thirty eighth tale

1834 Words
"Kalo kamu ada di posisi aku sekarang, kira-kira bakal kamu lepasin nggak?" Kanya balik bertanya kepada Valen yang saat itu membuat Valen terkejut, sebab biasanya ia tidak pernah membantah perkataannya dan kini raut wajah Kanya benar-benar sangat serius. Melihat Valen yang hanya diam saja membuat Kanya berkata lagi. “Le, aku tau kamu sahabat aku. Tapi seumur hidup aku belum pernah liat ada orang yang nyuruh buat lepasin pacarnya untuk sahabatnya.” Bukannya merasa bersalah, Valen justru tidak berhenti sampai situ dan malah membuat rasa overthinking Kanya semakin menjadi-jadi. “Emangnya kamu yakin, Nya? Kalo Raken itu beneran sayang sama kamu? Gimana kalo kenyataannya dia cuma jadiin kamu pelarian aja?” Mendengarkan hal tersebut cukup membuat dirinya terkejut, namun Kanya selalu percaya bahwa laki-laki tidak perlu sepenuhnya di kekang, sebab ia akan tau kemana arah jalan pulang. Jikalau memang pacarnya ingin dengan yang lain, maka biar jadi keputusan dirinya saja. “Kalo itu ya jadi urusan Raken. Dia bakal pilih aku atau kamu. Kalo pilih aku ya aku seneng, kalo pilih kamu ya silahkan.” “Berarti lo nggak sayang sama Raken ya?” Valen belum juga mengalah atas perdebatan ini. Bahkan seharusnya dalam posisi ini, Kanya marah. Tetapi Kanya lakukan dengan santai mengingat baik ataupun buruk Valen tetap sahabatnya. “Lho? Ya sayang lah, Raken kan pacar aku.” Saat mendengar hal tersebut membuat Valen mendidih sebab Kanya menegaskan bahwa Raken adalah pacarnya. “Mending lepasin aja Raken, Nya. Buat aku.” “Maaf, Le. Untuk permintaan kamu kali ini, aku nggak bisa—“ Valen mengibaskan tangannya dan memotong ucapan Kanya yang sedang menolak permintaannya untuk melepaskan Raken dari dalam hidupnya. "Halah jangan ngaku sahabat aku deh kalau kamu nggak bisa lepasin Raken buat kebahagiaan aku." sambil melotot ke arah Kanya, merasa bahwa seluruh opininya adalah benar dan membuat Kanya tidak percaya mendengar hal tersebut dari Valen, sahabatnya yang ia kira akan selalu bersikap baik kepadanya. Kanya geleng-geleng mendanggapi perkataan Valen yang sangat tidak masuk akal untuknya, sedangkan Karina hanya mengernyit seolah dia tidak tau drama apa yang sedang di perankan oleh Kanya dan Valen, namun tetap setia menyimak mereka sampai akhir. "Le, mana ada sahabat yang nggak pernah ngertiin perasaan sahabatnya. Kamu jangan seenaknya gitu dong, aku emang sahabat kamu, tapi kamu sama sekali nggak berhak untuk ngatur hidup aku." Merasa belum selesai berbicara, Kanya kembali melanjutkan perkataannya. “Le, aku sama sekali nggak ada niatan buat berantem sama kamu. Aku marah, tapi aku masih tau batas. Jangan lagi-lagi ya minta sesuatu yang nggak masuk akal kayak gini.” Valen berdecak, tidak mendengarkan perkataan Kanya dan justru malah tetap teguh dalam pendiriannya sendiri. "Heh sadar, Nya. Raken tuh cintanya sama aku, liat aja nanti. Dua minggu ke depan atau minggu depan, hubungan kamu sama dia hancur. Kamu nggak mau lepasin Raken? Yaudah aku yang bakal narik Raken ke hidup aku dan menjauhkan kamu dari dia." tantang Valen sambil menaikkan dagunya setinggi mungkin seolah dia berani dan tidak takut. "Don't you dare." Sejujurnya Kanya sudah lelah sekali dengan semua ini, ia benar-benar bingung harus menanggapi Valen seperti apa. Valen tersenyum miring. "Kenapa? Takut?" Pertanyaan itu dibalas dengan gelengan oleh Kanya. "Aku sama sekali nggak takut, manusia tidak diciptakan untuk menjadi pengecut. Dan aku nggak sepengecut itu buat mundur." Tawa Valen meledak, entah apa yang lucu, tawanya pun seperti nada paksaan. "Kamu lihat aja nanti, siapa yang sebenarnya pengecut." sinis Valen lalu pergi dari meja Kanya. Tidak pernah ada bayangan dalam hidupnya bahwa dirinya akan bertengkar dengan Valen, Kanya tidak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. Kanya mengatur nafasnya, menghela sepanjang mungkin. Mencoba baik-baik saja dalam menghadapi hal ini. "Lo lagi ada masalah sama Valen?" Kanya menaikkan bahunya. "Seperti yang lo liat tadi." *** Mereka berdua sedang berdiri di lantai atas sekolah, Raken dan Milano berdiri bersampingan sambil melihat Kanya yang sedang bermain bola basket, sepertinya kelas Kanya sedang ada jam olahraga. "Lo yakin bisa bahagiain Kanya?" tanya Milano, kebetulan kelas mereka sedang free karena guru pelajaran tidak hadir. Tiba-tiba pertanyaan ini muncul dalam kepalanya dan Milano juga merasa ingin mempertanyakan hal tersebut kepada Raken. Sebab ia ingin mengetahui apa pacar adiknya itu benar-benar mencintai Kanya atau tidak. Meskipun Raken adalah temannya sendiri yang sudah ia kenal sejak lama, Milano tidak yakin jika itu menyangkut tentang perasaan. Raken mengangguk tegas. "Gue akan berusaha, Lan. Gue udah janji sama diri gue sendiri buat mengutamakan kebahagiaan dia dibanding kebahagiaan gue sendiri." Mungkin hal ini akan terdengar bullshit, tapi jika saja ia bisa membuktikan perkataannya, ia akan memberikan hal tersebut. Milano mendengus mendengar hal tersebut. "Lo belum tau apa yang bakal terjadi kedepannya. Jangan terlalu percaya diri seolah lo bisa bahagiain dia selamanya." sambil menyenderkan tubuhnya pada tiang-tiang yang ada disana. Raken ikut Milano menyenderkan tubuhnya di pagar, melirik Milano sekilas yang sedang menatap kearahnya seperti sedang tidak percaya kepadanya. "Gue emang nggak tau apa yang bakal terjadi ke depannya, kita semua juga nggak ada yang tau apa rencana Tuhan. Tapi, Lan gue tau bagaimana Kanya walaupun gue belum mengenal dia seperti lo mengenal Kanya. Gue tau, hatinya rapuh. Hatinya seperti cangkang telur yang mulai meretak, gue tau. Dan semenjak gue tau, hati gue berkeinginan untuk menjaga cangkang telur itu supaya nggak retak." Milano manggut-manggut mendengarkan hal itu. "Tapi Kanya nggak serapuh yang lo kira, Ken. Kanya itu kuat, lo belum tau soal itu." “Kuat ataupun nggak, gue akan tetap selalu ada di sisi dia.” “Seyakin apa lo sampai bisa ngomong kayak gini?” Milano terdengar seperti meremehkan, namun apa boleh buat. Jujur saja, sebagai sesama lelaki ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Raken. “Seyakin ini.” Faldy terlihat datang dari kejauhan, seperti sedang terburu-buru yang saat datang langsung menarik Milano untuk pergi dari sana. "Lan udah ada guru tuh, ayo masuk." ajak Faldy, sebelumnya Milano memang sudah meminta dirinya untuk memberitahu jika guru segera untuk panggil dirinya. Milano menepuk bahu Raken. "Duluan ya." "Ken, gue kekelas dulu ya." Faldy melambaikan tangan pada Raken. Raken mengangguk dan kembali menatap Kanya yang sedang olahraga di bawah. "Ada hal apa lagi, Nya. Yang membuat Milano jadi kayak gini, ada hal apa yang kamu sembunyiin dari aku? Kamu seperti jagat raya penuh misteri." lalu masuk ke dalam kelasnya yang masih belum ada guru. Sepanjang perjalanan menuju kelas, Raken memikirkan hal tentang Kanya yang menurutnya… terlalu banyak hal yang tidak ia ketahui sebenarnya. *** Berkali-kali Kanya menganti chanel di tv rumahnya, tidak ada tayangan yang bagus menurut Kanya, terlebih tidak ada kartun Disney yang tayang. Kanya melempar remote tv kesal, lalu membuka toples cemilan didepannya. Milano turun dari atas sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, habis mandi. Namun melihat Kanya yang sangat rapih membuat dirinya penasaran. "Rapih banget lo, Nya. Mau kemana?" sambil menyerobot cemilan yang dipegang Kanya. "Mau jalan sama Raken." mengambil toples cemilan yang lain karena toples yang tadi sudah di pegang oleh Milano. "Jalan kemana? Ini udah malem loh." sambil mengunyah cemilan dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan bahwa saat ini sudah malam dan Kanya malah mau keluar untuk main. Kanya menaikkan bahunya. "Nggak tau, Ka. Raken belom bilang." Milano manggut-manggut lalu mengganti chanel tv ke berita. "Gue ikut ya?" "Enak aja, nggak. Apaan sih ikut-ikut." tolak Kanya merasa sangat aneh jika Milano mengikutinya untuk kencan dengan Raken. Meskipun mereka berteman, tetap saja akan terasa aneh, dan Kanya tidak ingin berada ditengah-tengah apalagi hanya ia sendiri yang perempuan. "Bosen nih gue dirumah." Keluhnya sebab ia benar-benar bingung harus melakukan apa kalau sedang bosan, rasanya ingin mengikuti Kanya main dengan Raken saja. Kanya cemberut, merasa tidak enak sudah membiarkan Milano sendirian dirumah, namun ia tidak yakin jika Milano benar-benar akan ikut dengan dirinya. "Emang ka Lano mau jadi nyamuk?" sambil menaikkan alisnya. Milano melipat kakinya naik ke sofa sambil menggeleng keras. Ia tidak jadi ikut, kesannya seperti mengganggu orang yang sedang pacaran saja. "Ya engga lah, yaudah lah gue bantuin bi Ara aja masak." lalu pergi ke dapur menemui bi Ara yang sedang menyiapkan makan malam. "Bantuin makan, iya." ledek Kanya sebab sangat tidak mungkin jika Milano membantu bi Ara masak, bisa-bisa makanannya berubah menjadi hitam alias gosong. Saat sedang enjot menyantap cemilan, handphonenya bergetar. Raken : Nya, mobil gue mogok nih. Kanya : Kok bisa? Dimana? Kanya menutup toples cemilannya dan menunggu balasan dari Raken, handphonenya bergetar lagi. Raken : Dijalan seruni nih, deket pohon rambutan yang dipinggir jalan. Lo mau jemput gue kan? Kanya : Oke Anya jemput kesana. "Ka! Gue berangkat dulu ya! Gue bawa mobil sendiri soalnya mobil Raken mogok." teriak Kanya sambil mencari kunci mobilnya di laci lalu berjalan ke garasi. Milano yang baru saja ingin mencegah Kanya untuk pergi sendiri, sudah tertinggal Kanya yang beranjak pergi. Milano langsung memakai jaket lalu mengikuti mobil Kanya dengan mobilnya. Ia benar-benar khawatir jika harus membiarkan Kanya pergi sendirian malam-malam. Tetapi belum sempat ia bilang akan mengantarkan adiknya itu, Kanya sudah pergi melesat dengan cepat. *** Begitu Kanya sampai pada tempat dimana mobil Raken mogok, Kanya langsung turun dari mobil lalu menutup pintu mobilnya. Dan menatap ke sekeliling tempat yang Raken maksud, 'Dimana mobil Raken?' batin Kanya lalu menyipitkan matanya untuk melihat ke sekeliling 'Itu mobil Raken, warna putih, plat nomernya juga sama. Ohh ternyata disana tepat di bawah pohon rambutan yang dia maksud' batinnya lalu kembali masuk kedalam mobilnya lagi dan mendekatkan mobilnya ke mobil Raken. Sebab kalau berjalan kaki agaknya lumayan jauh. Kanya berhenti tepat di depan mobil Raken namun saat Kanya menyipitkan matanya ia tidak melihat ada seseorang di dalam mobil, lalu ia putuskan untuk turun dan mengetuk kaca mobil Raken. Saat Kanya ingin mengetuk kaca, tangan Kanya terhenti. Terhenti karena ada tulisan di kaca mobil Raken menggunakan lipstick merah yang sangat terang 'Look up' lalu dengan gerakan refleks Kanya langsung melihat ke atas. “AAAAAAAAA!” Kanya langsung membekap mulutnya berjalan mundur dengan tertatih, benar-benar syok dengan apa yang baru saja ia lihat. Tubuhnya bergetar, apalagi menyadari fakta bahwa ia sendirian kesini, ia sangat merasa ketakutan. Tubuhnya melemas dan aspal jalanan menjadi sasaran empuk bokongnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, perutnya melilit melihat apa yang ia lihat. Rasanya ia ingin muntah, namun tubuhnya benar-benar lemas sekarang. Tangan Kanya, gemetar, takut. Di atas pohon itu, ada seorang wanita yang sedang gantung diri dengan perut yang tertusuk sebuah, pisau mungkin, atau pedang atau apapun itu yang berbentuk lancip dan yang pasti tajam. Otak Kanya tidak bisa berfikir jernih hanya untuk mengetahui apa yang tertusuk dalam badan wanita itu. Darah yang menetes dari perut wanita itu membuat Kanya ingin muntah, terlebih lagi wangi darah yang sangat menyeruak pada rongga hidungnya. Dan yang membuat Kanya lemas adalah tulisan pada tubuh wanita itu 'Do you want like this?' Kanya menggeleng keras, tubuhnya benar-benar kaku karena takut. Kanya merapatkan kakinya dan memeluk lututnya. Menundukkan kepala sambil gemetar hebat, ia tidak kuat untuk berdiri, kakinya seperti jeli dan badannya kaku. Perutnya benar-benar melilit dan mual saat ini. Siapapun yang merencanakan hal menyeramkan seperti ini kepadanya, ia benar-benar akan marah jika saja tau siapa orangnya. Namun, Kanya tidak mengerti, apakah dalam hidup ia pernah melakukan kesalahan sampai-sampai harus diperlakukan seperti ini?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD