Kak Hafiz suka sama Kinara."
Hafiz mendengus malu. "Padahal aku udah diem-diem, ternyata tetep ketahuan ya?"
"Kan Bunda yang ngelahirin Kak Hafiz, jadi Bunda tahu."
"Bunda sama Ayah setuju?" tanya Hafiz ragu.
Althaf menepuk bahu sang putera. "InsyaAllah, siapapun pilihan kamu, Ayah setuju. Ayah tahu kamu bisa milih yang terbaik, apalagi Kinara yang Ayah sendiri sudah kenal lama. Ayah tahu Kinara adalah perempuan yang baik, jadi sudah pasti Ayah akan restui kamu jika kamu ingin menikah dengan Kinara."
Senyum Hafiz mengembang lebih lebar. Matanya sampai menyipit saking senangnya. "Kalau Bunda?" tak puas jika hanya mendengar pendapat ayahnya, Hafiz juga ingin pendapat dari sang bunda.
"Tentu aja setuju. Kalau bisa segera, karena Bunda udah nggak sabar mau punya menantu soleha seperti Kinara." Ujar Alya yang justru langsung membuat wajah Hafiz memerah karena malu.
Lagi, embusan napas panjang meluncur dari mulutnya. Bagaimana caranya menata hati yang sedang patah? Bagaimana caranya menata hati yang tiba-tiba terasa kosong? Karena ini pertama kali untuknya, Hafiz tak tahu bagaimana menyelesaikan masalah hatinya yang terasa tidak baik-baik saja.
Kerlip dari mutiara di dalam kotak cincin itu membuat Hafiz tersenyum kecil. Ia menutup kotak cincin tersebut. "Jadi ini rasanya berusaha mengikhlaskan?" tanya Hafiz pada hatinya sendiri.
"Apa boleh buat, ternyata kamu bukan jodoh yang Allah kasih buat aku."
Mata Hafiz beralih menatap danau tenang yang terpampang di hadapannya. Suara riuh jangkrik dan burung di atas pohon menemani malam sepinya. Tangan yang menggenggam kotak cincin itu mengerat. Tangannya terangkat ke atas, sudah ia putuskan untuk membuang saja cincin itu. Lagi pula, masih menyimpan cincin itu untuk apa? Menyimpan cincin itu sama saja dengan sengaja membuka luka yang pernah terbuka.
Bertepatan dengan kotak cincin yang sudah akan Hafiz lemparkan ke danau, sebuah tangan mencengkeram telapaknya.
"Jangan dibuang!"
Hafiz membulatkan matanya karena kaget. Dengan cepat kepalanya menoleh, begitu matanya menangkap perempuan cantik berdiri di sampingnya dengan menggenggam erat tangannya, Hafiz langsung menarik tangannya hingga kotak cincin itu jatuh ke dalam tangan perempuan itu.
"Astaghfirullahaladzim ..." Hafiz menghela napasnya. Bukan hanya kaget karena suara perempuan, melainkan kehadiran perempuan itu, dan juga tangan perempuan itu yang menggenggam tangannya tadi.
"Cincinnya bagus, kenapa kamu buang?"
"Kamu ... siapa?"
Perempuan cantik dengan tinggi tubuh semampai itu tersenyum manis pada Hafiz. Jemarinya bergerak memindai rambut panjangnya ke belakang telinga.
"Aku? Kenalin, namaku Adinda Giska Larasati, kamu bisa panggil aku Dinda." perempuan bernama Dinda itu langsung mengulurkan tangannya pada Alhafiz.
Hafiz menggeleng kecil, enggan berkenalan. "Kembalikan cincin saya," ujar Hafiz dengan mengadahkan tangannya agar Dinda mau memberikan cincin miliknya.
"Ini?" Dinda mengangkat cincin itu dan menggoyangkannya. "Nggak mau. Lagian kenapa harus aku kembaliin ke kamu?"
"Itu milik saya, jadi kembalikan."
Dinda tertawa, "Tadi kan cincinnya hampir kamu buang kalau aja nggak aku hentiin, jadi harusnya bukan milik kamu lagi," katanya dengan senyum manis yang tak kunjung hilang dari wajah putihnya yang ikut tersorot lampu taman.
"Cincin itu belum saya buang, jadi cincin itu masih sah milik saya."
Jajaran gigi putih Dinda terlihat. Perempuan itu tersenyum bahkan tertawa dengan lebarnya. Seolah Hafiz adalah bahan tertawaan yang lucu untuknya.
Hafiz mengerutkan keningnya bingung. Baru kali ini ia bertemu dengan perempuan aneh. Dinda beralih duduk di bangku panjang di samping Hafiz, membuat Hafiz sontak bergeser. Mata kecil Dinda menatap ekspresi bingung dari wajah Hafiz. "Nikah yuk sama aku?"
"Apa?" Hafiz yakin ia baru saja salah mendengar.
"Aku tahu, kamu lagi patah hati, kan? Makanya nikah aja sama aku."
"Kamu gila ya?" hanya kalimat itu yang bisa terlontar jujur dari bibir Hafiz tanpa pikir panjang.
Adinda nyengir lebar, "Udah aku bilang namaku Adinda. Makanya kenalan, biar kita bisa segera menikah."
Hafiz mengerjapkan matanya beberapa kali karena bingung. Dengan ragu ia langsung bangkit berdiri. Sepertinya Hafiz memang sudah bertemu dengan orang yang tidak waras.
"Loh, kamu mau ke mana?"
"Kembalikan cincin saya, saya mau pulang."
"Mulai malam ini aku sah jadi calon istri kamu, jadi cincin ini juga sah milik aku."
"Apa?"
Adinda tersenyum dengan lebar seraya mengangguk. "Kamu setuju, kan?"
Hafiz berharap, malam ini ia sedang bermimpi panjang. Semua yang terjadi hari ini begitu membingungkan dan membuatnya tidak percaya. Dalam sehari, ia bisa merasakan bagaimana rasanya berdebar karena ingin melamar seseorang, namun dalam sehari juga ia langsung patah hati dan kini malah bertemu perempuan aneh yang melamar dirinya.