thirty ninth tale

1846 Words
Tubuhnya masih meringkuk sambil memeluk kakinya menyembunyikan pandangannya dari apapun. Ia sangat ketakutan sampai-sampai tidak berani untuk sekedar melangkahkan kakinya menuju mobilnya dan segera pulang dari sana. Kanya seolah kaku tanpa bisa melakukan apa-apa. Ada seseorang yang menepuk bahunya, Kanya langsung geleng-geleng tanpa ingin mendongak, tubuhnya menegang saat seseorang itu menepuk bahunya, membuat dirinya tambah merasa ketakutan. "I don't, i don't want like that. I don't. Please leave me alone. Don't want like that, i don't." Kanya berucap pelan dengan sisa suara yang bisa ia keluarkan. Sungguh, Kanya takut. Kanya bukan takut pada setannya atau raga yang berada di atas pohon tersebut. Tapi ia takut pada manusia, terutama pada seseorang yang tega membunuh wanita malang itu. Ia lebih takut pada pembunuh dibandingkan arwah ataupun setan gentayangan. Arwah mungkin bisa menakuti kita tapi pembunuh dia bisa bertindak dan hal itu membuat ketakutan bertambah berkali-kali lipat. "Don't kill me, please." cicit Kanya sambil mengigit bibir bawahnya dan bergetar. Seolah memohon entah untuk siapa, bahwa ia tidak ingin mati saat ini. "Hey kenapa kamu duduk di aspal seperti itu?" Dengan sekuat tenaga Kanya mendongak, merasa bahwa suaranya tidak terdengar asing, seperti suara seseorang yang pernah ia kenal. "Loh Gerald?" pekik Kanya lalu pandangannya turun pada tangan Gerald, memastikan laki-laki itu tidak membawa benda tajam yang berpotensi membuat nyawanya hilang. Kanya langsung berdiri dan menjauh dari keberadaan Gerald. "Jangan mendekat!" teriak Kanya sambil mengacungkan telunjuknya. "Saya cuma mau nanya, kamu ngapain disini?" Dengan gemetar Kanya terus berjalan mundur menjauhi Gerald, sebab laki-laki itu malah semakin mendekat kearahnya. "Lo kan yang bunuh dia?!" tunjuk Kanya ke atas. Gerald mendongak keatas, terkejut dengan apa yang dia lihat. Seketika mengerti mengapa Kanya bertindak seperti ini dan terlihat sangat ketakutan. "Bukan." "Kenapa lo disini? Nggak ada alasan lain yang bisa nutupin hal ini." tuduh Kanya. "Ini wilayah dekat rumah saya, rumah saya hanya beberapa menit dari sini. Seharusnya saya yang tanya sama kamu, kenapa kamu disini? Atau jangan-jangan kamu yang bunuh wanita itu?" tanya Gerald lagi sambil mendekat. "Jelas bukan gue! Justru dengan lo yang tiba-tiba datang dengan alasan kalo rumahnya dekat, sama sekali nggak masuk akal buat gue. Lo yang merencanakan ini semua? Biar apa?!!" Kanya benar-benar emosi, mau bagaimanapun alasan laki-laki itu, dengan kedatangan dirinya saja sudah cukup membuat dirinya curiga. Bagaimana bisa ia datang disaat seperti ini? Citt... Suara rem mendadak, lalu turun seorang pria menghampiri Kanya dan Gerald. Pria itu berlari ke arah Kanya. "Nya! Ini gue Milano!" panggil Milano karena Kanya menutup mata dengan kedua tangannya saat Milano turun dari mobil sebab takut jika saja Gerald benar-benar pelakunya dan memanggil segerombolan temannya untuk membunuh dirinya saat itu juga. Mendengar suara Milano benar-benar membuat dirinya lega. Kanya menurunkan kedua tangannya lalu menatap Milano dan berlari mendekat, Kanya langsung bersembunyi di belakang punggung tegap Milano. "Ka tolong Anya... Dia mau bunuh Anya kayak perempuan itu." sambil menunjuk Gerald dan wanita yang berada di atas pohon. Milano hampir kehilangan nafas melihat apa yang terjadi, tidak percaya saat terror meneror ini berlanjut hingga separah ini. Apalagi melihat tangan Gerald yang bersimpah darah, membuat dirinya merasa sangat marah. "Diem disitu!" bentak Milano pada Gerald, tadinya ia merasa ingin menghabisi laki-laki itu, namun melihat Kanya yang sangat ketakutan membuat dirinya merasa harus membuat Kanya merasa aman terlebih dahulu sebagai prioritas utama, lalu sambil mengawasi Gerald untuk berdiam ditempat, ia merangkul Kanya dan mengiring Kanya ke dalam mobilnya. Begitu sudah masuk, ia buru-buru untuk pergi dari sana. “Nya, udah… udah aman.” Terlepas dari belum adanya bukti bahwa Gerald yang melakukan hal keji itu, Milano berpikir bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini hanyalah menjauh dan memastikan Kanya merasa aman. Pelan-pelan Kanya melihat sekeliling, menoleh kebelakang mobil untuk memastikan bahwa Gerald tidak mengikutinya. Kanya menghela nafas lega meskipun nafasnya masih terasa sesak dengan apa yang baru saja terjadi di dalam hidupnya. Namun sekelibat, ia memikirkan Raken… jika mobilnya tadi ada disana, lalu dimanakah Raken berada saat ini? “Kak… Raken—“ “Lo masih mikirin dia disaat-saat kayak gini, Nya?” Milano benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Kanya. “Ini semua pasti udah direncanain oleh seseorang, tapi gue punya feeling, nggak menutup kemungkinan kalau Raken juga terlibat.” Apapun itu, Kanya hanya bisa berharap bahwa Raken baik-baik saja. *** Begitu sampai rumah, Kanya tidak mau tidur sendirian di kamarnya, ia ingin tidur ditemani ayahnya. "Ayah, Anya takut." lirih Kanya dengan tangan yang masih saja gemetar, kejadian tadi seperti masih ada didepannya, tidak bisa terlepas dari ingatannya. Bahkan saat Kanya mencoba untuk memejamkan matanya, ia merasa kejadian tadi tidak bisa terlupakan sama sekali. Artha menjadi tidak tega melihat Kanya yang ketakutan seperti ini, melihat wajah Kanya yang pucat pasi membuat Artha sedih. "Kamu jangan takut, disini ada Ayah. Ayah akan jaga kamu, sayang." "Anya, kamu makan dulu ya, ini mama buatin bubur." Reta datang membawa semangkuk bubur yang masih panas. Kanya mengangguk dan menerima suapan dari Reta, tangannya yang masih bergemetar hebat di genggam oleh Artha. "Ka Lano mana, Yah?" "Ada diluar, Nya. Kamu mau ketemu Lano?" tanya Artha lalu Kanya mengangguk. "Lano! Masuk nak, Anya mau lihat kamu." teriak Artha. Milano masuk sambil mendekatkan handphonenya ke telinganya. "Argh, nih Raken mana sih?!" lalu mengacak-acak rambutnya kesal. "Lo nggak usah khawatir, Nya. Gue yang bakal bikin perhitungan sama Raken." Milano duduk di dekat Kanya. "Ka, jangan salahin Raken. Kanya yakin bukan dia yang salah. Bisa jadi dia juga dijebak sama seseorang yang udah merencanakan hal ini semua." bela Kanya, merasa tidak mungkin jika Raken yang melakukan semua ini, apalagi jika menuduhnya tanpa ada bukti seperti ini. Kanya khawatir dengan pertemanan Milano dan Raken. "Nggak salah apanya? Udah jelas-jelas tadi mobil Raken, Nya. Udah gitu sebelum lo datang kesana, Raken juga kan yang kirim lo pesan buat kesana segera? Kalaupun ada orang yang perlu tanggung jawab, Raken mungkin salah satunya." Sejujurnya saat melihat Kanya rapih malam-malam dan berkata akan main, disitu ia sudah merasa ada yang salah. Apalagi saat tiba-tiba mobilnya Raken mogok dan meminta adiknya untuk segera menjemputnya. Sebab menurut Milano, laki-laki tidak akan menyuruh pacarnya untuk menjemputnya diwaktu malam seperti ini sendirian, sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Raken. Terlebih saat dirinya datang menuju lokasi, tidak ada Raken disana melainkan lelaki lain yang jelas-jelas membuat Kanya ketakutan saat itu. "Tapi belum tentu-" "Pokoknya gue bakal bikin perhitungan." ucap Milano tanpa ingin perkataannya di ralat ataupun di ganggu gugat. *** Keesokan harinya, mereka berangkat sekolah bareng. Namun, Milano turun dari mobil dengan tergesa-gesa, langkahnya lebar, raut wajahnya seperti bom yang ingin meledak sekarang. Kanya merasa kesulitan untuk mengejar Milano untuk mencegah laki-laki itu. "Ka, jangan nuduh tanpa bukti." cegah Kanya sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan Milano, tubuh Kanya yang lebih pendek dari Milano membuat Kanya kesulitan menyamakan langkanya. Milano berhenti dan membuat Kanya menabrak punggung tegap Milano, Milano berbalik lalu menatap Kanya yang sedang mengusap dahinya. "Nggak ada bukti gimana? Udah jelas-jelas itu Line nya Raken, mobil sama plat nya juga punya Raken. Apa itu nggak cukup buat di jadiin bukti?" tudingnya merasa bahwa Raken harus bertanggung jawab dengan apa yang terjadi kemarin. Bagaimanapun, Raken perlu untuk bertanggung jawab atas itu. Kanya menghela nafas. "Tapi ka, kita nggak bisa langsung nyalahin Raken-" "Nya, teror itu terjadi udah tiga kali-" Kanya menyela. "Maksudnya? Tiga kali?" Milano menarik Kanya menuju sudut koridor agar tidak menghalangi jalan, terlebih lagi Milano ingin berbicara empat mata dengan Kanya. "Minggu lalu, ada kiriman buat lo. Isinya kucing mati, itu teror pertama buat lo. Kedua, jempol lo luka gara-gara boneka sialan dari kiriman itu. Dan ketiga, kemaren. Wanita, Nya. Dibunuh dan digantung di atas pohon se-sadis itu, ini bukan candaan atau main-main, Nya. Ini serius, dan gue harus cari tau siapa pe-la-ku-nya." lalu meninggalkan Kanya yang masih mencerna apa yang di ucapkan oleh Milano. Sebenarnya apa yang pelaku inginkan dari Kanya sampai harus melakukan tindakan yang mengerikan seperti ini? Kanya merasa sangat ngeri, terlebih mengetahui fakta bahwa ia sudah diteror sebanyak tiga kali. Kanya cukup merinding untuk memikirkannya. Dan saat otaknya telah mencerna dengan baik, ketenangannya gusar. Ia ketakutan, ada seseorang yang menginginkan dirinya mati seperti wanita yang ia lihat kemarin. Tapi satu hal, Kanya sangat sangat tidak yakin jika penerornya adalah Raken. Raken adalah pacarnya dan sangat tidak mungkin jika Raken melakukan hal ini, ia benar-benar bingung memikirkan siapa pelakunya dan mencari bukti agar Milano tidak menyalahkan Raken atas masalah ini. Sekumpulan siswa yang baru datang berlari-larian menuju lantai atas, membuat Kanya bingung, lalu Kanya memberhentikan seseorang. "Ada apa ya?" "Ada yang berantem." Kanya langsung membulatkan matanya dengan sempurna lalu berlari ke lantai dua. Ia menduga bahwa bisa jadi Milano sedang berantem karena emosinya yang benar-benar meledak tadi. Benar apa dugaannya, Milano menghajar Raken. Kanya langsung berlari ke arah mereka berdua, berusaha untuk melerai mereka. "Ka Lano udah, stop!" namun Milano tampaknya tidak mendengarkan peringatan dari Kanya. Wajah Milano seakan menyiratkan bahwa ia ingin menerkam habis-habisan makhluk di depannya. Kanya menahan nafas saat tangan Milano menghantam pipi mulus Raken, menutup mulutnya tidak percaya bahwa mereka akan berantem beneran mengingat sebelumnya mereka sangat dekat hingga seperti adik dan kakak. "Udah stop!" Kanya berdiri di tengah-tengah Milano dan Raken. Faldy dan Dafa membantu Kanya meleraikan perkelahian ini. "Lan, Ken. Apapun masalah kalian, selesain baik-baik, jangan kayak gini." ucap Faldy sambil menggiring Milano dan Dafa menggiring Raken. Berusaha membawa mereka keluar dari sana dengan cepat sebelum ada guru yang menyadari bahwa sedang ada perkelahian disini. Sebab mereka semua bisa dihukum. Lalu Dafa menoleh pada wajah Kanya "Kanya, lo kekelas aja. Mereka berdua biar kita yang ngurus." Lalu Kanya mengangguk lemah dan turun ke lantai bawah dimana kelasnya berada. Berjalan pelan dengan tatapan kosong. *** "Kalian apaan sih, pagi-pagi udah berantem aja." kesal Faldy, sekaligus bingung sebab kejadian seperti ini baru terjadi. Sebelumnya mereka sama sekali tidak pernah berantem dan cenderung akur-akur saja. Dafa duduk di sebelah Milano. "Ada apa sih, Lan? Kita nggak pernah lihat lo kayak gini, biasanya lo selalu bisa nahan amarah." Namun, Milano ataupun Raken hanya diam saja, bergelut dengan pikiran masing-masing dan terlihat seperti tidak minat untuk membahasnya. "Gue liat tadi lo nggak ngebalas pukulan Milano, Ken. Kenapa?" Faldy dan Dafa sedang mengintrogasi Milano dan Raken. Sambil meringis Raken mengangkat bahunya. "Mana gue tau, Lano tiba-tiba dateng langsung nonjok gue gitu aja." "Gila ya lo, Ken! Bisa-bisanya pura-pura nggak tau kesalahan lo apa setelah ngelakuin hal yang sama sekali nggak masuk di akal." bentak Milano merasa kesal dengan jawaban Raken. Raken berdiri merasa tidak terima seakan-akan dirinya membuat kesalahan yang begitu besar sampai Milano bertindak seperti ini. "Sumpah ya gue nggak tau salah gue apa. Dan tindakan lo nonjok gue tiba-tiba, jujur bikin gue kesel, Lan." balas Raken tidak mau kalah, apalagi saat ini rahangnya terasa sangat sakit. "Oke." Milano mengangguk tegas. "Gue kasih tau apa kesalahan lo." lalu Milano mengeluarkan handphonenya dan mengetikkan sesuatu disana. Niitt Handphone di kantung celana Raken berbunyi. Lalu Milano mendesi.s "Ternyata emang bener lo, Ken. Nggak nyangka gue!" sambil geleng-geleng. Raken mengecek ponselnya dan ternyata Milano mengirim Line padanya. Milano: Test "See? Lo udah tau apa salah lo?" tanya Milano baik-baik. Raken menatap Milano "Gue nggak ngerti, Lan. Maksud lo itu apa?" sambil mengerutkan dahinya, masih tidak mengerti.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD