fourty first tale

1813 Words
Dalam ruangan yang gelap tanpa ada sedikitpun cahaya yang masuk dari sana, ada dua orang yang sedang berbicara tentang Kanya. Seperti sudah terencana rapih sebelumnya, mereka terlihat sangat paham dengan kondisi Kanya saat ini. Saat melihat kondisi Kanya pada malam hari tepat dimana mobil Raken mogok, mereka ada disana untuk mengamati. Juga melihat tentang keseharian Kanya disekolah yang terlihat masih sangat santai untuk ukuran seseorang yang baru saja kena terror. Bahkan baru kali ini mereka melihat ada seseorang yang masih bisa menjalani aktivitas seperti biasa walaupun sudah diteror sebegitu parahnya. "Sepertinya Kanya tidak takut, terlebih lagi Milano sangat membelanya." Begitu melihat laporan dari kumpulan foto-foto yang menunjukkan Kanya yang masih saja tersenyum di situasi yang seperti ini. "Ini baru tiga kali, jelas saja. Kita harus melakukan hal extreme yang lain agar dia menderita, dan hal yang paling gue inginkan adalah dia mati." Seseorang itu benar-benar berbicara sangat kejam, terlebih suasana ruangan disana yang sangat gelap membuat aura yang ada pada ruangan tersebut sangat terasa kelam. "Hahahaha gue juga ingin seperti itu, hadirnya dia seperti parasit, lebih baik dia mati saja agar semuanya akan gue dapatkan dengan mudah." Mereka memang memiliki tujuan untuk sesuatu yang menggunakan Kanya sebagai jalan pintasnya. Sangat jahat jelas saja, namun di titik ini mereka sama sekali tidak menggunakan akal sehatnya sama sekali. "Sudah lanjutkan saja tugas lo, kalau lo ingin dia mati, maka lo harus ikutin cara gue. Dan jangan pernah ada belas kasihan di antara kita." Kalau dilihat dari nada bicaranya yang begitu kejam, kemungkinan besar ia adalah dalang dari semua yang terjadi dalam hidup Kanya. Namun, mereka sama-sama orang yang jahat sebab telah berani menggunakan cara yang kejam seperti ini. "Hahahaha sejak kapan gue punya rasa belas kasihan? Mari kita lanjutkan tugas kita." Entah drama apa yang sedang mereka mainkan, namun dibalik perbuatan akan selalu ada sesuatu yang harus dibayar. Karma itu nyata, kita hanya perlu menunggu kapan karma itu datang kedalam hidup kita. *** Kanya menatap dinding langit kamarnya, ia masih berfikir tentang siapa yang menerornya. Mengapa ia menggunakan identitas Raken? Apa memang benar si penerornya adalah Raken? Kanya rasa itu tidak mungkin. Raken mungkin akan jadi orang pertama yang datang kedalam kehidupannya jika itu menyangkut tentang kebahagiaanya. Maka, jika Raken meneror dirinya adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Sebab Kanya yakin, hal itu bahkan tidak pernah terlintas didalam benak laki-laki itu. Tetapi jika bukan Raken, lalu siapa? Ia merasa bahwa ia tidak memiliki masalah dengan siapapun, lalu siapa yang ingin mencelakai dirinya? Ia mungkin pernah berbuat kesalahan, namun dirinya tidak yakin bahwa ia melakukan kesalahan yang begitu besar sampai-sampai pantas untuk diperlakukan seperti ini. Terror kini terasa sangat menyeramkan bagi dirinya. Bahkan ia berhenti sejenak untuk memesan barang secara online agar paket apapun yang datang kerumah bisa ditolak langsung atau bahkan tidak pernah dibuka dan dibiarkan saja didepan rumahnya itu. Milano juga selalu mengikutinya jika ia pergi jauh-jauh dan tidak bisa membiarkan Kanya pergi sendirian sekarang, terlebih jika saat malam hari. Ada banyak hal yang berubah baik itu pada dirinya sendiri maupun kebiasannya sekarang. Kanya jauh lebih banyak berhati-hati, tidak akan ia biarkan hal seperti itu terjadi kepadanya lagi. Tugasnya sekarang adalah mencari tahu siapa yang melakukan hal ini kepadanya, karena demi apapun ia sangat kesal sekali. Kanya menilai bahwa pelaku peneroran ini adalah seseorang yang pengecut karena tidak berani menyerangnya secara langsung. Kanya menutup wajahnya dengan bantal. "Duh pusing, kenapa gue sama sekali nggak tau siapa pelakunya?" Kanya melempar bantalnya lalu menghela nafas. "Andai aja gue bisa baca pikiran orang atau bisa baca masa depan pasti gue bakal tau siapa orangnya." "Arghh ngayal mulu nih gara-gara kebanyakan baca novel." kesal Kanya frustasi. Lalu Kanya memejamkan matanya rapat-rapat dan berdoa semoga pelakunya ketahuan, semoga ia mendapatkan pencerahan atau sebuah bukti tentang identitas pelaku yang merupakan hal terpenting yang perlu ia cari saat ini. Dan akhirnya, setelah overthinking sekian lama tanpa menemukan jawaban apa-apa, Kanya tertidur tanpa bantal. *** Pagi ini, Karina meminta Kanya untuk berangkat kesekolah bersama. Tidak seperti biasanya namun jujur Kanya merasa senang karena tidak perlu sendirian saat berkendara. Namun melihat Karina yang sedih dan bahkan saat ini sedang menangis membuat dirinya begitu bingung. "Kenapa lo nangis?" tanya Kanya sambil menoleh ke wajah Karina, air matanya terlihat bergiliran untuk turun membasahi pipinya yang membuat Kanya khawatir. Karina langsung mengalihkan pandangan dan menghapus air matanya lalu menghela nafas dan tersenyum pada Kanya. "Enggak kok." lalu air matanya jatuh lagi tanpa permisi. Kanya jadi memperlambat kecepatan mobilnya. "Kenapa?" Karina menggeleng lalu tersenyum. "Gue mau beli hot chocolate di tempat biasa, lo bisa berentiin mobilnya dan beliin buat gue kan?" ia tetap tersenyum walaupun mata dan hidungnya memerah. "Gue yang bayar, tenang aja." Ia sengaja berkata seperti itu untuk mengalihkan pembicaraan, supaya Kanya tidak bertanya lebih lanjut tentang mengapa ia menangis. Kanya mengangguk canggung dan aneh melihat sikap Karina yang tidak seperti biasanya. "O-ok.e" mereka berangkat bersama karena Karina yang meminta, entah ada apa dengannya yang tidak biasanya meminta Kanya untuk berangkat bersama. Kanya menghentikan mobilnya. "Gue beli dulu ya? Lo tunggu sini benta.r" Karina mengangguk lalu setelah Kanya benar-benar sudah masuk dalam cafe tersebut dirinya menangis terisak. "Apapun yang terjadi nantinya, gue sayang sama lo, Nya." dengan nafas yang tidak teratur dia menangis dalam diam dan tanpa suara. "Maafin gue, Nya." Tetapi permintaan maaf itu seolah percuma, sebab Kanya tidak pernah mendengarkan secara langsung dari dirinya. Namun, Karina percaya. Di dunia ini tidak ada hal yang sia-sia. Setidaknya, ia mengusahakan yang terbaik meski hal itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Namun untuk Kanya, Karina diam-diam berharap yang terbaik. *** Kanya mengoyang-goyangkan kakinya diatas gedung sekolahnya, di sebelahnya ada Raken yang sedang melihat kedepan tanpa ujung. "Kamu nggak suka sandwich?" sambil melirik kotak makan yang ia buat tadi pagi. Kanya sengaja bangun pagi-pagi demi membuatkan makanan siang untuk pacarnya itu. Raken menoleh. "Suka kok." Apalagi melihat effort anak itu yang benar-benar berusaha untuk membuat sandwich itu serapih mungkin sampai Raken merasa ketulusan yang terasa dari sandwich tersebut. "Trus kenapa nggak dimakan?" Kanya agak kesal sebab sedari tadi Raken hanya memandangi sandwichnya dan tidak lekas memakannya. "Suapin dong." Raken tersenyum sangat manis, alasannya ternyata ini, Raken bingung mengapa Kanya se-tidak peka itu sampai harus dibicarakan secara langsung. Kanya cemberut lalu detik kemudia ia tertawa dan memukul bahu Raken. "Dasar manj.a" lalu menyuapi sandwich buatannya pada Raken, sebenarnya ia senang-senang aja jika harus menyuapi pacarnya itu. "Oh iya nanti malam kamu ada janji sama orang lain?" Kanya menggeleng, sebab ia memang tidak memiliki janji dengan siapapun. "Yaudah nanti siapin diri kamu ya, ada sesuatu yang menakjubkan yang ingin aku tunjukin sama kamu." "Sesuatu yang menakjubkan? Apaan tuh?" Kanya langsung teringat sesuatu. "Oh iya! Ini hari jadi kita!" seru Kanya, saat membuka ponselnya dan melihat tanggal dan menyadari bahwa hari ini merupakan hari yang special bagi mereka. "Happy-" Raken membekap mulut Kanya agar tidak melanjutkan kata-katanya. "Tunggu aja nanti malam." lalu tangannya terulur untuk mengusap pipi Kanya lembut. Kanya tersenyum lalu mengangguk, rasanya tidak sabar untuk menanti nanti malam. *** "Lah ini kenapa tiba-tiba mogok?" tanya Kanya pada Karina sambil mencoba untuk menyalakan mobilnya. Beberapa kali pun mereka mencoba, tetap saja tidak bisa. Kanya bingung karena setahu dirinya mobil itu tidak pernah mogok sama sekali, bahkan jarang sekali Kanya membawanya ke bengkel. Karina menggeleng lalu menunjuk tempat yang tidak jauh dari posisi mereka berada. "Tuh disana ada bengkel, mending kita kesana buat cek mobil lo." Sebab mereka berdua sama sekali tidak mengerti dengan perbaikan mobil ataupun sekedar mengecek apa yang salah dari mobil itu sampai-sampai tidak bisa dikendarai sama sekali. Kanya mengangguk setuju. "Ayo kesana." Mereka datang kesana, bersyukur karena orangnya mau berjalan lumayan jauh hanya untuk mengecek mobilnya. Tidak mungkin jika dua perempuan itu mendorong mobil tersebut dengan kemampuan mereka, tidak akan kuat. "Gimana bang? Ini mobil saya kenapa?" tanya Kanya saat sudah menunggu orang memeriksa mobilnya. "Oh biasa neng, nanti kita perbaiki, besok mobilnya neng bisa di ambil disini." Setelah mengecek mobil tersebut dengan mengelilinginya. "Kenapa nggak sekarang aja? Emang cukup parah ya?" "Lumayan." Kanya mengangguk "Yaudah besok saya kesini lagi, titip sebentar ya bang. Rin, yuk pulang, tuh ada taksi didepan." Kanya menunjuk taksi yang ada di pinggir jalan. Karina mengangguk lalu mengikuti langkah Kanya. *** "Lepasin!" teriak Bulan begitu sadar bahwa dirinya sedang diikat dengan sangat tidak beradabnya, laki-laki itu memandang dirinya dari kejauhan sedari tadi, tanpa pernah sedikit saja merasa kasihan. Sampai akhirnya laki-laki itu datang kepadanya. Laki-laki itu justru memasang senyuman miring. "Kamu harus bantuin aku, sayang." Bulan sekuat tenaga memberontak dan berusaha untuk melepaskan tali yang diikat pada pergelangan tangannya. "Aku. Nggak. Mau! Kita udah putus! Berhenti manggil aku dengan kata 'Sayang'" Bulan sangat jijik mendengar panggilan tersebut sebab ia sangatlah membenci laki-laki itu, lelaki yang sampai kapanpun akan ia sesali karena pernah ada hubungan khusus dengannya. Laki-laki itu tertawa lebar. "Kamu nggak bisa mutusin aku gitu aja. Harus ada persetujuan dari kedua belah piha.k" tangannya membelai pipi Bulan. Bulan menggeleng agar tangan laki-laki itu enyah dari pipinya, ia benar-benar merasa jijik diperlakukan seperti ini. Jika saja ia tidak sedang diikat, sudah pasti tangannya itu mengambil peran untuk menampar keras laki-laki itu. "Singkirin tangan kotor kamu dari pipi aku!" Merasa dibentak ia justru mencengkram kedua pipi Bulan. "Tangan kotor kata kamu? Oh mari kita buktikan seberapa kotor tanganku ini." Tanpa disadari oleh laki-laki itu, Bulan berhasil melepas tali di tangannya menggunakan belati yang ada di saku celana belakang, ia selalu membawa belati untuk menjaga-jaga, lalu Bulan berdiri dan mengacungkan belati miliknya. "Jangan macem-macem atau kamu aku bunuh." sepertinya belati milik Bulan ada gunanya juga sekarang. Cratt.. Belati milik Bulan jatuh di hantam oleh pisau yang berukuran lebih besar, tangannya sedikit tergores karena pisau itu. "Sekarang kamu pikir baik-baik, pilih bantu aku buat bunuh dia, atau pilih aku yang bunuh kamu?" tanyanya kejam. Bulan sedikit.. Takut. "Kamu sakit! Kamu gila! Aku lebih milih..." suara Bulan memelan lalu lari dari hadapan laki-laki itu. "Kabur dan ngasih tau semuanya sama dia, argh!" ucapannya terhenti saat laki-laki itu mencengkram lehernya dan menyudutkan tubuhnya ke tembok. "Kenapa kamu bikin semuanya jadi sulit? Hm?" laki-laki itu membelai pipi Bulan lagi, namun bukan menggunakan tangan, tapi menggunakan pisau. Walaupun Bulan sangat takut, ia mencoba untuk berani di hadapan laki-laki itu. "Lebih baik aku mati dari pada harus mematuhi ucapan kamu!" teriak Bulan. "Aku nggak akan mematuhi ucapan ka-" ucapannya terhenti saat pisau tertancap pada perutnya "Mu..." lanjutnya lalu tak sadarkan diri lagi. *** Prang... Gelas yang berada dalam genggaman Milano meluncur begitu saja, waktu seolah terhenti. Ia berada di sebuah restaurant karena Bulan menginginkannya untuk makan malam bersama. Pikirannya lumayan kacau untuk saat ini, ada perasaan tidak enak di dalam hati. Perut Milano seakan-akan melilit lalu ia mengecek sesuatu di handphonenya lalu terkejut melihat apa yang ada di sana. "Kenapa Bulan bisa ada disana?" ia meletakkan sesuatu yang membuat dirinya bisa melihat dimana Bulan berada, ia meletakkan di bawah tas milik Bulan. Rahang Milano turun ke bawah lalu segera pergi sebelum itu membayar minuman yang ia pesan tadi. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD