fourty ninth tale

2036 Words
Begitu Milano kembali dari rumah sakit setelah mengkonfirmasi pada pihak rumah sakit dan ternyata, semuanya memang benar. Dalam pikirannya, Milano terbesit untuk melakukan sesuatu untuk Kanya, sesuatu yang mungkin akan menjadi hal terakhir baginya untuk meminta maaf kepada Kanya. Atas kesalahan-kesalahan yang telah ia perbuat, mungkin ini akan jadi satu-satunya cara agar ia tidak merasa bersalah lagi kepada adiknya itu. Saat kembali kerumah, Milano melihat Kanya yang keluar dari rumah sambil terurai air mata. Jujur, dalam situasi seperti ini Milano ingin sekali memeluk Kanya agar perempuan itu berhenti untuk menangis. Namun, ia terlalu bingung harus memulai bersikap baik seperti apa sebab ia sudah terlalu sering bersikap cuek dan berkata pedas pada adik perempuannya itu. Sehingga, keputusan besar itu ia buat untuk sebuah permintaan maaf yang tak akan pernah bisa ia ucapkan secara langsung. Kanya berhenti mendadak saat melihat Milano kembali dari luar, sepertinya Milano tadi hanya berpergian di sekeliling rumah saja makanya kembali sangat cepat dari dugaannya. Terlihat Milano melangkahkan kakinya dengan santai menuju halaman rumahnya. Kanya menghapus air matanya kasar, lalu berlari ke hadapan Milano. "Kak!" “Kak Milano!” “Kakak!” Tiga kali Kanya memanggil laki-laki itu namun Milano justru mencari jalan lain untuk mengabaikan Kanya. "Kak, please! Aku mau ngomong sama kakak." nadanya terdengar frustasi, ia berharap kali ini, Milano mau berbicara kepadanya. Milano berhenti lalu menatap Kanya. Sebab ia tidak tega karena Kanya memanggilnya berkali-kali dan tidak menyerah sedikitpun. "Kenapa? Ganggu tau nggak." “Sebentar aja kak lima menit.” “Gue cuma punya waktu semenit.” Kanya mendadak request. “Tiga menit deh…” Milano hendak pergi namun, di tahan oleh Kanya. “Iya iya… semenit.” “Jangan lama-lama, gue sibuk.” "Aku cuma mau ngomong sesuatu, setelah ini aku nggak bakal ganggu kakak lagi." Kanya menggantung ucapannya untuk melihat reaksi Milano, karena Milano meresponnya dan menunggunya untuk melanjutkan ucapannya, maka dia melanjutkan ucapannya setelah menarik nafas. "Aku bakal pergi, Kak." lalu membuang nafas panjang, seolah membuat keputusan terbesar di dalam hidupnya. "Pergi jauh dari sini." “Hah?” “Aku minta maaf, Kak. Kalo selama ini aku pernah buat salah sama kakak, baik itu yang di sengaja ataupun yang nggak di sengaja. Tapi, dari seluruh orang yang ada di dunia ini, aku paling sayang sama kak Milano.” Setidaknya, untuk keputusan dirinya kali ini, ia tidak menyesali apa-apa. Sebab ia sudah berterus terang kepada kakaknya. “Nya, serius lo ngomong kayak gini sama gue?” Milano syok mendengar hal itu, dalam hati rasanya ingin menangis dan juga bilang kepada Kanya bahwa dirinya juga sangat menyayangi adik perempuannya itu. “Aku bakal pergi, Kak. Aku nggak mau kehilangan kesempatan, buat bilang kalo aku sayang kakak.” Milano membalikkan badannya dan menghela nafas. "Bukan, bukan lo yang pergi." "Aku yang pergi, Kak. Karena aku nggak seharusnya ada di sini." tangan Kanya menunjuk ke rumahnya, menatap sedih pada rumah yang tidak bisa menerima kehadirannya lagi. "Lo yang pergi, tapi nanti lo yang ngerasa kehilangan." Milano hanya merespon seperti itu lalu masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Kanya yang ingin melontarkan banyak pertanyaan. Kanya mendesah kesal lalu pergi dari rumah itu, ternyata tidak ada yang menahannya untuk pergi. Semuanya ingin ia pergi tanpa ada yang ingin menahannya untuk tetap tinggal. *** Milano bukan tanpa sebab dapat berbicara seperti itu, sebab ia bingung harus mengucapkan selamat tinggal seperti apa. Hanya itu yang bisa ia lakukan, dengan harapan bahwa Kanya akan mengerti maksud dari ucapannya. Meski dirinya tidak begitu yakin kalau perempuan itu bisa mengerti secepatnya. Bisa jadi adiknya itu baru mengerti ucapannya ketika ia telah tiada. Lalu Milano masuk, menghampiri orang tuanya dan meminta izin untuk mendonorkan ginjalnya untuk adiknya. Sebab ia juga membutuhkan tanda tangan dari kedua orang tuanya. Reta dan Artha sedang memijat pelipis mereka, sehabis mengusir Kanya kini Milano malah bertanya-tanya tentang Kanya yang berujung membuat laki-laki itu terlihat sangat marah. "Kalian kenapa biarin Kanya pergi gitu aja? Apalagi tadi aku liat dia nangis kenceng.” Milano merasa kesal sebab dunia Kanya terlalu menyedihkan, ia bahkan tidak sanggup jika saja harus berputar posisi. Sehingga, dalam kesempatan kali ini ia berharap dapat menjadi seseorang yang menjadikan Kanya manusia yang bisa berbahagia dalam umur panjangnya. Hanya itu, hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Artha mendongak tidak terima karena merasa di salahkan oleh Milano. "Dia yang pengen pergi, lagi pula dia sendiri yang jarang pulang dan kabur-kaburan. Dia itu perempuan, nggak baik bersifat kayak gitu." Tetapi Ayahnya itu lupa, bahwa dengan mengusir Kanya seperti tadi, bukan karena keinginan Kanya untuk berpergian dan jarang pulang kerumah. Kanya sakit, ia pergi karena perlu ke rumah sakit. "Dia kabur karena kalian sama sekali nggak peduli sama dia." Ada rasa yang sesak di dalam dadanya saat mengatakan hal tersebut. Sebetulnya, sebelum ia mengetahui fakta yang ada, ia juga tidak peduli kepada Kanya dalam hal apapun. membuat rasa bersalahnya semakin terjadi dan malah lebih parah lagi. Reta ikut menyambar, merasa bahwa Kanya memang melakukan tindakan yang salah karena pergi dari rumah tanpa kabar apapun dan begiitu pulang jarang sekali ada di rumah. "Loh kita tuh udah peduli, bayangin aja seminggu pergi dari rumah tanpa kabar, lebih baik dia keluar dari rumah ini sekalian." Mendengar hal itu membuat Milano kesal sekali. Tidak menyangka hal itu akan terdengar dari mulut mamanya. Milano melempar map putih dengan kencang di meja, berharap kedua orang tuanya memiliki setidaknya rasa bersalah karena telah memperlakukan Kanya seperti itu. "Liat. Apa itu yang namanya peduli?" dengan tatapan bingung Artha melihat map itu dan perlahan membukanya. Mulut mereka berdua terbuka lebar dan Artha yang meneteskan air mata tanpa sepengetahuan siapapun. "I-i-ini bener?" tanya Reta, tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia baca. Rasa bersalah langsung saja datang dan membuat dirinya sangat menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan kepada Kanya. apalagi Artha, jantung nya seolah berhenti berdetak dan merasa teriris saat membaca hal tersebut. "Itu fakta." jawab Milano tegas, seolah menegaskan kembali bahwa apa yang baru saja mereka baca adalah fakta. "Sebenarnya aku ngasih tau hal ini karena aku mau minta izin kalian untuk mendonorkan ginjal aku buat Kanya. Aku butuh tanda tangan kalian untuk itu." “HAH?” Reta dan Artha benar-benar syok dengan apa yang baru saja mereka dengar, kenyataan tentang Kanya yang sakit saja sudah bisa membuat mereka terkejut karena tidak mengetahui apa-apa. Lalu bagaimana dengan ini? Milano menginginkan untuk mendonorkan ginjal untuk adik perempuannya? Sepertinya kedua orang tuanya itu terkejut bukan main dalam satu waktu, ketika di serang oleh dua fakta secara bersamaan, tentu saja siapapun orangnya akan terkejut. Namun, ia yakin secepatnya memang mereka perlu tau. Sebab agar tidak ada lagi perlakuan yang tidak mengenakkan terjadi kepada Kanya. adik perempuannya itu… berhak untuk bahagia. "Kenapa kaget? Kalian ngizinin aku kan? Kalau ia ayo cepetan kerumah sakit, kita harus bertindak cepat." “Keadaan Kanya sangat parah?” “Sangat, mereka bahkan butuh waktu secepatnya buat cari pendonor ginjal. Karena memang penyakitnya udah separah itu.” “Tapi, Milano… ini bukan keputusan kecil.” “Keadaannya genting banget, Yah sekarang. Kita bahkan nggak bisa nunggu siapa yang bisa jadi pendonor ginjal buat waktu yang sesingkat ini. Makanya, aku mau ngajuin diri.” Lalu saat Milano ingin pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket. Bahunya ditahan oleh Artha. "Kamu serius? Ini bukan keputusan kecil. Ini tentang hidup dan mati." lirih Artha pelan, bahkan saat mengatakannya ia menunduk. Ia tahu Kanya butuh untuk di selamatkan dengan cepat. Namun, ia baru saja mengetahui hal itu, dan mendengar bahwa Milano akan mendonorkan ginjalnya tentu saja bukan sesuatu yang bisa ia terima dengan baik saat itu. ia butuh waktu, namun waktu terus berjalan detik demi detiknya. Membuat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti alur takdir semesta. "Aku udah paham resikonya, Yah. Kalau dibiarin aja, apa Ayah mau Kanya yang mati?" Artha menggeleng keras, pertanyaan itu jelas tidak akan pernah bisa ia jawab. Karena ia tidak pernah mau jika Kanya pergi dari hidupnya. Namun, sama halnya dengan hidup Milano, ia sama-sama tidak ingin kedua anaknya pergi dari hidupnya. "Ayah nggak mau kehilangan Kanya, begitu pun dengan kamu." Milano menghela nafas, berusaha ikhlas dan mencoba untuk menjelaskan kepada Ayahnya. "Ini emang seharusnya terjadi, Yah. Takdir mengarahkan aku buat ngelakuin hal ini. Selama ini Anya udah lama menahan penderitaan sendirian, dia berhak bahagia, Yah. Aku merasa bersalah banget atas perlakuan aku dulu ke Kanya dan ini satu-satunya cara untuk menebus kesalahan aku dan mengembalikan kebahagiaan Anya yang udah lama menghilang. Dan ini juga sebagai tanda kasih sayang kakak untuk adiknya." mata Artha berkaca-kaca mendengar hal itu, tidak pernah ia duga bahwa ternyata hubungan kakak adik di antara mereka berdua sangatlah seerat itu. Setelah mereka berdebat tentang keputusan yang sulit itu, mereka akhirnya setuju dan mereka segera kerumah sakit. Setelah Artha dan Reta menandatangani persetujuan, ginjal Milano di cek terlebih dahulu serta mengikuti beberapa proses prosedur rumah sakit lainnya. Karena mereka kakak-adik kandung, semua yang di cek sangat cocok. Dan saat ada info bahwa Kanya butuh ginjal saat ini juga. Milano langsung mengajukan diri untuk operasi secepatnya. Lalu Milano, Artha dan Reta terbang ke Singapore bersama Kanya. Tidak ada percakapan apapun selama perjalanan ke Singapore, yang ada hanyalah kebisuan. Sebelum Milano masuk dalam ruangan, Milano berpamitan dulu pada Artha dan Reta. "Ayah, makasih ya udah menjaga dan mendidik Lano sampai saat ini. Lano mau pamit nyusul yang lain. Oh iya, jagain Anya sama mama Reta ya untuk Lano ya? Nanti kalau Anya udah sadar dan tau kalau aku udah nggak ada, tolong sampaiin ke dia kalau aku sayang sama dia. Aku juga sayang Ayah sama Mama, jaga kesehatan ya Yah, Ma. Milano pamit dulu." Reta dan Artha langsung memeluk Milano erat untuk perpisahan. "Kami juga sayang sama kamu, Lano." bisik keduanya. Lalu, setelah selesai Milano masuk ke ruang operasi. *Flashback off* ***   Tatapan Kanya kosong dan pipinya lengket oleh air mata yang turun tanpa bisa dicegah dari tadi. Mulutnya tertutup, ia menangis dalam kebisuan. Kanya menggeleng lemah saat disodorkan bubur untuk sarapan. "Ayo makan sayang, supaya kamu cepat sembuh." Reta mengusap rambut Kanya pelan dan penuh kasih sayang. Lalu tangannya turun ke pipi Kanya dan mengelap air mata yang terus turun. Kanya membuang nafas kasar lalu memejamkan matanya dan menunduk membuat air matanya mengalir deras. "Kenapa orang yang aku sayang, meninggalkan Anya? Anya kesepian disini." Reta meletakkan mangkuk bubur di meja terdekat lalu memeluk Kanya dan berusaha untuk memberi kekuatan lewat pelukan tersebut. "Masih ada mama sama ayah, sayang. Kamu nggak sendirian." Kanya hanya diam tanpa membalas pelukan, Reta seperti memeluk patung yang bernafas saja. "Kalian berdua sayang aku?" tanya Kanya gamblang. Reta mengangguk tegas. "Kita sayang kamu sayang." "Kalau gitu, bawa aku ke indonesia untuk ngelayat ka Lano." ia menyesal menginginkan operasi di Singapore, membuat ia tidak bisa mengunjungi makam Milano secepatnya dan malah harus di sini terlebih dahulu sebab ia masih dalam kondisi pasca operasi. "Kamu belum sembuh, Nya. Seminggu lagi baru memungkinkan bisa pulang ke Indonesia." Reta mendengar percakapan antara Genta dan dokter di sini tadi, sehingga ia mengetahui informasi mengenai kapan Kanya bisa pulang. "Persetan sama sembuh, aku mau ngeliat makam ka Lano! Aku sama sekali nggak minta apapun, aku cuma mau ka Lano!" intonasi meninggi dan wajahnya memerah menahan amarah yang tidak tau akan dilampiaskan pada siapa. Reta mendekap bahu Kanya membuat mereka berdua berhadapan. "Mama ngomong sama Ayah dulu ya? Nanti kita usahain minta izin dokter." ucapnya lembut berusaha untuk menurunkan emosi Kanya, lalu Kanya mengangguk pelan. *** Esoknya, Kanya kembali ke Indonesia setelah mendapatkan izin dari dokter dan selanjutnya ia bisa berobat dirumah sakit manapun. Selama di pesawat Kanya hanya diam sambil menatap jendela. Bekali-kali ia mengusap air matanya turun, ia telah memcoba untuk tidak menangis namun air mata itu selalu saja turun tanpa tersetujuan Kanya. Entah apa yang dirasakan Kanya saat ini. Perasaannya seperti dicampur aduk antara sesak, sedih, kecewa, menyesal dan juga bahagia karena dirinya hampir sembuh. Air mata yang turun tanpa persetujuan menjadi saksi bahwa hatinya benar-benar kacau. Saat mereka bertiga yaitu Kanya, Artha dan Reta telah sampai di area pemakaman, Reta bertanya. "Mau kita temenin?" Kanya menggeleng pelan. "Nggak usah, Ma. Aku mau sendiri aja disana, kalian tunggu di mobil aja." Reta dan Artha mengangguk mengerti. Dengan canggung Kanya berjongkok tepat di makam Milano. Kanya ingin sendirian disini, agar bisa berkomunikasi secara langsung dengan Milano. Walau saat ini, Kanya sudah tidak bisa lagi melihat wujud Milano.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD