6

2497 Words
Sudah ada enam bulan, hampir tujuh bulan sejak Luna mengembalikan map merah itu pada Keenan yang menerimanya dengan senyum. Entah senyun apa Luna tidak bisa menggambarkan pasti. Yang jelas semua orang tahu Keenan merasa seperti memenangkan sebuah perlombaan. Napsunya akhirnya bisa terbebaskan. Selama enam bulan terakhir, Luna sudah tinggal bersama di rumah Keenan. Toko bunganya terpaksa ia tutup. Tidak ada yang tahu kepindahannya ke rumah Keenan, bahkan Johannah sekalipun. Tapi Aachen hanyalah kota kecil, ia bisa saja berjumpa tanpa sengaja dengan tetangga apartemen atau pelanggan toko bunganya di supermarket atau pasar. Jika saja Keenan mengizinkannya keluar dari pagar rumah. Luna hanya dibolehkan keluar jika bersama Keenan, bahkan untuk kontrol bulanan di rumah sakit saja harus menunggu Keenan libur atau pulang lebih awal. Ia hanya diperbolehkan berada di rumah, mengurus taman kecil di rumah Keenan yang lama tidak terurus, memberi makan ikan-ikan koi, dan mengurus rumah tangga seperti yang dilakukan ibunya dulu. Seringkali sendiri di rumah yang tidak bisa dibilang kecil, membuat Luna merasa kesepian. Jika ia kesepian, pikirannya akan tertuju pada kenangan bersama ibunya. Setelah kematian Ayah, Ibu memilih menikah lagi dengan pemuda Belgia di usia Luna yang masih 10 tahun ketika itu. Luna ikut tinggal bersama ayah sambung dan Ibu di Belgia sampai usianya menginjak 18 tahun. Ia ingin kembali ke Jerman untuk berkuliah dan hidup mandiri. Karena nyatanya, ayah sambungnya bukan orang kaya tapi harus memenuhi kebutuhan sepuluh orang di rumah. Rumah sederhana di salah satu kota kecil di Belgia yang dihuni mereka dipenuhi sepuluh orang. Ayah sambung Luna, Ibu, Luna sendiri dan tujuh adik-adik sambungnya yang masih kecil. Rasanya selama 8 tahun tinggal di Belgia, Luna tidak pernah melihat Ibu tidak hamil dan menyusui anak. Selalu saja begitu. Luna ingin menjadi seperti Ibu. Ia ingin menjadi tempat calon kehidupan baru untuk bergantung agar bisa hidup sendiri, menjadi tangan yang membentuk kehidupan selanjutnya. Luna ingin menjadi submissive housewife seperti Ibu. Dan ia pikir, menerima ajakan Keenan untuk menjadi submissive breeder tidak jauh berbeda dengan keinginannya. "Sebentar lagi kamu tidak sendiri lagi di rumah, Lun," begitu yang diucapkan Keenan tiap kali Luna murung karena kesepian. Singkat, dan terdengar biasa saja. Tapi selalu mampu membuat Luna kembali bersemangat, ia tidak mau anak di kandungannya ikut murung. Benar saja kata Keenan, tidak lama lagi anak mereka akan lahir. Luna kecil atau Keenan kecil akan ikut meramaikan rumah. Di usia kandungan yang menginjak 41 minggu, Luna makin tidak sabar menyambut kelahiran anaknya. Punggungnya rasanya sudah ingin patah menahan beban bayi berat Keenan di kandungan. Ia jadi banyak bergantung pada Keenan, termasuk untuk urusan mencukur bulu kemaluan, karena memang sudah susah untuknya meraih daerah itu. Beruntung Keenan mau dan bersedia membantu. "Tidak apa, kan, Lun?" tanya Keenan setelah keheningan menyelimuti mereka. Luna bingung. "Apanya yang tidak apa?" Keenan menghela napas. "Kamu tidak apa melahirkan sendiri tanpa tenaga medis profesional?" tanya Keenan. "Itu yang kamu mau, Kee. Dan aku sudah pernah berjanji untuk menyetujui dan melakukan apa yang kamu mau untuk aku lakukan," jawab Luna. "Lagipula aku juga ingin. Bukannya aku sudah pernah cerita?" Keenan mengangguk. Luna memang pernah bercerita bahwa dari empat kehamilan yang pernah ia jalani, hanya tiga yang lahir melalui v****a. Satu kelahiran lainnya adalah bayi kembar dan klien Luna ketika itu tidak mau mengambil resiko sehingga memutuskan melakukan operasi caesar. Tiga kelahiran yang pervaginam pun seluruhnya didampingi dengan dokter atau bidan, dan dengan anestesi lokal tanpa permintaan dari Luna. "Aku ingin merasakan jadi wanita seutuhnya," kata Luna. "Aku tidak masalah melahirkan seperti apa yang kamu inginkan, asalkan setelah anakmu lahir, aku diperbolehkan menyusuinya sampai masa sapih." Keenan yang berlutut di hadapan Luna mendongak dan tersenyum. Luna juga pernah cerita trauma terakhir yang ia rasakan. Bayi yang baru dilahirkannya biasanya diberi kesempatan untuk ia gendong beberapa saat sebelum diberikan pada orang tua kandungnya. Bahkan ada beberapa yang meminta kiriman ASI perah Luna. Namun, pada kehamilan terakhir, orang tua kandungnya tidak mengizinkan Luna untuk menggendong apalagi menyusui. Jadilah selama enam bulan pasca melahirkan, Luna kerepotan menjalani hidup. Rasanya aneh. Payudaranya penuh ASI yang deras namun tidak ada mulut bayi yang bersedia menghisap putingnya atau meminum hasil perahnya. Luna rasanya hampir gila ketika itu. "Sudah," kata Keenan seraya bangkit dari berlutut. Rambut halus di sekitar kemaluan Luna sudah habis ia gunduli. "Terima kasih," ucap Luna. Tangannya bergerak mengelus bagian bawah perut besarnya sebelum berlutut dan membersihkan potongan-potongan rambut halusnya. Keenan yang jauh lebih tinggi dari Luna bisa melihat p******a dan perut buncitnya dari atas. Luna sudah kelewat empat hari dari tanggal semestinya ia melahirkan. Keenan sudah menyiapkan semua alat yang sekiranya dapat mempercepat proses pembukaan. Mulai dari birthing ball, racikan teh tradisional, dan lainnya. "Aku ke dapur dulu," pamit Luna yang sudah kembali berdiri dengan susah payah sebelum berlalu pergi tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhnya. Sejak kandungan Luna menginjak 30 minggu, Keenan meminta Luna untuk tidak mengenakan pakaian apapun di dalam rumah jika Keenan sedang tidak bekerja. Meski musim dingin tiba sekalipun. Jadilah Luna terbiasa telanjang di hadapan Keenan, tidak lagi ada malu di pikirannya. Beberapa saat setelah Luna pergi, Keenan ikut menyusul. Dari meja makan, ia melihat Luna yang sibuk menyiapkan makan malam dan terus memegang dan mengusap perut besarnya. Sedari siang, otot-otot rahim Luna rasanya sudah menegang dan merelaks terus-menerus. Bayi dalam kandungannya pun sepertinya gelisah mencari jalan keluar. Gerakannya kasar membuat Luna tidak nyaman. Ini kehamilan terlama yang pernah ia alami. Selebihnya jika melewati due date terlalu lama, orang tua bayi yang dikandungnya akan meminta melakukan induksi dengan bantuan suntikan hormon. Sesekali Luna bermain-main dengan p****g kerasnya, agar membuat proses pembukaan lancar. Ia melakukannya sembunyi-sembunyi agar Keenan tidak tahu bahwa ia sudah memasuki proses persiapan kelahiran. Yang tidak Luna tahu, Keenan memperhatikan gerak-gerik Luna dan sedang mempersiapkan rencana untuk ia melahirkan nanti. Selama beberapa jam sejak mempersiapkan makan malam, Luna bisa menahan untuk tidak mengeluarkan lenguhan atau desahan tiap kali kontraksi datang. Namun di meja makan sewaktu makan malam, ia tidak bisa menahannya lagi. Kontraksi datang makin intens dan lama. Benar-benar menyiksanya. Keenan menatapnya. Ia pasti marah. Keenan tidak suka jam makannya diganggu. "Mendesah di tengah makan malam? Begitu?" katanya. "Tidak sopan!" Ditariknya tangan Luna dan menyeret perempuan itu menuju kamar mereka. Keenan seakan tidak peduli pada Luna yang tengah diserang gelombang kontraksi. Perut besar Luna yang membuat jalannya kesulitan juga tidak dipikirkan Keenan. Ia menarik dan memaksa Luna untuk berjalan dan menaiki tangga dengan langkah kakinya yang jauh lebih cepat dibanding Luna. "Sana!" Keenan menghempaskan tubuh Luna di atas ranjang. Tangan Luna yang bebas secara refleks memegangi perutnya yang berkontraksi. Sementara itu, Keenan mengambil tali pengikat berjumlah empat dari nakas sebelah ranjang. Kedua tangan Luna diikat di dua sudut atas ranjang, sementara kedua kakinya diikat pada sudut bawah ranjang. Tubuh Luna kini membentuk huruf X dengan gundukan perut besarnya di tengah. Belly button Luna yang menyembul sejak kandungannya membesar itu menarik perhatian Keenan. Salah satu bagian sensitif Luna. "Ahhhh..." desah Luna ketika jari telunjuk kanan Keenan bermain dengan pusarnya yang menyembul. Jari Keenan kemudian berpindah pada c******s Luna yang memerah seiring dengan kontraksi dinding rahimnya. Titik itu juga selalu bisa membuat Luna menggelinjang. "Nggghhhh..." Benar saja. Luna menggigit bibir bawahnya untuk tidak membuat suara banyak-banyak. Ia masih butuh tenaga untuk mendorong bayi Keenan keluar. Keenan mendekatkan wajahnya pada s**********n Luna. Hembusan napas Keenan di bagian itu disambut dengan erangan dari Luna. Sebuah kecupan Keenan tinggalkan di vulva Luna yang sebentar lagi akan dihajar habis-habisan olehnya dan anak yang akan dilahirkan Luna. "Sudah siap menyusui anakku rupanya," goda Keenan melihat ASI yang menetes seiring dengan terangsangnya Luna. Tanpa pikir panjang, Keenan menghisap p****g Luna layaknya seorang bayi. Cara Keenan melakukannya jauh lebih erotis. Setelah p****g kanan, ia berpindah ke p****g kiri. Sama sekali tidak memberi kesempatan Luna bernapas lega. Tangannya yang bebas secara tiba-tiba memasukkan dua jari ke dalam mulut v****a Luna, membuat perempuan itu menggelinjang bukan main. "Ahhh... nggghhhh..." desahnya. "Lubangmu masih sempit, Lun. Harus aku bantu perlebar untuk anakku bisa lewat," kata Keenan. Luna tahu apa yang akan dilakukan Keenan. Tapi ia tidak menduga laki-laki gila itu akan memasukkan keseluruhan penisnya secara langsung. v****a Luna sedang berusaha dijebol oleh anak Keenan dari dalam, sementara bapaknya terlebih dahulu menjebol dari luar. Kontraksi yang masih dirasakan Luna membuat p***s Keenan di dalam vaginanya seakan dijepit, membuatnya makin beringas dalam menghentakkan penisnya. Luna merasakan perih dari hentakan yang dibuat Keenan dan tegangnya kontraksi secara bersamaan. Perasaannya makin campur aduk ketika p***s Keenan menemukan titik sensitifnya di dalam sana. Ia menggeliat, namun perutnya kembali berkontraksi membuat sakit yang lebih bertubi dibanding sebelumnya. "Aww..." pekiknya. "Astaga, sempit, Lun," teriak Keenan, masih menghentak dan menghajar habis-habisan lubang Luna dengan penisnya. Tidak lama kemudian, s****a Keenan menyembur di dalam v****a Luna. Begitupun Luna yang mencapai titik o*****e. Tidak hanya cairan s****a dari Keenan yang keluar dari lubang v****a Luna, melainkan juga air ketuban yang ikut pecah oleh hentakan Keenan tadi. Beruntung Keenan sudah meletakkan alas khusus untuk melapisi ranjang mereka. Kontraksi yang dirasa Luna makin menjadi. Ia tidak pernah merasakan sakit seperti ini. Ia sudah biasa menggunakan anestesi lokal, tidak pernah melakukan yang natural seperti sekarang. Rasanya makin sakit karena kali ini ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk meredakan sakitnya. Ia tidak bisa berjalan, mengusap perutnya, bahkan memilin putingnya. Rasanya ia ingin menutup kakinya sebentar untuk menghilangkan sensasi terbakar, namun kedua kakinya sudah dilebarkan oleh Keenan secara paksa. "Aku akan mengecek pembukaanmu," kata Keenan setelah menarik keluar penisnya. Memutuskan melakukan home birth membuat mereka harus melewati kelas khusus yang disediakan rumah sakit. Dari kelas itu, mereka belajar cara menghitung pembukaan dan lain hal. Lubangnya seakan masih panas setelah dihujam p***s Keenan, sehingga walau dimasuki dua jarinya saja Luna sudah kesakitan. "Pembukaan tujuh, Lun," kata Keenan. Luna berusaha mengatur ritme napasnya setelah Keenan mengeluarkan dua jarinya. Tinggal tiga pembukaan lagi dan anak Keenan akan segera lahir. Ia memperhatikan lelaki yang sudah menghamilinya itu. Keenan sedang membersihkan penisnya dengan tisu, kemudian kembali mengenakan celana boxer hitam. Keenan sebenarnya tidak berniat menghukumnya karena mendesah di meja makan, ia hanya ingin menyetubuhi Luna. Itu saja. Sebuah kontraksi mengambil alih fokus Luna. "Aww, aww, ngghhh.." rintihnya. Keenan sedari tadi memandangi Luna yang merintih menikmati kontraksi yang datang. "Sakit, ya?" Setelah kontraksi berakhir, Luna menatap Keenan seraya tersenyum. "Aku diam saja, badanku sudah sakit. Semua bagiannya sakit. Tapi rasanya aku tidak terlalu mempedulikan sakitnya. Semua rasa sakitnya tidak akan sia-sia. Semua rasa sakit ini menandakan sebentar lagi anakmu akan lahir," ucap Luna lirih. Keenan ikut tersenyum mendengarnya. Ia benar-benar tidak salah pilih. Tiba-tiba sebuah kontraksi kembali menyerang. Keenan bisa melihat gerakan perut Luna tiap kali kontraksi datang. Gerakan kali ini lebih hebat dari sebelumnya. "Ahhh!" teriak Luna. Kedua tangannya bergerak refleks ingin memegang perut besarnya namun tidak bisa karena tali yang mengikat. "Astaga, sakit!" teriaknya lagi. Kontraksi yang datang kini seakan tidak berjarak. Luna kesulitan membebaskan diri dari tali yang mengikat tangannya, meski ia tahu akan gagal. Luna mengerang, berteriak, dan terisak karena sakit yang dirasa. Sementara Keenan hanya duduk di ujung ranjang, menghadap lurus ke arah s**********n Luna yang terbuka lebar. "Ikuti instingmu, Lun," kata Keenan. "Ahhhh.." teriakan kembali keluar dari mulut Luna bersamaan dengan kontraksi yang baru datang. Tangan Keenan bergerak mengusap perut Luna yang sudah ingin diusapnya sejak tadi. Kehangatan dari tangan Keenan sedikit membantu mengurangi sakit yang dirasa Luna. Meski Luna tetap sedikit takut menghadapi proses kelahirannya. "Astaga, aku ingin mengejan!" teriak Luna kali ini, masih kesulitan dengan dua tangan yang terikat. "Kalau begitu, mengejanlah," kata Keenan. Luna tidak ada pilihan lain selain berteriak dan mengejan ketika kontraksi berikutnya tiba. Sekuat yang ia bisa. Kedua tangan Luna mengepal, sementara ia mengejan sampai dagunya menempel di dadanya. Rasanya sakit sekali. Dari bawah, Keenan belum bisa melihat apa-apa keluar dari lubang Luna. Kontraksi berikutnya datang, dan Luna mengejan lagi. Keenan bisa melihat bibir v****a Luna mulai membuka seiring menyembulnya bagian kepala anaknya. Namun, kembali masuk ke dalam tiap kali Luna mengambil napas. "Nggghhhhh..." Luna mengejan kembali. "Kepalanya besar, Kee." Keenan tanpa diberi tahu sudah tahu. Ia melihat sendiri kepala bayi yang mulai muncul itu membuka dan melebarkan bibir v****a Luna. "Aaahhh!" teriak Luna ketika bagian terbesar dari kepala bayi berhasil membuka bibir vaginanya. Keenan menyentuh kaki Luna yang gemetar karena sakit yang dirasanya. "Sekarang jangan mengejan, cukup tarik dan buang napas tiap kali kontraksi. Biar aku melihat anakku melebarkan vaginamu sendiri," perintah Keenan. Luna tidak ada pilihan selain menurut. Ketika kontraksi berikutnya tiba, ia hanya bisa bernapas terengah-engah merespon rasa sakit yang dirasa. Bersamaan dengan vaginanya yang sudah melebar di titik paling maksimal dan kepala anak Keenan yang berusaha keluar seluruhnya sendiri. Kontraksi kuat datang dan membuat Luna menjerit kesakitan. Bukan karena kontraksi saja melainkan bersamaan dengan itu, kepala bayi sudah keluar, menjebol lubang Luna. Tinggal pundak dan badannya saja. Sebentar lagi, pikir Luna. "Bantu aku, Kee," rintih Luna yang sudah terisak. "Kamu bisa melakukannya sendiri, Lun," kata Keenan, menyentuh salah satu kaki Luna. Sambil terisak, Luna mengejan lagi bersama dengan datangnya kontraksi berikutnya. Ia merasakan pundak bayi Keenan cukup besar untuk melewati lubangnya. Ia takut akan mengalami robek perineum. Tidak ada perubahan berarti setelah ia mengejan. Sementara lubangnya sudah terasa panas karena terbuka lebar oleh kepala bayi yang menggantung. Luna mendorong dan mengejan kuat ketika kontraksi selanjutnya datang. "Ahhh, sakiiiit!" teriaknya ketika seluruh tubuh bayi Keenan berhasil keluar. "Kamu melakukannya, Lun," kata Keenan menggendong bayi laki-laki yang menangis kencang itu. "Sudah kukatakan, kamu bisa melakukannya." Luna menangis terisak. Ia tidak tahu apakah ia akan menjadi ibu untuk anak itu atau tidak. Trauma dari kelahiran sebelumnya membuat Luna makin terisak. Ia tidak mau kehilangan bayi yang baru saja keluar dari rahimnya ini. Ia tidak mau plasenta yang menghubungkan mereka segera dipotong kemudian tidak ada lagi hubungan di antara mereka. Dengan satu tangan menggendong bayi merah itu, Keenan menggunakan tangannya yang bebas untuk melepas satu persatu tali yang mengikat tangan dan kaki Luna. Mendengar tangisan bayi itu makin membuat hati Luna menangis. "Shh, mengapa kamu ikut menangis?" tanya Keenan mengusap lembut pipi Luna yang kini berusaha duduk bersandar pada sandaran ranjang mereka. "Halo, Mama. Ini Kale," ucap Keenan yang menyerahkan bayinya pada Luna. Keenan mengucapkannya lembut dalam suara bayi yang membuat Luna tersenyum. "Anakmu tampan, Kee," puji Luna yang kini menggendong Kale. "Anakmu juga, Lun. Kamu Mamanya," sahut Keenan yang membuat airmata Luna jatuh. Ia butuh melahirkan lima kali untuk akhirnya mendapat panggilan Mama dari bayi yang ia kandung. Namun, ia bersyukur bisa menjadi Mama untuk bayi tampan seperti Kale meski harus menuruti napsu gila Papanya. Seorang bidan dari rumah sakit datang beberapa saat setelah Kale dibersihkan oleh Papa dan Mamanya. Dengan begitu, kontrak antara ibu pengganti dan klien sudah berakhir. Keenan meminta memasukkan nama Luna dalam birth certificate Kale, yang lagi-lagi kembali membuat Luna menangis haru. Bidan itu mengingatkan Luna untuk tidak berhubungan badan sampai enam minggu berikutnya yang membuat Keenan menganga penuh tanya. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Keenan untuk kembali menghamili Luna. Kale baru berusia 3 bulan dan Luna sudah kembali menunjukkan hasil dua garis merah di testpack pada Keenan lewat pesan singkat, membuat lelaki itu tersenyum kegirangan di kantor sambil terus memandangi homescreen ponselnya. Ada Luna dan Kale kecil di sana, dalam foto yang diam-diam ia ambil sewaktu menemani keduanya mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD