7

1474 Words
Pukul tujuh malam nanti jam kerja Keenan di kantor akan usai. Ia butuh paling lama tiga puluh menit untuk tiba di rumah. Luna melirik ke arah jam dinding di ruang tengah, sudah pukul enam lewat empat puluh menit. Ia punya waktu kurang dari satu jam untuk mempersiapkan dan menyelesaikan semua. Sejak pagi tadi Kale rewel karena tumbuh gigi. Di usia 9 bulan, ia sudah punya enam gigi. Dua gigi seri atas, dan empat gigi di rahang bawah. Sebentar lagi jumlah giginya mungkin akan bertambah. Rewelnya Kale adalah ia ingin digendong dan dipeluk Mamanya yang membuat Luna harus terus berada di dekat Kale, bahkan menggendongnya. Berat badan Kale yang sudah tidak enteng lagi, ditambah perutnya yang mulai membuncit dengan usia kandungan enam bulan membuat Luna kesulitan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Dengan satu tangan yang bebas, Luna menyiapkan makan malam untuk Keenan dengan tergesa-gesa. Salahnya sendiri mengangkat telepon dari Ibu dan mengobrol cukup lama dengannya. Luna berusaha mati-matian mencari alasan agar Ibu tidak jadi datang ke Aachen, ia masih bingung harus menjelaskan apa tentang hubungannya dengan Keenan. Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, semua sudah beres. Makan malam sudah siap, cucian bersih yang sudah disetrika sudah masuk lemari, rumah sudah disapu dan pel sampai bersih, Kale sudah berhasil ia tidurkan di kamarnya, dan ia juga sudah siap menyambut Keenan pulang. Menyambut Keenan artinya menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan selama seharian tadi. Peraturannya, jika Kale tertidur, tidak ada tamu, dan Keenan berada di rumah, Luna harus telanjang bulat. Sesekali mengenakan pakaian yang diminta Keenan secara khusus. Malam ini contohnya. Pesan singkat dari Keenan beberapa saat lalu memberitahu Luna tentang apa yang harus Luna kenakan untuk menyambut Keenan pulang. Sebuah rok mini yang hanya menutupi sebagian p****t dan k*********a dan kalung choker pemberian darinya. Perempuan itu paling tidak suka bagian ini dari segala perlakuan Keenan padanya. Luna mendengar bunyi pagar terbuka dan suara mesin mobil memasuki garasi. Segera ia mengikat rambutnya menjadi dua ikat ekor kuda belah tengah, sebab Keenan menyukai itu. Ia duduk bersimpuh di dekat pintu masuk utama. Kalung choker yang diberikan Keenan beberapa saat lalu sudah terpasang melingkari lehernya. Ia hanya bisa berharap Keenan tidak main kasar malam ini, agar bayi dalam kandungannya tidak bergerak aktif sehingga ia bisa tidur tenang. Pintu utama terbuka, Keenan yang baru pulang dari kantor tersenyum senang. "Good girl," katanya sambil mencubit p****g kanan Luna. Collar yang melekat pada leher Luna ditarik Keenan, mengisyaratkan bahwa Luna harus mengikuti langkah lelaki itu. Luna menurut. Dengan merangkak, ia membuntuti Keenan yang berjalan menuju meja makan, perut buncitnya hampir bisa menyentuh lantai. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan?" tanya Keenan pada Luna yang dengan susah payah merangkak ke kolong meja makan. Dari bawah ia memberi anggukan mengiyakan pada Keenan. Kedua tangannya bergerak menurunkan resleting celana jeans yang dikenakan Keenan. Luna bisa melihat p***s Keenan yang sudah membesar dan mengeras di balik celana boxer yang ia kenakan, membuat Luna menelan ludah. Ia pernah melakukan ini dengan Keenan, amat sering bahkan. Tapi sensasi memasukkan p***s besar lelaki itu ke mulutnya tidak pernah membuatnya terbiasa. Dengan cekatan, Luna menurunkan celana boxer. p***s besar milik Keenan menyembul keluar yang langsung dimasukkan ke dalam mulut Luna. Awalnya hanya ujung p***s, kemudian perlahan seluruh badan p***s. Luna memasukkan kemudian mengeluarkan penisnya, gerakan yang sama yang dilakukan Keenan jika memasuki vaginanya. Ia ingin tersedak setiap kali seluruh p***s itu memenuhi mulutnya, membuat Luna kesulitan bernapas. Keenan yang duduk manis itu masih bisa menikmati makan malamnya. Sesekali ia mendesah, entah karena masakan Luna atau blowjob Luna yang nikmat. Setelah makan malamnya selesai, ia akan menghadiahi Luna sesuatu yang akan membuat perempuan itu senang. Ketika Keenan mencapai puncak, ia menyemburkan seluruh pelepasannya yang membuat Luna tersedak. "Telan, Lun!" perintah Keenan yang dituruti Luna. Meski menelan s****a bukanlah suatu hal baru yang Luna lakukan, tetap saja rasanya aneh. Keenan tertawa senang melihat wajah Luna yang menahan diri untuk muntah. "Aku sudah selesai makan!" Mendengar Keenan memberitahu bahwa ia selesai makan, membuat Luna bangkit dari posisinya. Sedikit kesulitan dengan energi yang terkuras selama melakukan blowjob dan perutnya yang mulai membuncit. Segera ia membereskan piring, gelas dan alat makan lain yang sudah Keenan gunakan. Luna tahu apa yang akan dilakukan Keenan dari belakang ketika tubuhnya menghadap bak cuci piring. p****t Luna dipukulnya cukup keras sampai membuat Luna terhenyak. Keenan menunggu Luna sampai perempuan itu selesai membersihkan peralatan makan yang digunakannya tadi sebelum memulai aksinya. Luna dimintanya untuk membungkuk paksa pada meja dapur. Rok pendek yang sedari tadi dikenakan Luna disibakkannya ke arah atas. Jemari tangan kanan Keenan bergerak bermain-main dengan c******s dan vulva Luna, sementara tangan kirinya membekap leher perempuan itu. Tanpa memastikan kenyamanan Luna, Keenan segera membebaskan penisnya dan memasukkan seluruh badan p***s ke dalam lubang Luna yang masih rapat. "Ahhh!" Teriakan Luna tidak ditanggapi Keenan. Ia malah makin semangat menghentak Luna tanpa ampun. Perempuan itu meringis kesakitan. Bukan lagi karena lubangnya yang dimasuki paksa, juga karena perut buncitnya yang berkali-kali terbentur meja dapur tiap kali Keenan menghentakkan tubuhnya. Berkali-kali Keenan melakukan pelepasan, berkali-kali pula keduanya mencapai titik o*****e. Luna yang tidak kuat menahan rangsangan dari Keenan sampai bergetar kakinya. "Good girl," puji Keenan pada Luna yang menangis kesakitan. Bagaimana tidak, c******s miliknya ditampar cukup keras oleh Keenan sampai hampir lima kali. Tangan Keenan kemudian bergerak menggendong Luna dengan bridal style menuju kamar mereka di lantai atas. Perempuan itu masih menangis merasakan perih di k*********a, belum lagi janin yang bergerak aktif tidak nyaman setelah diusik berkali-kali oleh Papanya. Setelah tiba di kamar, Keenan berlutut di hadapan Luna. Ia membantu Luna melepas rokk pendek yang dikenakan, juga collar yang memeluk lehernya. Ikatan pada rambut Luna juga ikut dilepaskannya satu per satu dengan hati-hati. Setelah selesai, Keenan kembali menggendong Luna. Kali ini untuk ditidurkan di ranjang. Luna yang masih terisak, mencoba mengusap perutnya yang membuncit. Berharap bayi di dalamnya bisa sedikit tenang dan berhenti menendang kasar Luna. Ia miring ke sisi kiri, tidak mau melihat Keenan yang masih ada di sisi kanan ranjang. Ia bisa mendengar suara kucuran shower, menandakan lelaki itu sedang mandi malam. Tidak lama kemudian, Luna merasakan ada gerakan dari sebelahnya. Tangan Keenan bergerak masuk dalam selimut yang menutup tubuhnya, menemukan tangan Luna yang masih berada di atas perutnya. Kecupan di pundak telanjang Luna cukup membuat perempuan itu terkejut. "Apa anak-anak kita menjadi beban untukmu seharian ini?" suara Keenan membuat bulu kuduk Luna merinding. Luna menggeleng cepat. "Tidak perlu berbohong. Aku bisa merasakan gerakan kasar anak kita yang di dalam sana," katanya. Lagi-lagi Luna menggeleng. "Dia hanya ingin bermanja," balas Luna. "Ia tahu Papanya sudah pulang kerja." Keenan tersenyum, dikecupnya lagi pundak Luna. "You are a good girl, Mama." "Aku akan mengajak kamu dan Kale ke taman bermain Sabtu besok sebagai hadiah," kata Keenan. "Atau kamu mau hadiah lain?" Luna mengangguk, ia teringat rencana Ibu yang tadi siang meneleponnya. Tapi ia takut untuk memberitahu Keenan. Namun, di sisi lain ia merindukan Ibu. "Ibuku tadi siang telepon. Ia berencana akan ke Aachen setelah lama tidak bertemu denganku. Apa aku boleh izin kembali ke apartemen dan menemani Ibuku? Ia akan pulang hari Minggu besok," jelas Luna. Apartemen tua yang dibelinya itu adalah satu-satunya alamat yang akan dituju Ibu jika Luna tidak menyusul di stasiun kereta. Rencananya Ibu akan tiba Jumat sore dan akan tinggal sampai hari Minggu. Cukup lama Luna menunggu balasan jawaban dari Keenan, dan selama itu pula jantungnya berdegup kencang bukan main. "Jam berapa keretanya tiba?" tanya Keenan. "Jam 2 siang," jawab Luna. "Besok kita jemput ibumu bersama-sama, dengan Kale juga. Biarkan ia tinggal di sini bersama kita. Aku menyiapkan kamar tamu untuk sebuah alasan, bukan?" kata lelaki yang masih memeluk Luna dari belakang itu. "Bagaimana menjelaskan hubungan ini ke Ibu?" tanya Luna. "Biar itu jadi urusanku," jawab Keenan. Esok hari Keenan merelakan izin pulang awal dari kantor untuk menjemput Ibu bersama Luna dan Kale. Luna sedikit khawatir dengan penjelasan yang akan Keenan beri pada Ibu. Tidak mungkin ia akan memberitahu isi kontrak yang sudah mereka tandatangani. Ibu datang jam dua lewat beberapa menit. Terlepas dari wajah Ibu yang makin menua, tidak ada yang berubah pada diri Ibu. Pelukannya masih hangat dan menyejukkan hati Luna. "Siang, Ibu. Saya Keenan, tunangan Luna. Maaf belum sempat main ke Brussels, dan berhubungan dengan Ibu. Tapi saya pastikan saya tentu tidak akan menyakiti hati anak Ibu satu ini," ucap Keenan merentangkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Ibu. Ibu menerima tangan Keenan dan memeluknya. Pipi Keenan dicium oleh Ibu, seperti Ibu mencium pipi siapa saja yang dirasa dekat dengannya. Itu cara Ibu menunjukkan keterbukaannya pada orang tersebut. Luna tidak peduli pada sebutan Keenan yang menganggap mereka bertunangan, yang terpenting Ibu percaya. "Oh, dan ini Kale, cucu Ibu," kata Keenan menunjuk pada Kale yang ada di gendongannya. Ibu senang bukan main mendengarnya. Terlebih Kale yang gembul dan tampan itu menurut saja ketika diminta digendong oleh Ibu. Jadilah sejak hari ini sampai kepulangan Ibu nanti, Keenan dan Luna akan berpura-pura menjadi sepasang tunangan yang dimabuk asmara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD