forty tale

1908 Words
Milano mendesis lagi, sebab Raken seolah tidak paham dengan apa yang telah terjadi kemarin dan itu membuat dirinya sangat muak dengan sikap pura-pura ini. "Lo itu lagi pura-pura atau lo mencoba agar gue percaya bahwa lo nggak tau apa-apa?" tatapan Milano sangat tajam, jika tatapan adalah sebuah pisau, sudah di pastikan Raken mati di depannya. "Gue bener-bener nggak ngerti, Lan. Gue sama sekali nggak ngerti apa yang lo maksud." Raken sangat bingung, namun jika dilihat dari ekspresi Milano yang terlihat sangat marah, tandanya ada kejadian yang sangat besar sampai membuat Milano menjadi semarah ini. Namun sejauh apapun dia berusaha untuk mencari tahu apa penyebabnya, ia tidak menemukan jawabannya. "Basi." singkat, lalu pergi dari ruangan tersebut. Milano kesal sekali dengan sikap Raken saat ini, namun ia tidak bisa bertindak lebih sebab bukti yang ia miliki masih sangat minim untuk menuduh Raken atas kejadian kemarin. Namun sebetulnya, ia masih memikirkan bagaimana bisa mobil dan ponsel Raken menyebabkan Kanya pergi kesana? Sepertinya, ada yang tidak beres. Namun, Milano belum menemukan apa jawaban dari seluruh pertanyaan yang ada dikepalanya itu. Sedangkan Raken, Faldy dan Dafa saling bertatapan dengan tatapan yang sulit diartikan. Jangankan Raken, Faldy dan Dafa pun sangat bingung dengan tindakan Milano yang tidak seperti biasanya ini, apalagi saat kemarahannya begitu meledak-ledak sampai membuat mereka bingung. Kesalahan apa yang Raken lakukan sampai membuat Milano semarah ini kepadanya? *** Begitu bel istirahat berbunyi, Kanya langsung bergegas pergi mencari-cari keberadaan Raken saat ini. Entah apakah dirinya yang telat datang atau Raken yang cepat keluar kelas, saat Kanya datang kekelasnya Raken, tidak ada eksistensinya disana. Begitu juga teman-teman dekatnya. Hal itu yang membuat Kanya berlari menuju kantin dan mengecek tiap-tiap pedagang yang berjualan, namun tetap… Raken tidak ada. Dalam pikirannya, Kanya terpikirkan bahwa mungkin saja laki-laki itu sedang ada pada rooftop sekolah mengingat tempat itu merupakan tempat yang paling digemari oleh teman-teman Raken. Dan benar saja, Kanya menemukan kehadiran Raken disana, sedang mengobrol bersama teman-temannya. Kanya langsung menghampiri Raken yang berada di pinggir rooftop sekolah, disana juga ada teman-temannya Dafa dan Faldy. Namun entah kemana Milano saat ini, tidak ada keberadaannya disana. Seakan tau bahwa Kanya ingin berbicara empat mata dengan Raken, Faldy dan Dafa meninggalkan mereka berdua di rooftop. “Ken, gue sama Dafa kekantin duluan ya.” “Iya.” Jawab Raken singkat. "Ken, maafin Lano ya. Dia ada salah paham sama kamu, makanya bertindak gegabah tadi." sambil menundukkan kepalanya, merasa sangat bersalah karena tidak bisa menghalangi Milano untuk tidak menghakimi Raken tanpa adanya bukti. Raken yang tadinya berada di ujung rooftop kini berdiri dan menghampiri Kanya yang masih berada di dekat pintu rooftop. "Kamu nggak perlu minta maaf, bukan salah kamu, Nya." Sebetulnya Raken masih bingung mengapa Kanya meminta maaf kepadanya saat ini, meskipun begitu karena yang bermasalah dengan dirinya adalah Milano, maka yang perlu meminta maaf kepadanya adalah Milano, bukan Kanya. "Tapi itu semua ada sangkut-pautnya sama aku. Aku minta maaf atas perlakuan Milano, dia cuma salah paham." Kanya masih menunduk, meski begitu Kanya rasa ia perlu untuk meminta maaf kepada Raken atas tindakan kakaknya untuk menonjok Raken secara tiba-tiba seperti ini. Raken mengangkat dagu Kanya dan membuat Kanya menatap dirinya. Ia bingung karena Kanya berbicara tentang kesalahpahaman yang belum tau apa maksud dari perempuan itu. "Salah paham? Tentang apa? Apa ini ada sangkut-pautnya juga sama aku?" sebab dirinya yakin, Milano tidak akan pernah semarah ini kepadanya, jika tindakannya seperti tadi, Raken yakin ada sesuatu. Kanya mengangguk lemah. "Iya, jadi gini..." lalu Kanya menceritakan semua hal yang terjadi pada kemarin hari, serta tiga teror yang menimpa dirinya. Raken membuka mulutnya lebar-lebar, sepanjang Kanya cerita ia sangat terkejut dengan apa yang sudah terjadi dalam hidup Kanya saat ini. Tidak terbayangkan bagaimana ketakutan Kanya pada kemarin malam. "Ha? Aku berani sumpah kalau pelakunya bukan aku, Nya. Kemarin aku ada dirumah dan aku sama sekali nggak nge-line kamu saat itu, aku nggak ngebuka-buka handphone karena aku lagi seru nonton film." jelas Raken lalu memijat pelipisnya, tidak disangka bahwa dirinya lah yang membuat Kanya datang kesana hingga mengalami kejadian seperti ini. Tetapi, bagaimanapun ia sama sekali tidak mengetahui hal ini, ia sama sekali tidak membuka ponselnya, dan menghabiskan sepanjang malam dengan menonton film. "Kamu percaya kan sama aku? Aku berani sumpah kalau pelakunya bukan aku, Nya." Raken melakukan pembelaan, sebab dari raut wajah Kanya, ia terlihat tidak percaya kepadanya. Raken paham… jika dirinya ada diposisi Kanya saat ini jelas saja ia tidak akan bisa percaya kepada dirinya sendiri. Namun ia juga bingung harus apa untuk meyakinkan Kanya percaya kepadanya. Kanya memejamkan matanya lalu air matanya turun tanpa permisi, Raken langsung menangkup kedua pipi Kanya. "Hey jangan nangis… aku minta maaf, Nya… aku bener-bener nggak tau sama sekali. Aku nggak line kamu kemarin malam. Aku tau ini sulit buat dipercaya, tapi aku bahkan nggak pernah ada pikiran buat nyakitin kamu, Nya…" ucap Raken dengan adanya nada khawatir, apalagi melihat tangisan Kanya yang semakin deras. "Aku nggak tau harus apa. Tapi yang jelas aku takut, aku takut akan ada teror mengerikan selanjutnya." Kanya menghirup udara dalam-dalam, mengatur ritme nafasnya sebab ia merasa sesak untuk membahas hal ini. "Aku percaya kok, Ken. Aku percaya bukan kamu pelakunya, tapi masalahnya Milano percaya bahwa kamu pelakunya." Raken menghela nafas, merasa lega karena Kanya telah percaya kepadanya. Hanya itu yang paling penting menurutnya, sebab ia tidak peduli jika seluruh orang membencinya, asal orang itu bukan Kanya. "Makasih." Lirihnya dengan merasa sangat bersyukur. Kanya menaikkan sebelah alisnya, bingung mengapa Raken tiba-tiba berucap terima kasih kepadanya. "Makasih udah percaya sama ak." lalu Raken memeluk Kanya dengan erat. "Udah jangan nangis, aku selalu disini, Nya." bisik Raken lalu melepaskan pelukan. Raken menghapus air mata Kanya. "Aku bakal cari tau siapa yang ngegunain identitas aku buat neror kamu, aku juga bakal jelasin ke Milano bahwa bukan aku pelakunya." Kanya tersenyum, ia sangat percaya bahwa bukan Raken yang menerornya. Sebab bagaimanapun alasannya… Kanya percaya bahwa Raken tidak mungkin menyakitinya. *** Milano men-dribble bola basket dengan kasar. Ia sangat kecewa karena yang nge-line Kanya pada saat itu memang benar Raken bukan akun palsu ataupun plagiat. Ia pikir Raken benar-benar menyayangi Kanya, tapi apa? Dia justru menginginkan Kanya mati. Jika memang benar Raken lah pelakunya, mengapa Raken tidak membunuh Kanya dari awal? Tanpa harus melibatkan hati mengingat Kanya sangatlah peduli dan sayang pada Raken sampai-sampai Kanya marah pada Milano karena menuduh Raken tanpa bukti. Dia hanya ingin hidup adiknya tenang, tanpa ada peneroran yang membuat hati adiknya menjadi tidak lagi tenang, itu saja. Apalagi ini terjadi disaat Milano baru menyadari bahwa anggapan dirinya tentang Kanya salah. Dan disaat ia ingin mencoba untuk membuat keadaan menjadi hangat seperti dulu, justru ada seseorang yang menginginkan Kanya mati. Ya, dia memang dulu bicara pada Kanya bahwa ia menginginkan Kanya mati namun yang ia ucapkan belum tentu sinkron dengan hatinya. Sungguh, seorang kakak tidak akan tega membunuh adiknya sendiri. Ia mengucapkan itu karena pandangannya tertutup oleh besarnya cinta pada Dean. Tapi, sekarang ia telah menyadarinya bahwa bukan Kanya penyebab nya. Dari dulu hingga sekarang, Milano masih menyayangi Kanya. Walaupun ia tidak pernah mengucapkan langsung bahwa ia menyayangi Kanya. Milano tidak bisa mengungkapkan kata-kata manis, ia hanya bisa melakukan sesuatu agar keadaan menjadi manis. "Lano! Main basket mulu, sini ada temen kamu nih kesini." panggil Reta sebab sedari tadi mamanya itu memanggil dari dalam rumah, laki-laki itu sama sekali tidak mendengar. Antara Reta yang terlalu kecil memanggil dirinya atau Milano yang larut didalam pikirannya sampai-sampai membuat dirinya tidak sadar dengan kondisi sekitarnya. "Kamu tuh di panggilin nggak denger-denger, jadinya mama yang ngobrol sama dia." Reta menunjuk kearah belakang namun tidak ada siapa-siapa disana yang membuat dirinya bingung. Jika saja Raken yang datang kesini, ia tidak yakin emosinya bisa terkontrol dengan baik. Milano melempar bola itu dengan asal lalu menghampiri Reta. "Siapa ma?" "Hai cantik sini sayang..." lalu sosok wanita muncul di hadapan Milano. Karena mamanya menyebut cantik, sudah pasti tamu itu bukanlah Raken yang membuat Milano seketika bernafas lega. "Hai Lan!" pekiknya girang, ternyata tidak benar-benar lega sebab ada seseorang yang datang dan membuatnya pusing seketika. Milano langsung menatap dengan malas. "Bulan? Ngapain lo kesini? Dan kok lo bisa tau rumah gue?" karena seingat Milano, ia tidak pernah memberikan informasi tentang rumahnya pada perempuan itu. Bulan nyegir. "Hehe gue ngikutin mobil lo kemarin, jadinya gue tau deh." “Itu stalker tau! Dosa ngikutin orang diem-diem gitu!” “Ya habisnya, Tante… Milano ini cuek banget sama cewek, jadi saya bingung harus dekatin dia dengan cara apa.” Bela Bulan sebab ia tidak terima jika dikatain stalker, karena sebetulnya ia hanya penasaran saja dengan Milano. "Pulang sana, ngapain lo disini." usir Milano, ia sedang tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima tamu, bahkan amarahnya masih sangat meledak-ledak. Ia hanya tidak ingin Bulan menjadi sasarannya. "Eh kok tamu di usir sih." Reta melotot ke arah Milano dan Bulan dari tadi sudah menggembungkan pipinya. Kanya turuh dengan tergesa-gesa dari atas, membuat seluruh orang yang ada disana melihat kearahnya. "Ma mati lampu ya? Kok Anya nyalain hairdryer nggak bisa?" semenjak kejadian kemarin, Kanya jadi lebih dekat dengan Reta, ternyata ibu tiri tidak semuanya jahat. "Hai Kanyaaaa!" sapa Bulan sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebat. Langkah Kanya terhenti, perasaan ia tidak pernah bertemu wanita itu tapi mengapa wanita itu mengenal dirinya? "Anya sini sayang, ada temennya Lano nih, namanya Bulan." lalu Kanya turun dan menghampiri mereka. Bulan mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Hai Kanya, aku Bulan!" lalu Kanya menerima uluran tangan dari Bulan dan tersenyum canggung. "Kanya." "Pasti kamu mikir ya kenapa aku bisa tau nama kamu." tebak Bulan saat melihat raut wajah Kanya yang terlihat bingung karena ia me"Lano cerita banyak tentang kamu." sambil melirik Milano. Kanya lalu tersenyum lebar. "Cie... Pacar baru ya? Jadi udah move on nih?" goda Kanya tidak percaya jika Milano sudah bisa membuka hati sejak sekian lama Milano tidak bisa melupakan mantannya. Kanya turut senang jika Milano sudah mau dekat dengan perempuan. "Ogah amat gue pacaran sama dia." sambil bergidik. Kanya tertawa, merasa bahwa itu hanyalah tindakan pura-pura dari Milano sebab dilihat dari caranya berbicara dan menatap Bulan, Kanya tau bahwa Bulan memiliki peran penting dalam hidup Milano. "Kanya! Duduk di ayunan itu yuk! Aku mau ngobrol sama kamu de" ajak Bulan seperti telah mengenal Kanya lama, Bulan orangnya memang easygoing tidak butuh waktu lama untuk akrab. "Heh ini bukan rumah lo, seharusnya Anya yang ngajak." kata Milano yang begitu terheran dengan Bulan karena bertingkah layaknya rumahnya sendiri. “Biarin kenapa sih, sirik banget jadi orang.” "Yaudah mama mau masak buat makan malam dulu ya?" izin Reta lalu pergi ke dapur. “Iya, ma…” jawab mereka serempak. Lalu Bulan menarik tangan Kanya dan Milano untuk duduk di ayunan yang berada di taman belakang. "Gue mendingan main basket dari pada ikut kalian ngobrol." Bulan cemberut melihat Milano yang main basket. "Kakak pacarnya ka Lano ya?" tanya Kanya. "Ish nggak usah panggil kakak, panggil nama aja. Oh iya, aku bukan pacarnya Lano kok, kita cuma temenan aja." Kanya kembali menggoda. "Emmm temen apa temen?" lalu Bulan menggembungkan pipinya, Kanya gemas ingin mencubit pipi itu, sangat lucu. "Kalian cocok kok, tapi ya sabar-sabar aja sama sifatnya Milano yang sesuai sama mood nya dia." Kanya memperhatikan Milano yang dengan lihai memainkan bola. "Tapi dia baik, dia kakak terbaik didunia, dan mungkin akan jadi pasangan terbaik buat kamu." goda Kanya, lagi. Pipi Bulan bersemu merah. "Udah ah jangan godain aku terus." Kanya tertawa melihat wajah Bulan, ternyata Bulan sangat asik menurut Kanya, padahal ia baru bertemu saat ini. Setelah ini, mereka pastikan untuk sering-sering bertemu. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD