Patah

1260 Words
Alhafiz Keanu Abrisam, pria berumur 25 tahun itu tersenyum kala menatap benda kecil bundar di tangannya yang berada dalam kotak merah. Ia bersyukur akhinya bisa membeli cincin indah tersebut dengan jerih payahnya itu. Rasanya jadi semakin tidak sabar. Hafiz ingin segera mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. "Psst! Hafiz! Psst!" Mendengar suara seseorang berbisik di belakangnya, Hafiz sontak menoleh. Ia membulatkan matanya melihat perempuan yang kini menyandang status sebagai sahabatnya ternyata berdiri di depan ruangan bos besar. Dengan cepat Hafiz kembali memasukkan kotak cincinnya ke dalam saku celananya. Ia segera berdiri dan menghampiri Kinar yang tampak seperti seorang mata-mata di depan ruangan bos. Hafiz berdiri di belakang tubuh Kinara yang sedang menatap penuh ke arah ruang bos besar. "Kamu ngapain di sini, Nar?" tanya Hafiz dengan balas berbisik. "Di dalem situ ada Pak Eshan, Hafiz." "Terus?" Kinara mendengus sebal dan refleks berbalik. Membuat wajahnya langsung berhadapan dengan wajah Hafiz yang tampan. Sadar akan jarak wajah mereka yang tak begitu jauh, Kinara langsung mundur dan mengerjapkan matanya cepat. "Kamu harusnya munduran lagi berdirinya," cicit Kinara yang malu dengan ekspresi Hafiz padanya saat ini. Kinara langsung kembali berbalik dan memantau keadaan di dalam tanpa melihat perubahan ekspresi Hafiz saat ini. "Kamu masih suka Pak Eshan?" Pertanyaan acak yang terlontar dari mulut Hafiz, sontak membuat Kinara termangu. Perempuan itu meremas tangannya yang berpegang pada pinggiran dinding ruangan bos. "Aku nggak suka Pak Eshan." "Terus kenapa kamu selalu perhatiin Pak Eshan kayak gini? Kalau kamu nggak suka sama Pak Eshan, untuk apa kamu peduliin dia di dalem lagi diapain sama bos besar?" Kinara memutar tubuhnya, membuat Hafiz mundur selangkah untuk menciptakan jarak aman. "Kamu kenapa sih tiba-tiba sensi gitu ngomongnya? Lagian sejak kapan kamu bahas soal siapa suka siapa di tempat kerja?" Hafiz masih belum menjawab pertanyaan Kinara. Ia hanya sibuk menatap wajah Kinara, dan dua detik kemudian ia langsung berbalik meninggalkan Kinara. "Hafiz!" Kinara berteriak memanggil. Lupa jika kini ia masih berdiri di depan ruangan bos besar. "Ngapain kamu berdiri di sini? Nguping?" Pertanyaan dari suara yang sangat dikenalnya, Kinara memutar tubuhnya sambil meringis pelan. Tubuh tinggi Eshan yang berbeda satu jengkal dengan Kinara berada tepat di depannya. "Hehehehe... nggak kok, Pak. Saya cuma nggak sengaja lewat aja." ujar Kinara dengan tersenyum juga meringis malu. "Ikut ke ruangan saya. Saya perlu bicara sama kamu." Kepergian Eshan membuat Kinara baru bisa menghela napas panjang. entah bagaimana nasibnya ke depan. Mungkin tadi Eshan dimarahi oleh bos besar, makanya ketika melihat Kinara, pria itu seperti melihat mangsa baru. Selesai solat isya berjamaah, Hafiz menyempatkan diri untuk murajaah hafalannya di dalam mushola lantai 9. Ia bersyukur memiliki nama Alhafiz. Karena berkat kedua orangtuanya, ia jadi punya semangat untuk menghafal serta menjaga hafalan Al-Qur'an di dalam kepala dan juga hatinya. Getaran ponselnya di saku celana membuat hafalan Hafiz terjeda sesaat untuk melihat panggilan masuk di ponselnya. Nama Kinara adalah yang pertama kali ia lihat begitu layar benda pipih tersebut berada di tangannya. Hafiz menghela napas panjang sejenak. Sejak ia meninggalkan Kinara begitu saja tadi siang, Hafiz sudah tak lagi melihat keberadaan Kinara. Saat ia menanyakan hal itu kepada teman-temannya Kinara, mereka mengatakan jika Kinara memiliki keperluan mendadak di luar. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, Hafiz. Bisa ketemu sebentar?" "Nggak bisa, aku sibuk." "Sebentar aja, ini penting." "Mau ketemu di mana?" "Di rumahku, bisa?" "Di rumah kamu? Ada apa harus ke sana? Aku masih di kantor sekarang, Nar. Banyak kerjaan." "Please, ke sini sekarang." Hafiz menghela napas panjang. mendengar suara Kinara yang terus memohon padanya jadi membuat Hafiz penasaran. Ada apa sebenarnya Kinara ingin dirinya ke rumahnya? Dengan kendaraan roda empatnya yang berwarna hitam, Hafiz membelah jalanan malam ini. Rencana lemburnya terpaksa batal karena permintaan Kirana yang memintanya untuk segera pergi ke rumahnya. Mengenal Kirana lebih dari sepuluh tahun, Hafiz hampir hafal karakter Kinara. Kinara biasanya akan mogok bicara pada Hafiz, jika Hafiz menolak permintaan perempuan itu. Manja dan menyebalkan memang, mungkin karena Kinara juga hanya anak perempuan satu-satunya sedangkan saudara kandungnya adalah laki-laki. Selepas turun dari mobil, Hafiz langsung memasuki pekarangan rumah Kinara. Hafiz sudah bersahabat lama sekali dengan Kinara sehingga rumah Kinara sudah seperti rumahnya sendiri. Alis Hafiz terangkat naik saat melihat ada BMW hitam yang terparkir di garasi rumah Kinara. Ia tahu pemilik mobil tersebut, tapi yang tak Hafiz mengerti alasan mobil tersebut ada di rumah Kinara. Riuh berisik, canda tawa yang terdengar dari posisinya berdiri membuat Hafiz semakin mengerutkan keningnya kala kakinya semakin mendekati ambang pintu rumah Kinara. "Betul Pak, nanti kita atur saja tanggal tunangan Kinara dan Eshan." Begitu telinganya mendengar satu kalimat lugas dan tepat dari seseorang di dalam sana, kaki Hafiz sontak berhenti tepat di ambang pintu. Saat matanya memandang lurus ke depan, rupanya ada beberapa orang yang tampak duduk di sofa ruang tamu Kinara. Hafiz meremas ujung jaketnya. "Kalau saya terserah Pak Eshan saja, Pak." Kinara bersuara. Perempuan itu terlihat menatap ke arah Eshan dengan malu-malu. "Nanti kalau sudah menikah, Kinara jangan panggil putra saya Pak lagi ya, panggil Mas." Pria paruh baya yang mana adalah ayah dari Eshan, berkata pada Kinara dengan senyum simpul yang menghias wajahnya. Tiba-tiba Hafiz teringat jika ia masih menyimpan sebuah kotak berisi cincin di saku jaketnya. Lelaki itu menatap getir kotak cincin tersebut sebelum kembali ia masukkan ke dalam saku jaketnya. Sepertinya ia salah besar karena datang ke rumah Kinara malam ini. Satu sudut bibir Hafiz tertarik, membentuk sebuah senyum. Miris. Menyedihkan. Rupanya tujuan Kinara bersikukuh menyuruhnya ke rumah adalah untuk melihat perempuan itu sedang dilamar oleh seseorang. Seseorang yang tidak lain adalah atasan mereka berdua, yaitu Eshan Safaraz Akbar. Hafiz memutar tubuhnya. Ia sudah memutuskan untuk pergi. Rasanya tak perlu untuk dirinya berada di sana. "Hafiz!" Seruan Kinara untuk dirinya membuat langkah pelan Hafiz berhenti. Hafiz menolehkan kepalanya perlahan dan melihat Kinara berlari kecil ke arahnya. Hafiz kembali mundur beberapa langkah, menyediakan tempat untuk Kinara. "Kamu akhirnya dateng. Aku seneng liat kamu di sini." Hafiz tersenyum. "Jadi ini maksud kamu minta aku ke rumah kamu malam ini?" tanpa Kinara tahu, Hafiz sedang berusaha mengeluarkan senyum terbaiknya saat ini. Wajah Kinara balas tersenyum lebih lebar lagi. Jajaran gigi putihnya bahkan sampai terlihat. Kinara terlihat bahagia dan begitu senang. "Aku dilamar Pak Eshan, Hafiz." Kinara tertawa renyah. Hafiz tahu pasti, Kinara pasti benar-benar merasa bahagia. "Oh," respon Hafiz. "Baguslah, selamat ya." "Kok gitu doang responnya? Kamu nggak seneng denger kabar bahagia barusan?" Sama sekali nggak. "Pokoknya aku ngerasa bahagia banget. Karena ternyata Pak Eshan juga suka sama aku, dia bahkan mau nikahin aku, Fiz." Kamu bilang kamu nggak suka dia. "Hafiz!" "Alhafiz!" seru Kinara karena Hafiz yang diam dan entah melamunkan apa. Hafiz mengerjapkan matanya beberapa kali. "Ya?" tanyanya. "Kamu bahagia kan kalau aku nikah? Kamu seneng kan?" Manik cokelat Kinara di hadapannya entah mengapa terlihat begitu indah dan jernih malam ini. Apa mungkin karena efek bahagianya? Hafiz menurunkan pandangannya. Ia diam beberapa saat sambil menatap kedua kakinya yang memakai sepatu hitam mengkilap. Hafiz bingung karena lidahnya mendadak kelu untuk bicara. Sesuatu yang tak ingin ia katakana terasa menjadi sebuah keharusan. "Fiz, kamu nggak seneng?" Beberapa detik Kinara menunggu respon Hafiz dengan gugup, namun saat Hafiz mengangkat kembali kepalanya dan memberikan sebuah senyum simpul untuk Kinara, Kinara jadi ikut mengembangkan senyum dengan lebar. "Aku bahagia kalau kamu bahagia, Kinara." Mendengar Hafiz mengatakan itu, perasaan Kinara kini jauh lebih tenang. "Pokoknya kamu orang pertama yang aku kasih tahu tentang ini. Tapi inget ya, jangan kasih tahu ke yang lainnya dulu. Cuma kamu loh, Fiz." Hafiz mengangguk. "Kapan kamu akan menikah?" "Bulan depan," jawab Kinara dengan mantap. "InsyaAllah 2 minggu lagi aku akan tunangan dengan Pak Eshan." Hafiz tersenyum getir. "Cepat ya ternyata?" gumamnya pelan. "Kenapa, Fiz?" tanya Kinara karena merasa tidak mendengar suara Hafiz barusan. "Nggak papa," jawabnya. "Kalau gitu aku pergi sekarang ya. aku masih harus urus kerjaan di kantor." Kinara mengangguk semangat. Wajahnya kembali terlihat begitu ceria. Tangannya terangkat sebelah dan melambai. Hafiz diam memperhatikan tangan Kinara yang melambai. Setelah berhasil mematahkan hatinya, kenapa Kinara masih memperlihatkan senyumnya juga memberikan lambaian tangan untuk Hafiz. Itu tidaklah membantu, yang ada justru memberikan luka yang lebih di hatinya.  Karena kini, Hafiz akhirnya tahu bagaimana rasanya patah hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD