fourty second tale

1814 Words
Sedari sore, sampai kini langit sudah menggelap dan pertanda bahwa malam akan segera datang, Kanya masih disana. Berada disebuah taman yang baru saja ia ketahui tempatnya berkat pesan Raken yang menyuruhnya untuk menunggu disini atas dasar merayakan hari jadi mereka yang jatuh tepat di hari ini. Kanya merasa sangat senang entah karena apa. Tidak menyangka bahwa ia dan Raken bisa bersama-sama hingga saat ini, Kanya merasa sangat bersyukur dan tidak ingin kehilangan laki-laki itu. Karena bagaimanapun juga, pria itu memiliki arti dikehidupannya. Jika saja Raken mendadak pergi dalam kehidupannya, ia tidak tahu lagi harus melakukan hal seperti apa. Mungkin saja, hari-harinya kembali menjadi hari yang tidak menyenangkan. Yang jelas, salah satu hal yang paling ia syukuri keberadaannya adalah kehadiran Raken dalam hidupnya. Ia merasa sangat senang karena ada Raken dalam hidupnya. Meskipun ia menunggu hingga kurang lebih dua jam disini sendirian, dan sedari tadi tidak ada satupun tanda bahwa laki-laki itu akan datang kepadanya. Bahkan sedari tadi Kanya mencoba untuk menelfon atau bahkan mengirimkan beberapa pesan, tidak ada satupun balasan darinya. Kanya mulai bosan, sebab satu per satu orang yang ada di sini pergi meninggalkan tempat ini hingga ia hampir sendirian disini. Handphonenya berdering. "Ya Hallo?" "Nya, adiknya Raken kecelakaan! Gue dapet info dari Dafa, Raya kritis, lo bisa ke rumah sakit sekarang nggak? Alamatnya udah gue kirim lewat line." Nafas Kanya tercekat air matanya menetes mendengar hal tersebut. "Nya? Lo masih disana kan?" Kanya mematikan panggilan sepihak lalu mengecek line dari Luna. Secepat kilat ia pergi ke rumah sakit dimana Raya berada. Apapun yang sedang terjadi saat ini, Kanya harap… Raya baik-baik saja. Sebab salah satu dunia Raken adalah adiknya, sehingga Kanya yakin tidak ada hal yang lebih menyedihkan bagi Raken selain adiknya sendiri. *** Begitu cepat dan kilat, Kanya sudah sampai pada rumah sakit. Berlarian mencari ruangan hingga akhirnya menemukan Raken sedang berdiri didepan ruangan, dengan wajah yang sangat dingin. Entah mengapa Kanya ikut merasakan hawa dingin walaupun hanya melibat dari jauh saja. Saat Kanya ingin melangkahkan kakinya menuju ke depan pintu ruangan. Raken mencegahnya dengan mencekal lalu menarik Kanya menuju rooftop rumah sakit. Kanya jelas saja kebingungan atas tindakan laki-laki itu, namun ia sangat lemas hingga tidak mampu untuk menetap diruangan dan malah mengikuti laki-laki itu untuk pergi keatas. "Gimana keadaan Raya?" sambil mendongak menatap wajah Raken yang masih saja terlihat sangat dingin. "Lepasin, gue mau liat keadaan Raya, Ken." sambil mencoba untuk melepaskan tangannya yang dicekal oleh Raken. “Buat apa sih lo mau ngeliat keadaan Raya?” dari nada bicaranya, terdengar sangat marah. Kanya sampai tersentak saat mendengarnya. “Ken… dia adik kamu. Apa aku nggak boleh khawatir sama Raya?” Kanya sedikit kesal dengan hal tersebut. Mengapa juga Kanya tidak boleh untuk menjenguk Kanya atau bahkan hanya sekedar menanyakan keadaan adik perempuannya itu. Raken masih bungkam lalu mengambil handphonenya dari kantung celananya dan memperlihatkan sesuatu pada Kanya. Terlihat disana saat Raya sedang menyebrang dari depan rumahnya ke sebrang sana untuk menghampiri Raken yang membawakan ice cream namun saat di pertengahan jalan, ada sebuah mobil yang berjalan dengan keadaan melebihi kata cepat, Raya yang tidak menyadari keberadaan mobil yang melaju cepat pun masih melanjutkan langkahnya untuk menghampiri Raken. Raken yang baru saja melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan adiknya, telat karena mobil itu lebih dulu menghantam tubuh mungil Raya. Video itu diambil dari CCTV dari depan rumah Raken. Hal yang membuat Kanya membulatkan matanya dan mulutnya terbuka lebar terkejut serta air mata yang menetes adalah mobil itu adalah miliknya, mobil berwarna hitam dengan plat bernomer angka kesukaannya 895- Kanya menutup mulutnya dengan tangannya lalu tubuhnya melemas. Namun saat tubuhnya hampir meluruh ke lantai, Raken menahannya. "Itu mobil aku? Kenapa mobil itu menghantam tu-tubuh Raya?" tanya Kanya lemas dan masih tidak percaya apa yang ia lihat. Merasa paham dengan sikap dingin Raken sedari tadi dan bahkan melarang dirinya untuk sekedar melihat kondidi Raya saat ini membuat dirinya menyadari bahwa kemungkinan laki-laki itu mengira bahwa ia yang mengendarai mobil itu dan sengaja mencelakakan adiknya sampai masuk rumah sakit. Kanya mencengkram bahu Raken, buru-buru menjelaskan bahwa ia tidak mungkin untuk mencelakakan Raya. Hal yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya. "Itu bukan aku, Ken!" jeritnya. "Mobil aku ada di bengkel tadi! Aku sama sekali nggak tau kenapa bisa mobil itu ada di video itu… tapi jujur demi apapun itu bukan akuu!" Lalu Kanya memukul d**a Raken. "Itu bukan aku! Jangan percaya!" Kanya terus memukul d**a Raken namun Raken hanya bungkam dan menerima pukulan Kanya. Dalam posisi ini, Raken bingung harus percaya dengan siapa. Sebab dari video yang ia terima dari anonym itu, sebuah bukti yang tidak bisa terelakkan bahwa Kanya adalah penyebabnya. Bahkan jika ia membawa kasus ini pada kepolisian, Kanya akan menjadi tersangka utamanya. Namun, semarah apapun Raken kepada perempuan itu, ia tidak akan mungkin memiliki niat untuk membiarkan Kanya masuk ke jeruji besi itu. Namun, jika untuk percaya dengan apa yang Kanya katakan. Sepertinya ia tidak bisa. Ia tidak bisa langsung mempercayai perempuan itu. "Aku cinta kamu! Aku nggak mungkin ngelakuin itu! Percaya sama aku, Ken!" desak Kanya sambil menjerit tangis. Saat Raken membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu Kanya menahannya dengan tangan. "Jangan! Kamu jangan bicara, aku tau kamu akan percaya." lirih Kanya, sebab ia merasakan bahwa kemungkinan besar, saat ini Raken tidak bisa mempercayainya sebab buktinya terlalu kuat sampai Kanya tidak bisa hanya membantah menggunakan ucapan saja. "Kamu pasti percaya sama video itu kan?" tubuh Kanya benar-benar lemas sekarang, ia sudah tidak kuat menopang tubuhnya lagi. Bagaimana rasanya saat orang yang paling kau takutkan untuk pergi, kini menatap kau dengan pandangan tidak percaya. Kanya merasa sangat sakit. Bahkan lebih sakit dengan rasa sakit apapun. Ketika seseorang tidak bisa mempercayai dirinya sama sekali. Lagi-lagi saat Kanya hampir meluruh ke lantai Raken menahannya lalu menangkup pipi Kanya lalu memeluk tubuh Kanya yang lemah. "Tolong... Jangan percaya..." lirih Kanya dengan seluruh pinta yang ia minta. Jika saja ia diberikan kesempatan untuk seribu harapan, ia tidak akan mengambilnya. Ia hanya butuh satu kesempatan, supaya Raken tidak mempercayai video itu dan memahami mengerti tentang penjelasannya. Ia sangat berharap Raken mencoba untuk mempercayainya terlebih dahulu. Raken mengusap rambut belakang Kanya lalu melepaskan pelukan mereka, nerasa tidak tega melihat Kanya seperti ini. Namun ia masih bingung harus percaya kepada siapa saat ini. "Keadaannya terlalu abu-abu, aku belum bisa mutusin harus percaya sama video CCTV itu, atau percaya sama ucapan kamu." Raken memilih untuk memikirkan terlebih dahulu sebelum mengambil suatu keputusan, tidak ingin jika pada akhirnya terjadi penyesalan yang akan ia rasakan dikemudian hari. "Kamu harus percaya kalau bukan aku Raken..." ucap Kanya pelan, mencoba lagi agar laki-laki itu percaya kepadanya. Namun ia tidak memiliki tenaga yang banyak untuk membuat Raken percaya kepadanya. Raken menghapus air matanya. "Aku minta maaf..." lalu meninggalkan Kanya yang terjatuh di lantai. Prioritasnya saat ini adalah adiknya, mungkin ia akan kembali memikirkan hal ini saat Raya sudah baik-baik saja. Untuk saat ini, Raken tidak bisa bertindak apa-apa. "Kenapa? Kenapa selalu ada halangan untuk bahagia? Apa aku nggak ditakdirkan untuk bahagia? Kenapa....?" tanya Kanya entah pada siapa. Yang jelas, ia merasa sangat tidak adil dengan apa yang baru saja terjadi pada hidupnya. Siapa yang tega melakukan ini padanya? Perasaan Kanya saat ini campur aduk, ia melampiaskannya semuanya di atas gedung ini, sendirian. Menangis tanpa henti. *** Sudah sebulan berita kematian Bulan, namun Milano masih berduka. Ini kedua kalinya ia ditinggal oleh seseorang, seseorang yang mempunyai peran penting bagi Milano. Dan lagi-lagi, mereka pergi tanpa sempat Milano berbuat baik kepada mereka. Jika saja bisa memutar waktu kembali ia tidak akan mengacuhkan perempuan itu dan lebih banyak membuat memori bersama. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Seseorang yang telah pergi tidak bisa kembali ke dunia. Kanya sedang duduk di balkon, melihat pemandangan yang berada disekeliling rumahnya. Berkali-kali matanya menatap handphone disampingnya, sudah sebulan ini Raken tidak menghubunginya dan jika ia yang menelfon duluan tidak pernah di jawab, dengan kata lain yaitu diabaikan. Sungguh, Kanya sangat merindukan Raken. Walaupun mereka sering berpas-pasan dijalan Raken selalu menganggapnya tidak ada, Raken juga selalu menghindari eye contact dengan Kanya. Kesepian, itulah yang dirasakan Kanya sebulan ini. Terlebih lagi, Milano selalu mengurung dirinya dikamar dan tidak ingin bicara dengan siapapun. Seakan-akan keadaan membuat Kanya seolah-olah adalah yang paling bersalah. Milano dan Raken adalah dua orang yang paling ia sayangi di dunia ini, ia merasa bersalah sebab telah membuat mereka menjadi orang yang berbeda. Menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan Raken tidak bisa mempercayainya hingga saat ini. Kanya amat sangat merasa dunia ini tidak memihaknya, maka ia membuat suatu keputusan yang sudah ia pikirkan matang-matang, dan keputusan itu sudah bulat dan penuh tekad. Drtt... Drtt... Kanya melirik sekilas lalu membuka handphonenya dengan pelan-pelan, lalu ia menghembuskan nafas. "Akhirnya, yang gue tunggu-tunggu terjadi juga." lalu membuka pesan itu untuk melihat isinya. Lalu Kanya menatap datar handphonenya. "Gue bakal dateng kesana dan mengakhiri semuanya, semoga ini jalan terbaik." Kanya memejamkan matanya dan mengatur nafasnya sebaik mungkin. Siap tidak siap, ia harus berani mengambil segala resiko yang ada. Berharap bahwa semua dapat kembali berjalan seperti semula, dan semua orang dapat berbahagia lagi. Setelahnya ia langsung mengambil jaket dan kunci mobilnya. "Kamu mau kemana?" tanya Reta yang sedang menonton salah satu chanel tv, bingung melihat anak itu yang tiba-tiba saja pergi dengan antusias yang membuat Reta khawatir. Kanya hanya menoleh lalu tersenyum sekilas lalu meninggalkan rumah itu dan segera pergi ke tempat tujuannya. Setelah sampai Kanya langsung membuka pintu dengan agak pelan karena pintunya lumayan berat dan juga seret karena karatan. Prok.. Prok.. Prok.. "Cepet juga lo datengnya." Seperti menunggu kedatangannya, ia berdiri didepan pintu dan begitu Kanya membuka pintu, ia langsung menyambut kedatangannya. Kanya melangkah mendekatkan dirinya pada keberadaan suara tersebut dengan langkah pasti dan percaya diri. "Lo mau bawain mayat Karina?" tanyanya lalu tertawa. "Tuh diatas." dia menunjuk ke arah atap tepat di pertengahan ruangan tersebut. Lalu mata Kanya mengikuti kearah mana telunjuknya itu mengarah, lalu Kanya mendecih. "Ternyata kalian berdua itu bener-bener." lalu menatap pada seorang perempuan yang berada di belakang laki-laki itu. "Psikopat!" Lalu laki-laki itu mengeluarkan pisau dari saku celananya, Kanya yang melihat itu hanya tertawa lalu melipat tangannya bersedekap. "Apa lo pikir gue takut sama pisau lo itu? Hahaha ya enggaklah!" lalu menatap tajam laki-laki didepannya. "Kalau gue takut gue nggak akan datang kesini, dengan adanya gue dihadapan lo itu tandanya gue sama sekali nggak takut sama kematian." lalu Kanya memiringkan kepalanya lalu tersenyum. Selanjutnya ia berjalan pelan layaknya sedang catwalk di suatu acara peragaan busana. Bunyi sepatu hitam serta hak setinggi empat centimeter sangat nyaring karena tidak ada suara apapun disini. Lalu Kanya mengitari tubuh perempuan yang berada di belakang laki-laki yang memegang pisau andalannya. "Halo sahabat-ku." sapa Kanya dengan menekankan ucapannya, terdengar tegas dan percaya diri. "Ternyata, orang yang paling gue percayain, orang yang udah gue anggap sebagai sister from another parents. Justru dia yang..." Kanya mengambangkan ucapannya sambil mengelus pipi perempuan dengan kuku panjang dan tajam miliknya. "Paling berpotensi untuk membuat gue mati?" Kanya menaikkan alisnya dan menatap tepat pada bola matanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD