thirty sixth tale

1865 Words
Milano tersenyum, ia sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan semacam ini saat bertemu dengan Raken. Ia memang sudah merencanakan sedari awal akan mengungkap fakta bahwa Kanya adalah adik kandungnya, kebetulan saja Raken menjadi orang pertama yang ia beri tahu hari ini. "Emangnya salah kalau gue berangkat bareng adik gue sendiri?" Raken hanya terdiam, bergantian memangdang wajah Kanya dan Milano secara bergantian. Ya memang tidak kaget kalau Milano mengakui itu, sebetulnya adik kakak itu dari segi wajah pun terlihat mirip sehingga akan percaya jika mereka mengaku sebagai adik dan kakak. Raken sama sekali tidak terkejut mendengar fakta tersebut seolah-olah Raken sudah mengetahu tentang hal tersebut. Walaupun bukan Raken yang terkejut, Kanya melebarkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Lah, lah, lah k-k-kok? Kak Milano kenapa tiba-tiba begini? Kakak lagi sakit?" tanya Kanya tidak percaya dengan yang Milano ucapkan. Mengapa sikap Milano berubah pesat? Ia khawatir Milano terjatuh di suatu tempat yang menyebabkan lelaki itu bersikap tidak seperti biasanya. “Sehat banget, malah. Emang kenapa sih, kaget banget?” Tanya Milano yang masih dengan santainya menanyakan hal tersebut kepada Kanya tanpa ada rasa salah sedikitpun. Ya sebenarnya memang tidak ada yang salah, namun perubahan yang sangat jelas ini cukup membuat Kanya bingung. “Bukan gitu, tapi tiba-tiba banget?” Karena Milano hanya tersenyum dan mengendikkan bahu, Raken tersenyum seperti menyiratkan sesuatu sambil menepuk bahu Milano. "Bagus deh lo udah akuin adik lo sendiri, ada apa? Kok tiba-tiba Lan?" tanya Raken yang sudah mengetahui fakta tersebut sejak lama. Milano mendekatkan diri untuk membisikkan sesuatu kepada Raken, sengaja berbisik sebab Milano tidak ingin Kanya mendengarkan hal tersebut. "Suatu saat lo bakal tau alasannya. Gue pesen sama lo, jagain adik gue saat gue nggak bisa jagain dia." Sebenarnya dalam lubuk hati terdalam, ia akan selalu menjaga Kanya sampai kapapun. Namun, Milano rasa ia perlu untuk mengucapkan hal tersebut sebab ia harap Raken bisa menjaga Kanya. "Gue bakal jagain Kanya lebih dari yang lo bisa, Lan." Balas Raken dengan sangat percaya diri, sepenuhnya ia yakin bahwa untuk urusan menjaga Kanya di dunia ini, mungkin ia bisa jadi salah satu pemenangnnya. Milano tersenyum mendengar hal tersebut. "Gue pegang kata-kata lo." lalu setelah mengatakan hal tersebut Milano meninggalkan Kanya dan Raken. "K-kok ka Lano aneh?" tanya Kanya tidak percaya dengan apa yang terjadi sambil menatap punggung Milano yang semakin lama menghilang dari pandangannya. Kanya beralih pada Raken dan bertanya. "Kok kamu tau kalau aku adiknya ka Lano?" Raken hanya terkekeh tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Kanya. "Udah yuk aku anterin ke kelas." "Ih kamu kan belum jawab pertanyaan aku, Ken." keluh Kanya kesal sebab ia begitu penasaran tentang bagaimana Raken bisa mengetahui fakta tersebut karena setahu dirinya, ia telah menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Raken tidak menjawab pertanyaan Kanya, Raken malah mengacak-acak rambut Kanya sambil mengajak Kanya untuk ke kelas Kanya. Sedangkan Kanya hanya bisa menghembuskan nafas kesal sebab pertanyaannya tidak ada memiliki jawaban. *** "Luna nggak masuk lagi, Rin?" tanya Kanya saat pelajaran pertama dimulai dan melihat tidak ada keberadaan Luna disana. Karina menggeleng pasrah sambil menatap ponselnya yang tidak kunjung mendapatkan balasan apa-apa. "Gue nggak tau deh, Nya. Udah gue line, dm, wa, sms, telp, nggak ada yang aktif. Dia nggak ada kabar sama sekali." Kanya mengerutkan alisnya berpikir, tidak seperti biasanya seorang Luna tidak membuka ponsel apalagi tidak membalas pesan dari sahabat-sahabatnya. Memikirkan hal tersebut membuat dirinya khawatir. "Dia kenapa yah? Pulang sekolah kerumahnya yuk? Gue takutnya dia sakit, sayang kan kalau kehadirannya di alfain terus." ajak Kanya sebab ia rasa ada sesuatu yang terjadi pada Luna sehingga membuat perempuan itu bertindak seperti ini. "Yah, Nya. Kayaknya hari ini gue nggak bisa deh, gue ada janji mau nyalon sama mama." "Nggak bisa dibatalin? Luna kan temen kita, Rin. Lo nggak mau ngecek keadaan Luna?" Karina menghela nafas. "Nggak bisa, lo aja deh gue titip salam aja." "Kanya, Karina... Jangan mengobrol atau kalian saya keluarkan." tegur guru yang sedang mengajar di pelajaran pertama sebab Kanya dan Karina berbicara terlalu keras sehingga membuat murid lain merasa terganggu. "Iya bu." jawabnya serempak. "Yaudah kalau gitu, nanti gue sendiri yang ke rumah Luna." bisik Kanya, Karina hanya mengangguk menyetujui. *** "Itu tangan kamu kenapa, Nya?" tanya Raken yang baru sadar jika jempol Kanya di perban. Kanya lupa menyembunyikan luka tersebut dari Raken padahal tadi pagi ia berhasil tidak ketahuan. Kanya hanya tidak ingin membuat Raken khawatir dan bertanya-tanya kepada dirinya. Kanya langsung menyembunyikan jempolnya dibalik jari-jari yang lain. Berusaha memikirkan alasan apa yang cocok untuk bisa menutupi fakta bahwa luka ini ada karena kado yang tidak tercantum informasi pengirim. "Oh ini, biasa Ken ceroboh dikit." Raken menatap lekat mata Kanya yang terlihat tidak jujur, sangat mudah membaca karakter seseorang hanya lewat tatapan mata, mungkin lidah bisa berbohong tapi mata selalu jujur. Dan melihat reaksi Kanya yang seperti ini, tidak mungkin jika karena kecerobohannya saja. "Kamu nggak lagi bohong kan?" Kanya menggaruk tengkuknya, bingung harus berbicara apa. Akhirnya ia jujur bahwa ia habis terkena jarum yang menyebabkan luka seperti ini. "Kena jarum, Ken." "Kok bisa?" Kanya mengangkat bahunya, ia tidak ingin memberikan penjelasan tentang hal ini. "Udah gapapa kok, nanti juga sembuh. Nih minum kamu." Kanya sengaja mengalihkan obrolan dan Raken menerima minuman dari Kanya yang Kanya beli di kantin sekolah, dan langsung di tengguk habis oleh Raken yang baru saja selesai olahraga. Kanya sudah pulang karena jam terakhir adalah pelajaran biologi. Dari kejauhan Raken dan Kanya melihat seseorang yang sangat familiar berjalan mendekat kearah mereka. Tidak seperti biasanya, akhir-akhir ini kakaknya itu sering membuatnya terkejut dengan sikap yang tidak seperti biasanya. "Nya, ayo pulang." ajak Milano yang baru saja menghampiri mereka. "Kanya bareng gue aja, Lan." sahut Raken yang merasa sudah membuat janji lebih dulu kepada Kanya. "Aku nggak pulang dulu." jawab Kanya sebab ia memiliki tujuan untuk pergi kerumah Luna terlebih dahulu hari ini, untuk mengecek keadaannya. Milano langsung menghadap ke arah Kanya. "Loh kenapa nggak pulang?" Kanya menunduk. "Aku mau ke rumah Luna dulu, dia udah lama nggak masuk sekolah, aku takutnya dia kenapa-napa." "Yaudah gue anterin." aju Milano yang cukup membuat Kanya aneh sebab laki-laki itu menyerahkan diri untuk mengantarkan Kanya pulang kerumah. Kanya menggeleng keras. "Nggak usah, Ka. Anya bisa naik taksi kok, ka Lano pulang duluan aja." Milano manggut-manggut ."Okeh, gue duluan ya. Nya, Ken!" sambil menjauh dan melambaikan tangan. "Aku anterin ya?" tawar Raken pada Kanya saat Milano sudah menjauh dari pandangannya. "Nggak usah, aku naik taksi aja. Bukannya kamu ada pertemuan keluarga?" Raken tadi bilang pada Kanya bahwa sepulang sekolah ia ada acara keluarga. Makanya Kanya engga diantar oleh Raken sebab bagaimana pun keluarga jauh lebih penting. Raken menghela nafas sengaja. "Aku bisa kok telat beberapa menit, kan cuma nganterin aja bukan nemenin." "Udah gapapa aku naik taksi, mendingan kamu ganti baju... Bau nih." Kanya mendorong tubuh Raken menjauh sebab tubuhnya penuh dengan keringan walau sebetulnya tidak benar-benar bau, Kanya hanya bercanda saja. Raken mengendus-endus bajunya. "Bau dari mana? Wangi ah." "Udah sana nanti telat, aku duluan bye!" Kanya langsung lari keluar menuju gerbang sekolah untuk segera mencari taksi agar bisa kerumah Luna lebih cepat. Ia sangat penasaran dan khawatir dengan kondisi Luna saat ini. Namun, sudah lama ia berdiri disini menunggu taksi yang lewat tidak ada yang melintas. Sedari tadi yang lewat hanyalah mobil dari siswa SMA Trakhina Wijaya, belum ada satupun taksi yang lewat. Namun Kanya tetap menunggu di pinggir jalan. Akhirnya setelah penantian panjangnya, ada taksi yang melaju mendekat kearahnya. "Taksi! Taksi!" sambil melambaikan tangan mengisyaratkan untuk berhenti. Namun, saat memanggil dia di tabrak seseorang dari belakang, bertepatan dengan taksi yang sudah berhenti di depannya. "Maaf neng maaf, boleh saya duluan nggak? Istri saya mau melahirkan." tanya bapak-bapak pada Kanya yang membuat Kanya meringis saat melihat wanita disampingnya yang sedang dalam keadaan darurat harus segera dibawa menuju kerumah sakit. Ibu-ibu disampingnya terlihat sedang memegang perut menahan rasa sakit, Kanya malah bengong karena teringat Bundanya. Apa saat melahirkannya, Bunda sesakit itu juga? Namun belum sempat ia menanyakan hal lain dalam batinnya, bapak-bapak sudah bertanya kembali. "Neng boleh ya?" desak bapak-bapak itu. "Iya-iya pak gapapa kok, silahkan." Kanya membukakan pintu untuk ibu-ibu itu. Berharap mereka dapat segera sampai kerumah sakit. "Makasih ya neng." Kanya hanya tersenyum dan mengangguk. “Sama-sama.” lalu menunggu lagi taksi yang lewat. Merasa kesal sebab jarang sekali ada taksi yang lewat hari ini. Lalu ada mobil yang telah melewatinya dan berjalan mundur, tepat di depan Kanya berdiri. Tin Lalu mobil itu terbuka kacanya. "Mau kemana?" ternyata Dafa yang berada disana, ia melihat Kanya dipinggir jalan yang membuat dirinya langsung berhenti. "Eh ka Dafa, nunggu taksi, mau ke rumah Luna." mendengar nama Luna membuat Dafa menepikan mobilnya dan keluar dari mobil. "Emangnya Luna kenapa?" tanya Dafa penasaran. "Luna nggak ada kabar." Sambil mengecek kembali ponselnya, berharap Luna membalas salah satu pesannya namun nihil, Luna benar-benar seperti hilang dari peredaran dan tidak tau mengapa Luna bisa tidak ada kabar seperti ini. "Kerumah Luna sekarang." ajak Dafa sambil menarik Kanya masuk ke dalam mobil. Sejujurnya saja mendengar dari Kanya bahwa Luna tidak memiliki kabar sama sekali cukup membuat dirinya khawatir. Sejak insiden tempo lalu, Luna menelfon dirinya berkali-kali namun tidak ada satu panggilan pun yang ia angkat. Sehingga sampai saat ini Dafa sama sekali tidak tahu menahu jika Luna tidak ada kabar karena memang Dafa memutuskan komunikasi sejak saat itu. Namun kali ini entah kenapa ada rasa yang tidak beres jika Luna tidak ada kabar sama sekali. "Eh-eh." Karena bingung akhirnya Kanya ikut saja, lagi pula memang tidak ada taksi yang lewat sehingga tidak apa-apa jika berangkat bareng kerumah Luna dengan Dafa. Dafa langsung melajukan mobilnya menuju rumah Luna, secepatnya. *** "Luna... Ini aku Kanya." sapa Kanya saat mereka telah sampai pada depan gerbang sembari menekan bel. Lalu pintu terbuka, namun bukan Luna yang keluar melainkan wanita paruh baya yang Kanya kenal sebagai ibunya Luna. "Eh Kanya, ada apa?" "Lunanya ada tante?" tanya Kanya sopan. "Ada, tapi..." "Tapi kenapa, tante?" "Dia dikamar terus, udah dua hari dia nggak makan. Dia selalu kunci kamarnya dan nggak membiarkan siapapun masuk. Tadi pagi Ayahnya Luna mencoba untuk mendobrak pintu kamar Luna. Tapi, Luna teriak dan mengancam jika ada siapapun yang berani masuk maka dia akan bunuh diri." jelas ibunya Luna dengan raut wajah sedih, khawatir dan bingung harus melakukan apa agar anaknya itu keluar dari kamar. Kanya jadi penasaran dengan keadaan Luna. "Kanya boleh coba masuk ke kamar Luna, tante?" Ibunya mengangguk lese. "Boleh, tapi kalau Luna nggak mau jangan dipaksa ya?" Kanya mengangguk. "Ini siapa?" tanya ibunya Luna menunjuk Dafa. "Dia kakak kelas Luna, temennya Luna juga." "Oh yaudah, ayo masuk." *** "Lun, ini gue Kanya... Gue boleh masuk nggak?" tanya Kanya pelan di depan pintu. Terdengar grasak-grusuk didalam. "Lo sama siapa?" suara Luna agak serak. "Apa Dafa ada disitu? Kalo iya gue nggak akan bukain pintu." Baru saja Dafa ingin membuka suara, namun sudah di bekap oleh Kanya. "Nggak ada kok, gue sendiri." lalu Kanya mengusir Dafa untuk bersembunyi sebentar. Luna membuka pintu kamarnya. Dia terlihat begitu, menyedihkan. "Kenapa bengong? Mau masuk apa tetep berdiri disitu?" tanya Luna lesu, ya jelas saja lesu dia belum makan. "Eh iya gue masuk, gue masuk." lalu Kanya masuk meninggalkan Dafa di luar. Setelah selesai mengunci kamarnya, Luna langsung memeluk Kanya dan menangis. "Kanya..." panggil Luna se-senggukan. "Gue hamil." lirih Luna dan membuat tubuh Kanya menegang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD