thirty seventh tale

1857 Words
“Gue hamil.” Dua kata itu otomatis membuat Kanya menegang bukan main. Luna masih sekolah, hamil akan membuat dirinya berpotensi untuk dikeluarkan dari sekolah jika saja ketahuan. Namun yang paling membuat dirinya bingung adalah tentang siapa lelaki yang sudah menghamili Luna, apakah orang itu adalah Dafa? "Ma-maksud lo? Lo lagi nggak bercanda kan? Lun, ulang tahun gue masih dua bulan lagi." tanya Kanya seakan tidak percaya apa yang dikatakan Luna. Berharap Luna sedang berbohong dalam rangka prank. Luna melepaskan pelukannya lalu duduk di ujung kasurnya, Luna menggeleng lemah sebelum memulai untuk bercerita kepada sahabatnya itu. "Gue nggak bohong, Nya." sambil menatap nanar. "Gue hamil." Luna bangkit untuk mengambil sesuatu dari dalam laci, sebuah stik dengan dua garis yang membuat Kanya langsung menutup mulutnya. “Beneran, Nya.” lirih Luna sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. “Gue tau gue nggak bisa nyalahin sepenuhnya sama pihak cowok karena jujur gue juga melakukan hal tersebut dalam keadaan sadar. Tapi gue nggak habis pikirnya, orang yang udah bikin gue kayak gini, dia nggak mau tanggung jawab!" teriak Luna kesal sebab ia tidak pernah mengira akan terjadi seperti ini. Harapan dirinya untuk bisa meniti karir agar menjadi wanita karir yang sukses sudah hancur, ia tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut. Kanya langsung memeluk erat tubuh rapuh Luna yang menangis hebat. "Siapa orangnya?" tanya Kanya pelan. "Devan! Dia nggak mau tanggung jawab! Devan awas aja lo!" teriak Luna sambil memecahkan lampu tidur miliknya. Merasa sangat tidak adil mengapa hanya dirinya sendiri yang harus menanggung akibat dari perbuatan yang mereka jalankan berdua. Kanya membekap mulutnya melihat Luna yang sangat kacau, Luna mengambil pisau kecil di meja belajarnya. "Anak ini harus gue bunuh! Gue harus bunuh dia!" teriak Luna sambil mengarahkan ujung pisau pada perutnya. Kanya melotot melihat tindakan gegabah yang hendak dilakukan oleh perempuan itu. "DAFA! TOLONG LUNA!!!" teriak Kanya sekencang-kencangnya sebab ia sudah tidak sanggup untuk menghentikan Luna. Brak Dafa masuk begitu mendengar teriakan Kanya dan langsung memeluk Luna, melemparkan pisau kecil ke sembarang arah, Kanya yang melihat itu bernafas lega setidaknya dia tidak melihat Luna membunuh bayi yang tidak berdosa dengan matanya sendiri. Luna meronta-ronta ingin mengambil pisau lagi. "Lepasin! Devan lepasin!" "Aku Dafa! Bukan Devan, Lun! Sadar!" Dafa menggoyangkan bahu Luna agar segera sadar atas apa yang sudah ia lakukan. Luna harus disadarkan agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Tubuh Luna langsung melemas lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. "Kamu pergi dari sini Daf, aku udah rusak. Kakak kamu yang buat aku kayak gini. Aku hamil, lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau kamu liat aku menderita." ucap Luna pelan sambil menunjukan ke arah pintu. Dafa berjongkok dan mensejajarkan wajahnya dengan wajah Luna. "Apa kamu pikir aku bakal pergi?" Luna mengangguk pasti, ia bahkan sudah menduga bahwa kemungkinan besar Dafa akan marah kepada dirinya karena sudah selingkuh dengan kakaknya sendiri dan saat ini ia malah sedang mengandung anak dari kakaknya itu. jika Luna menjadi Dafa maka jelas saja ia akan marah besar. "Kamu tau pintu keluar kan?" sengit Luna. "Aku yang akan tanggung jawab atas perbuatan Devan. Aku bersedia jadi ayah dari anak kamu dan Devan, Lun." ucap Dafa mantap, tidak peduli jika anak tersebut adalah anak dari kakaknya. Sebab ia akan bertanggung jawab karena ia mencintai perempuan ini, dan berharap selamanya akan begitu. Hatinya sangat sakit dan terasa teriris saat melihat kondisi Luna saat ini. “Kalo Devan nggak mau tanggung jawab, biar aku, Lun. Aku siap tanggung jawab atas hal ini.” Seharusnya, Luna bahagia dengan hal tersebut. Ada seorang laki-laki yang akan bertanggung jawab padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun, atau bahkan lebih tepatnya, ia menyakiti Dafa lebih dari apapun. Ia hamil sebab ia selingkuh dengan pria lain saat ia masih berstatus sebagai pacarnya Dafa dan bahkan lebih parahnya lagi, ia selingkuh dengan kakak kandungnya Dafa. “Jangan, jangan kamu Daf.” “Apapun alasannya, aku tetap akan tanggung jawab, Lun.” Merasa tawarannya akan segera ditolak oleh Luna membuat ia langsung mengingatkan bahwa akan jadi apapun alasannya nanti, ia akan bersedia kapanpun untuk bertanggung jawab atas anak tersebut. Luna menggeleng lemah. “Aku akan lebih merasa bersalah kalau kamu ngelakuin ini, Daf. Harusnya yang kamu lakuin itu marah, bukan jadi baik kayak gini…” bagaimanapun Luna tidak ingin apa yang Dafa tawarkan menjadi kejadian, sebab rasa bersalahnya akan semakin bertambah jika Dafa nekat bertanggung jawab atas hal yang sebenarnya tidak perlu Dafa pikirkan. “Jujur aku marah, Lun. Aku marah banget saat ngeliat kakak aku waktu itu buka pintu rumah kamu… tapi kalo kejadiannya kayak gini, aku marah sama kak Devan karena dia nggak mau tanggung jawab. Kalo kejadiannya Devan mau tanggung jawab, aku bakal mundur, Lun. Tapi disini, aku nggak mau ngeliat kamu terluka.” “Kamu bisa bantu aku, Daf. Tapi nggak dengan tanggung jawab.” “Lun-“ “Jangan pernah lakuin itu demi aku, Daf. Aku nggak mau, kamu jadi kasihan sama aku. Aku nggak pernah bisa hidup tenang, kalau kamu merasa kasihan sama aku.” Setelah berbicara seperti itu, Luna langsung pergi kekamar mandi. Saat Dafa ingin mengejar Luna menuju kamar mandi, Kanya menahan dirinya untuk pergi. “Kak Dafa… aku tau niat kak Dafa baik, tapi untuk saat ini, aku rasa Luna masih butuh waktu. Kita pulang dulu aja ya? Besok kita coba bujuk Luna untuk jalan keluar yang terbaik.” Dafa mengangguk menurut, mungkin keputusan ini seharusnya tidak ia ucapkan dengan cepat. Siapapun butuh waktu, Luna dalam hidupnya baru saja terjadi sesuatu yang tidak baik, ia butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya sejenak untuk bisa mengambil keputusan terbaik di dalam hidupnya itu, sebab masalah ini bukan masalah yang biasa terjadi. *** "Hai Milannya Bulan!" sapa Bulan yang menemukan Milano sedang duduk di sudut cafe. Saat melihat itu Milano sangat heran dengan Bulan yang selalu saja datang saat dirinya sedang sendirian, entah dari mana asalnya, tau-tau sudah sampai didepannya saja. Milano memandang Bulan malas. "Gue boleh duduk sini kan? Soalnya nggak ada kursi kosong, adanya itu tuh samping om-om gendut. Gue gamau ah nanti yang ada gue diapa-apain, boleh kan? Ya? Ya? Ya? Ya? Ya? Ya? Ya-" "Hm." lalu Bulan langsung duduk di depan Milano, padahal masih ada kursi kosong di sudut sana, namun Milano pasti sudah menduga bahwa perempuan itu akan berakhir duduk satu meja dengannya walaupun ia memiliki alasan apapun. Bulan menyedot minuman milik Milano dengan santai, apalagi saat itu Milano tidak sadar sama sekali. "Eh itu minuman gue!" sentak Milano saat telah menyadari bahwa minuman yang disedot adalah miliknya sebab Bulan sama sekali belum memesan minuman apapun. "Pesen sendiri sana." Milano langsung menarik minuman itu. Bulan cemberut, meski begitu senang karena dapat menjahili Milano. "Ih jahat, gue kan aus tau. Tadi gue abis keliling-keliling, panas-panasan. Masa tega lo biarin gue ke-hausan?" Milano memberikan minuman itu pada Bulan sebab perempuan itu terlalu banyak omong. Milano tidak paham lagi kenapa ada manusia seperti Bulan di dunia ini. "Ayey makasih Lan. Oh iya lo masih inget kata-kata gue nggak?" "Apaan?" "Kalau kita ketemu lagi, tandanya kita jodoh!" pekik Bulan membuat seisi cafe menatap ke arahnya. Bulan langsung diberi tatapan mematikan dari Milano. "Sorry sorry Lan, kelepasan." “Jangan ngada-ngada deh. Mana mungkin kita jodoh, suka sama lo aja enggak!” “Ya gapapa lah, sekarang boleh gak suka. Tapi perasaan mah gak ada yang tau lho. Bisa aja nanti tiba-tiba lo suka sama gue kan?” “Itu nggak mungkin.” Bulan hanya cemberut menanggapi hal tersebut. Lalu Milano kembali sibuk pada pikirannya yang entah kemana. "Lan! Ih jangan ngelamun." "Kenapa Bulannn?" tanya Milano jengah. "Ish mukanya jangan bete gitu dong. Lo harus senyum, ya kalau lo emang lagi bete dan males senyum, lo pura-pura bahagia aja. Biar cerah gitu deh keliatannya." suruh Bulan sambil menarik kedua pipi Milano agar menjadi senyuman. Bulan benar-benar tidak suka melihat seseorang yang tidak semangat hidup apalagi tidak tersenyum. Milano mengusap pipinya yang dicubit oleh Bulan. "Percuma pura-pura bahagia buat perbagus cover, nyatanya kalau hati nggak bahagia tetep aja muka nggak akan cerah. Bayangin kalau bibir tersenyum tapi mata terluka? Apa keliatan cerah?" tanya Milano kepada Bulan. Bulan memonyongkan bibirnya. "Iya sih, jadi kayak gini?" Bulan memasang wajah dengan bibir tersenyum paksa dan mata yang datar. Milano tersenyum melihat ekspresi Bulan yang benar-benar sangat aneh itu, ia sampai tidak bisa menahan senyumannya. "Nah gitu dong! Senyum tulus! Ah makin ganteng aja lo Lan kalau senyum gitu!" pekik Bulan seperti fangirl, dan mencubit pipi Milano lagi, lagi, dan lagi. Milano hanya bisa pasrah. *** Malam hari, Kanya terbangun dari tidurnya. Hujan deras diluar jendela membuat ia membuka matanya dan beranjak menuju balkon kamarnya. Kanya menyibak tirai untuk membuka jendela balkon. Air yang jatuh sangat terdengar merdu, seperti alunan musik yang mengantarkan kita pada kebahagiaan. Selain menyukai hujan dimalam hari, Kanya juga suka mendengar rintik-rintik hujan. Angin menerpa Kanya, membuat rambutnya berterbangan manja. Kanya tersenyum, menghirup dalam-dalam aroma petrichor. Jika saja kesehatan dalam tubuhnya dalam keadaan membaik, ia pasti akan bermain hujan di balkon. Tapi tak apa, walaupun tidak bisa bermain hujan, ia masih bisa merasakan dengan sebelah tangan yang menadahkan air hujan, ia masih bisa merasakan dinginnya air hujan yang terasa seperti mengalir dari telapak tangan menuju lubuk hati. Sesuatu yang tidak bisa digengam namun bisa dirasakan. Hanya dengan mendengar rintik-rintik hujan, menadahkan tangan agar bisa merasakan rintik itu, dan merasakan segelintir kata dingin yang menjalar ke seluruh tubuh itu lebih dari cukup untuk merasakan kebahagiaan. Menurut Kanya, bahagia itu sederhana tergantung bagaimana cara kita untuk bersyukur menerima apa yang ada. Hal-hal kecil yang sering di sepelekan orang lain, kadang menjadi bagian dari kebahagiaan bagi Kanya. Jika kamu selalu merasa bahwa kamu lah orang yang paling menderita didunia ini, kamu salah. Ada banyak orang yang bahkan lebih terpuruk dari pada kamu. Jika waktu kamu habiskan untuk mengeluh, kamu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Rasakan, maka kamu akan tau bagaimana rasanya bahagia yang sempurna. Waktu terus berjalan seiring waktu, kita tidak bisa mencegah ataupun kembali ke masa lalu. Detik ini, hanya terjadi sekali. Jangan habiskan waktumu hanya untuk mengeluh dan tidak bisa menerima keadaan, anggap lah kesedihan adalah jalan menuju kebahagiaan. Kamu hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk mencapai kebahagiaan itu. *** "Nya, gimana keadaan Luna? Lo udah kerumahnya kan?" tanya Karina yang sedang menyedot es jeruk miliknya. "Dia baik, lo nggak usah khawatir." lalu melanjutkan makan siomay yang berada di piringnya. Kanya merasa kejadian yang terjadi pada Luna belum bisa ia ceritakan kepada siapapun meskipun orang itu adalah Karina yang juga sahabat Luna. Ia merasa akan jauh lebih baik jika Luna sendiri yang memberitahu hal tersebut kepada Karina, sebab ia yang memiliki masalah tersebut. Kanya merasakan bahwa di sebelahnya ada seseorang yang ikut duduk bergabung dengan Karina dan dirinya. "Hay my bestie" sapa Valen. Kanya hanya melirik tanpa membalas sapaan Valen. "Gimana? Kamu udah lepasin Raken buat aku belum? Kalau udah kan aku jadi enak deketin Raken tanpa harus dengerin gosip yang bikin kuping aku panas." sebenarnya Valen ini menganggap dirinya apa? Apa Valen mengalami gangguan kejiwaan yang menyuruh sahabatnya untuk memutuskan pacarnya demi seorang sahabat yang tidak pernah ia pikirkan akan berubah sifatnya seperti ini. Kanya menggeleng saja, malas menanggapi apa-apa. "Loh kok belum sih, Nya. Apa jangan-jangan kamu nggak mau ngelepasin Raken buat aku?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD