fourty eighth tale

1809 Words
Setelah akhirnya Kanya menceritakan hal tersebut, sepanjang cerita Artha merasa sangat sedih dan sangat terasa sekali bahwa dadanya sangat sesak. Bagaimana bisa ia sejahat itu kepada anak perempuannya sendiri? Kepada bisa ia begitu tega kepada gadis kecil itu yang bahkan harusnya mendapatkan support penuh dari orang tuanya. Ia mematahkan harapan Kanya. Cukup membuat dirinya sangat sedih sebab semua ini terjadi karenanya. Apalagi selama ini ia berperilaku sangat jahat kepada perempuan itu namun Kanya tidak pernah membalas apa-apa. Hanya diam dan bahkan terlihat tidak ada rasa marah sedikit pun kepada mereka. Kanya hanya merasa sedih dengan keadaan yang seringkali tidak berpihak kepada dirinya. Namun sejujurnya Kanya masih bisa menahan hal itu. Pertahanan Artha hancur, kini ia menangis didepan putrinya, untuk pertama kalinya. Mungkin beribu maaf yang akan ia ucapkan tidak akan pernah bisa membuat rasa sakit itu sebuh dan pecahan hati akan kembali utuh seperti semula. Namun, Artha benar-benar merasa bersalah. Sangat bersalah."Ayah minta maaf. Ayah menyadari semua ini setelah semuanya terlambat, bahkan jika ucapan maaf sangat tidak wajar dikatakan sekarang. Ayah terlalu fokus sama pekerjaan tanpa peduli kalau putri Ayah membutuhkan sosok Ayah disampingnya." Ia perlu meminta maaf sebanyak-banyaknya pada anak perempuannya. Sebab mau bagaimanapun ia memang memiliki banyak salah yang sengaja atau tidak sengaja memang di lakukan olehnya. Tidak dapat membayangkan dika Artha berada di posisi Kanya saat itu, mungkin ia tidak akan pernah bisa menjalani hidup hingga saat ini. "Ayah bodoh ini lalai menjaga kamu, gagal menjadi Ayah. Bahkan jika kamu nggak mau manggil Ayah dengan sebutan Ayah, Ayah terima. Itu memang pantas untuk Ayah setelah apa yang Ayah lakuin sama kamu." Artha merasa bahwa ia bahkan tidak cocok untuk di sebut sebagai Ayah karena perlakuan dan perbuatan yang begitu tega kepada anak sendiri. Namun, Kanya sama sekali tidak memikirkan hal itu. bagaimana pun sifat ayahnya, Ayah tetap lah Ayah baginya. Kanya mengeleng keras, air matanya turun deras mendengar Artha berbicara seperti itu. "Enggak Ayah, ini bukan salah Ayah. Ini salah Anya yang nggak mau berusaha untuk ngasih tau ke Ayah. Jangan nyalahin diri sendiri, Yah. Setiap manusia pasti punya salah, jangan merasa bahwa Ayah yang paling salah disini, semuanya salah. Termasuk aku." suaranya pelan, namun menyiksa bagi siapapun yang mendengarnya. Perempuan itu memaafkan dengan sangat ikhlas, bahkan jika semisal tidak ada yang meminta maaf kepadanya pun, ia tetap akan memaafkan mereka. Suara se-senggukan dari Reta membuat Kanya menoleh, wanita itu terlalu larut dalam penyesalannya yang terasa sangat sesak dalam d**a. Tidak mengerti harus di sembuhkan dengan cara apa, sebab ia membuat kesalahan yang terlalu banyak dalam hiidupnya. Bahkan, tangisan dan ucapan maaf pun rasanya tidak akan pernah bisa cukup. "Maafin mama karena udah ngerebut kebahagiaan kamu, mama cuma mikirin diri sendiri tanpa mikirin apa yang kamu rasain jika mama masuk ke dalam kehidupan kamu." tangan Kanya menyentuh pipi Reta lembut, menghapus air mata yang turun deras yang membuat mata Reta sangat sembab bukan main. "Mama sama sekali nggak ngerebut kebahagiaan aku. Mama emang sudah ditakdirkan untuk masuk ke dalam kehidupan aku, dan juga Ayah." sambil melirik lambat ke arah Artha. "Sosok mama disini penting, mama bisa membuat Ayah tidak terlalu mengutamakan pekerjaan, buat aku balik lagi ke rumah. Itu semua udah takdir, takdir yang membawa mama masuk ke kehidupan kita." Kanya akan selalu menjadi seseorang yang memiliki ribuan stok dalam memaafkan orang lain. Sebab mau bagaimana pun, setiap orang berhak untuk di berikan kesempatan kedua kan? Dan Kanya berharap bahwa ia adalah orang yang bisa memberikan kesempatan kedua, apalagi untuk kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya memeluknya penuh kasih sayang serta penyesalan. Kanya menangis bahagia, namun belum, ada yang kurang baginya. Kanya melepas pelukan itu. "Ngomong-ngomong ka Lano ikut kesini nggak, Yah?" sebab ia rasa, kakaknya itu tidak mungkin tidak ikut jika tidak mengetahui keadaan dirinya saat ini. Meskipun kakaknya adalah sosok kakak yang bermulut sangat pedas kepadanya. Ia pasti akan kesini jika mengetahui kondisi Kanya yang sebenarnya. Apa mungkin saja Milano ada urusan mendadak? Tetapi Kanya rasa itu tidak mungkin, kakak laki-lakinya itu pasti akan menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Kanya. Artha dan Reta langsung menegang ditempat, ini sudah terduga akan terjadi, sudah terduga bahwa Kanya akan menanyakan ini pada mereka. Genta yang berada di tempat duduk kunjungan pun ikut menegang mendengar pertanyaan Kanya. Mereka sama sekali tidak bisa menjawab apa-apa. Melihat perubahan drastis yang terjadi pada ekspresi mereka, membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. Beberapa pikiran yang terlintas dalam pikirannya, ia harapkan itu tidak terjadi. Namun, ekspresi mereka menunjukkan bahwa apa yang saat ini ada di dalam pikirannya memang benar-benar terjadi. Kanya takut. Kanya tidak ingin kehilangan sosok kakak. "Ayah... Mama... Kalian kenapa? Ka Lano nggak ikut kesini ya? Aku pikir ka Lano ikut kalian kesini. Apa ada urusan mendadak yang bikin kak Lano nggak bisa ikut?" raut wajah Kanya berubah jadi sedih sebab saat ini ia hanya ingin melihat sosok Milano di depannya. Kesedihannya tidak berlangsung lama karena detik kemudian ia tersenyum karena ada ide yang lewat di otaknya. "Yah, Ma. Aku pinjem handphone dong, aku mau telfon ka Lano. Takutnya ginjal yang ditubuh aku nggak cocok sama tubuh aku. Takutnya kejadian ka Dean terulang sama aku, seengaknya aku mau telfon Milano untuk mengucapkan kata-kata manis, kalau seminggu lagi aku meninggal seperti ka Dean, itu bisa jadi kata-kata terakhir buat ka Lano." penjelasan Kanya membuat Reta menangis kencang, Artha pun ikut menangis dalam diam. Ucapan Kanya seperti mau menghadapi kematian, ketiga orang di ruang itu hatinya tergores mendengar ucapan Kanya. Lalu Artha memberikan ponselnya pada Kanya dan Kanya dengan pelan mengambil itu dan menekan nama kontak Milano dan menelfonnya. Walau Kanya tidak akan pernah tau, bahwa sang pemiliki nomor telepon tidak akan pernah bisa menjawab panggilan darinya. *** Tidak ada suara selain suara 'tut' bunyi dari numberik angka yang Kanya ketik untuk menelfon Milano. Semuanya tegang, terkecuali wajah Kanya yang masih berusaha berpositif thinking untuk berpikiran bahwa seluruh yang ada di kepalanya saat ini bukan lah kenyataan yang sebenarnya. Kanya me-loudspeaker panggilan, sebab terlalu malas untuk menunggu di jawabnya panggilan itu terlalu lama. Saat Kanya menarik nafas untuk mengucapkan 'Hallo' lawan panggilan terlebih dahulu bicara. "Ada apa pa Artha? Jasad Milano sudah selesai kita kuburkan di jakarta, apakah Kanya sudah bangun-" Brak Telephone itu jatuh ke lantai, semua tidak memperdulikan ponsel, namun fokus pada Kanya yang mematung ketika telah selesai mendengar hal yang sangat mengejutkan itu. Seolah dunianya berhenti berputar dan dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk bernafas saja, Kanya merasa sangat kesulitan. Kanya shock, menutup mulutnya lalu menanyakan. "Ka Lano kenapa? Kenapa dia di..." lalu memejamkan matanya lalu terbuka lagi, berusaha memastikan bahwa apa yang baru saja ia dengar adalah benar. "Kubur?" suaranya serak saat melanjutkan kata itu, setetes air mata perlahan turun dengan diikuti tetesan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Kanya itu. semua membisu tanpa jawaban. Kanya merasa ingin marah kepada semuanya, mengapa bisa semua hal ini terjadi di dalam hidupnya. Kenapa Milano juga pergi meninggalkan dirinya? Lalu bagaimana Kanya bisa melanjutkan hidupnya setelah ini? "Bawa aku ke jakarta sekarang! Aku mau kesana! Dimana Milano! Kenapa kalian nyembunyiin semuanya dari aku?! Aku berhak tau!" kalap, Genta mati-matian menahan Kanya untuk tidak bergerak lebih jauh lagi, ia harus menjaga jahitan di bawah perutnya. Kemungkinan besar, tiap pergerakan yang Kanya lakukan memberikan efek rasa sakit. Namun, sepertinya perempuan itu sama sekali tidak memperdulikan apa-apa. Kanya menahan Genta lalu menunjuk tepat pada perut bagian bawahnya, untuk mempertanyakan juga memperjelas tentang hal ini. "Ini ginjal ka Lano kan?" lirih Kanya sambil melotot di iris mata Genta. Genta hanya diam, namun dari diamnya Kanya bisa menyimpulkan bahwa dugaannya memang benar. Dan itu sungguh membuat dirinya merasa sangat sakit. Kanya menjerit, menangis dan meronta-ronta ingin segera pulang ke indonesia tepatnya dijakarta, melihat raut wajah ketiga orang didepan Kanya, itu menjadi jawaban benar bagi Kanya, Kanya sudah menduga itu. Sejak ia pergi dari rumah dan Milano bicara aneh, orang tuanya yang datang dengan wajah sedih dan penuh tangis, wajah tegang ketika ia menyebut nama Milano, itu sudah jelas menimbulkan kecurigaan bagi Kanya. "Lo yang pergi, tapi nanti lo yang ngerasa kehilangan." Kata-kata itu terngiang jelas di benaknya, seakan kata itu menjerit di kepalanya. Benar, dia sangatlah merasakan kehilangan. Semua orang meninggalkannya, dan Kanya benci itu. Ia benci ketika harus hidup sendirian ditengah-tengah orang yang meninggalkannya. Mengapa orang-orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Mulai dari Bunda, Dean, Karina, lalu Milano. Dan setelah itu siapa lagi? Apa semua orang yang ia sayangi akan pergi meninggalkan dirinya. Dirinya benci itu, benci fakta bahwa semuanya benar-benar pergi, se-simple itu. Menyesakkan, lalu buat apa dirinya hidup sendirian? Tidak ada gunanya, tidak ada yang menyenangkan. “Kak… Kanya kangen… bisa nggak untuk saat ini kakak datang kesini?” batin Kanya merasa sangat ingin menangis. Reta dan Artha memeluk Kanya dengan erat, bukan hanya Kanya yang sedih orangtuanya pun demikian. Genta segera memanggil dokter untuk segera menyuntik Kanya dengan obat bius, bagaimana pun juga, jahitan itu harus rapi, dan jika Kanya terus meronta-ronta akan menjadi hal buruk nantinya. Artha, Reta, dan juga Genta sangatlah sedih melihat itu. Ia tidak tega melihat Kanya yang benar-benar hilang pikiran. Sampai ia meronta-ronta sambil menangis dan teriak. Kehilangan sosok kakak mungkin akan menjadi bagian yang paling menyakitkan bagi perempuan itu. *Flashback on* Milano sibuk mencari-cari senter, untuk pergi ke gudang mengambil sesuatu yang ia perlukan sebab setiap mati lampu ia bingung harus bagaimana sebab terkadang ia sering terpeleset karena menginjak sesuatu yang licin saat hendak menyalakan lilin. "Ma, senter dimana?" Reta berhenti, mengingat-ngingat keberadaan senter tersebut. "Kemarin dipakai Anya, coba cari aja di kamarnya." Milano mengangguk lalu berjalan cepat menuju kamar Kanya. Mengelilingi kamar adiknya untuk mencari senter namun nihil. Tidak ada senter dimana pun, lalu pandangannya beralih pada meja belajar milik Kanya. Karena buru-buru ia langsung membuka laci. Benar, disana senternya. Namun bukan itu yang menjadi perhatiannya sekarang. Iris matanya fokus pada map putih dibawah senter itu. Dengan gugup Milano mengambil map putih itu, hal yang membuat penasarannya membuncah adalah title dari map putih tersebut. Jadwal cuci darah. Ny. Kanya Armaya A, Sepertinya Kanya baru saja menaruh dokumen tersebut karena kertas itu berada di bagian paling atas. Rasa penasaran makin meninggi, lalu Milano membuka lembaran-lembaran selanjutnya. Rasa penasaran itu seakan membuka perasaan bersalahnya sebab ada banyak hal yang ia tidak ketahui tentang Kanya. bahkan rasa bersalah itu kian muncul saat membaca baris per baris kalimat. Terkejut. Semua lembaran tersebut adalah dokumen tentang penyakitnya Kanya. Dokumen yang Kanya simpan sejak ia memiliki penyakit. Matanya mencari lokasi rumah sakit yang merawat Kanya lalu dengan gerakan cepat kilat, ia pergi dari rumah membawa map putih tersebut tanpa memperdulikan siapapun yang bertanya. Bahkan Kanya yang lewat didepannya pun ia abaikan karena ia ingin membuktikan langsung pada pihak rumah sakit. Menurutnya itu lebih baik dari pada bertanya langsung pada Kanya. Ternyata, setelah ia konfirmasi langsung pada pihak rumah sakit. Semuanya benar, Kanya mengalami gagal ginjal dan saat ini Kanya membutuhkan pendonor ginjal secepatnya. Setelah berterima kasih atas info yang diberikan, ia langsung pulang ke rumah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD