fiftieth

1522 Words
On Playlist— Embun di pagi buta Menebarkan bau asa Detik demi detik ku hitung Inikah saat ku pergi Oh tuhan ku cinta dia Berikanlah aku hidup Takkan ku sakiti dia Hukum aku bila terjadi Aku tak mudah mencintai Aku tak mudah mengaku ku cinta Aku tak mudah mengatakan Aku jatuh cinta Senandungku hanya untuk cinta Tirakatku hanya untuk engkau Tiada dusta sumpah ku cinta Sampai ku menutup mata Cintaku sampai ku menutup mata Oh tuhan ku cinta dia Berikanlah aku hidup Takkan ku sakiti dia Hukum aku bila terjadi Milano Arkine Arthamevia Didepan sebuah makam, yang Kanya tidak pernah sangka bahwa makam ii=ni adalah makam kakak laki-lakinya. Mengapa semua ini begitu cepat terjadi? Bahkan Kanya belum sempat untuk berbuat banyak kebaikan kepada Milano. Kanya mengelus pahatan nama itu, diiringi pula isakan tangis yang tertahan. "Kenapa ka Lano tinggalin aku sendirian?" suaranya serak karena menahan air mata, bagaimana pun juga ia tidak boleh menangis didepan makam Milano. Namun, terkadang ada sesuatu yang memang tidak bisa terkendali, salah satunya adalah tangisannya. Kanya menunduk menarik nafas dalam-dalam, untuk mengucapkan kata-kata yang sebelumnya tidak sempat terucapkan. "Makasih kak, atas semuanya, Kanya sedih sendirian disini, apa Kanya nyusul ka Lano aja ya? Ka Lano pasti disana nggak sendirian, ada Bunda, ka Dean, Bulan sama Karina. Aku sembuh ka, itu pun karena kakak. Seandainya aja kakak masih hidup, aku pasti bakal traktir kakak yang banyak. Sebenernya sih banyak banget yang mau Anya bicarain tapi nggak asik kalau aku yang ngomong sendirian, yang terpenting dari semuanya Kanya sayang ka Milano, kapan pun, dimana pun, bagaimana pun. Sampai ketemu nanti ya disurga, semoga kakak baik-baik aja. Karena kalau kakak baik-baik aja sudah pasti aku bakal baik-baik aja. Kak, mulai sekarang aku mau coba untuk nggak cengeng biar nggak kelihatan lemah dan aku bakal jaga ginjal ini sebaik mungkin, aku janji kak." lalu Kanya membaca alfatihah untuk Milano. Namun sepertinya, kata yang ia ucapkan masih belum bisa mengobati rasa rindunya kepada Milano. “Kak… aku rasanya kangen banget sama kakak. Ada nggak sih kak, kesempatan untuk kita bisa bertemu lagi? Aku pengen ucapin banyak terima kasih sama kakak. Aku selalu berpikir, kalo kemungkinan besar antara aku dan kak Milano, yang akan pergi duluan itu aku. Tapi ternyata bukan… kak Milano pergi lebih dulu dari aku.” “Aku bingung, kak. Harus gimana, aku pengen banget kita ketemu lagi. Aku janji bakal jadi adik perempuan yang baik buat kakak. Untuk seluruh kejadian di masa lalu, jauh sebelum ini aku udah maafin sejak lama. Makasih ya kak, atas segala hal. Kehadiran kakak dalam hidup aku bikin aku senang, walaupun kak Milano kan mulutnya kadang suka pedes, tapi ya nggak apa-apa… jujur aku nggak apa-apa. Kalau bisa di pilih, aku nggak apa-apa kalau semisal di marahin terus sama kakak, asal… asal kakak nggak pergi selamanya dari hidup aku.” Lalu setelah selesai ia berdiri lalu tersenyum menatap papan nisan bernama Milano dan melambaikan tangannya untuk perpisahan. “Aku pulang dulu ya, kak. Nanti aku bakal sering-sering berkunjung kesini kok.” Namun, saat Kanya sudah dua langkah berjalan seseorang memanggilnya. Sempat kenal dengan suara itu namun itu tidak mungkin Milano, kalau iya itu sungguh mengerikan. Ini adalah suara yang ia sangat hafal, suara… mantan pacarnya. "Kanya." Kanya menoleh ragu-ragu dan saat melihat wajah orang yang memanggilnya ia langsung mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahnya namun sayang, seseorang itu telah menarik tangannya untuk menatap. Wajah Kanya memerah, bukan blushing namun ini seperti semburat amarah yang tertahan. "Mau apa lagi?" tanya Kanya pelan, ia sedang tidak ingin bertemu dengan Raken saat ini. "Aku mau jelasin suatu hal sama kamu."  Raen mencoba mencari-cari keberadaan Kanya tadi, ternyata Kanya disini. Kanya menghempaskan kasar tangan itu. "Halah basi." "Nya, please. Aku mau ngejelasin hal yang belum kamu ketahui." Kanya bersedekap, kesal sebab selama ini ia sudah berhasil untuk melupakan Raken. Namun jika laki-laki itu muncul kembali dalam hidupnya. Ia bingung harus bersikap seperti apa untuk saat ini. "Nyesel? Basi lah, Ken. Makanya jangan nyimpulin sesuatu yang belum kamu ketahui secara pasti." Raken menunduk penuh penyesalan. "Sebenernya aku udah tau semua yang terjadi, aku paham semuanya. Aku juga tau kalau semua itu bukan salah kamu. Itu cuma pengalihan untuk lepasin kamu-" Tepukan tangan Kanya memotong ucapan Raken. "Hebat. Jadi yang kemaren cuma pengalihan? Buat apa? Situ ngerasa keren?" "Nya, aku juga tau soal penyakit kamu." Kanya langsung terdiam. "Aku ngelakuin itu semua supaya kamu nggak sedih-" "Kamu membuat aku lebih dari kata sedih, Ken." koreksi Kanya. "Aku ngelakuin itu semua karena aku nggak akan tinggal di Indonesia lagi. Minggu depan keluarga aku pindah." Kanya menyerit tanpa ingin bertanya kemana, tapi Raken sudah paham dengan raut wajah Kanya. "Pindah ke luar kota." Mendengar itu Kanya cukup terkejut, karena apa hubungannya Raken akan pindah ke luar kota dengan menyakitinya seperti kemarin-kemarin? Kalaupun pergi, seharusnya pilih luar negeri supaya benar-benar jauh dan membutuhkan waktu dan uang untuk pergi kesana. Kanya tersenyum pahit. "Yaudah sono gih pergi." batinnya berteriak kencang tidak terima atas ucapan Raken. Raken mengangguk mengerti, Kanya jelas saja pantas marah kepada dirinya. Siapapun akan marah jika di perlakukan seperti apa yang Raken lakukan kepada Kanya. "Maaf." Akhirnya, hanya satu kata itu yang dapat keluar dari mulutnya, padahal ada banyak kata yang perlu ia ucapkan untuk memperlurus masalah ini semua. "Aku udah maafin kamu jadi kamu bisa tenang pergi." "Apa kamu bakal baik-baik aja, Nya?" "Ada nggak nya kamu, aku bakal baik-baik aja." batinnya berteriak sebaliknya, namun itu hanya terpendam dalam hati tanpa mampu bibirnya terucap. "Udah kan gitu aja? Aku mau pulang, capek." Raken mengangguk lalu Kanya membalikkan badan meninggalkan Raken. "Jaga kesehatan ya, Nya." membuat langkah Kanya terhenti. 'Kamu juga, Ken.' batinnya, namun tertahan ditenggorokan. Tanpa mau menjawab, Kanya melanjutkan langkahnya tanpa menoleh kebelakang. Mungkin akan lebih baik begini saja, tidak perlu berbaikan untuk saat ini sebab mau bagaimanapun… mereka lebih baik begini saja. Agar tidak ada yang saling menyakiti lagi. *** Saat sampai di kamar, Kanya menangis dan menjerit sekuat-kuatnya. Untung saja kamarnya kedap suara jadi dia bisa sepuasnya berteriak tanpa khawatir ada yang mendengar. Tangannya mencengkram keras figura foto Raken. "Kenapa kamu jahat, Ken?" Lalu ia memeluk figura foto Raken erat-erat sambil menangis hebat. Batinnya berteriak kencang. 'Perpisahan apalagi ini Tuhan?' Kanya sebetulnya tidak kuat dengan segala ujian yang terjadi di dalam hidupnya, namun apa boleh buat. Ia tidak bisa memaksa seluruh alur cerita hidupnya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Namun, jujur saja ujiannya sangat berat. Ia tidak sanggup untuk menahan semuanya. *** Tangannya menyender pada pagar balkon kamarnya, matanya memandang pemandangan taman komplek yang berisi anak-anak bermain. Ingin rasanya balik ke masa dimana kita tidak tau apa itu definisi "masalah" yang kita tau hanya makan, main dan tidur. Ketawa haha-hihi tanpa harus tau apa alasannya, hari-hari terisi dengan jutaan kebahagiaan yang sederhana. Hanya bercanda, bermain sepeda, kejar-kejaran, main petak umpet dan hal lainnya yang menyenangkan. I'm alone here, they leave me alone. Rasanya nangis pun percuma. Hanya membuat mata bengkak dan hidung menyumbat, terlebih lagi jika d**a sesak. Sungguh menyulitkan. Ia tidak begitu paham akan makna perpisahan namun baginya perpisahan bukanlah penutup cerita, perpisahan adalah awal dari pertemuan. Entah apa yang akan direncanakan Tuhan untuk kehidupannya nantinya. Tau lagu Que sera-sera? Whatever will be, will be? Kanya paham akan makna dari lagu itu. Apapun yang terjadi maka terjadilah! Masa depan bukan untuk kita lihat,  biarlah dia mengalir apa adanya. Tugas manusia adalah berusaha dan berdoa, namun Tuhan jualah yang menentukan akhir segalanya. Hidup seperti roda yang berputar, kadang di bawah dan kadang di atas. Langitmu akan berwarna biru cerah ketika hidup penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Namun kadang langit berawan hitam kelam, ketika hidup penuh tangisan dan menyedihkan. Layaknya badai yang tidak terlihat, namun mengporakporandakan. Satu hal yang perlu diingat adalah setiap hujan lebat usai, kau bisa melihat pelangi walau tak setiap hari. I understand, think of the past as a lesson, not an escape. Life doesn't stop only at this point. A bright future awaits and I make sure I will pursue that future, but whatever happens, it happens. Kanya tidak sedang berada di pinggir jurang, ia hanya sedang berada di tengah-tengah pulau kecil hamparan laut samudra. Ia hanya tinggal memilih antara tetap berada dipulau kecil itu atau berenang menuju tempat dimana kehidupan berada. Stay or fight? Itu bukan pilihan sulit bagi seseorang yang tidak ditinggal oleh orang-orang yang ia sayang. Tapi itu sangat sulit jika diperuntukan untuk gadis bernama Kanya. Pikiran dan hati selalu berbenturan, satu kesana satu kesini, tidak sinkron. But, whatever will be, will be. Kanya keluar dari rumahnya dan berjalan menuju taman. Tempat dimana Raken mengakhiri semuanya. Berdiri lemas sambil memandang nanar taman itu, semuanya telah terjadi. Tidak lambat dan tidak cepat, semua terjadi tanpa bisa diprediksikan. Kakinya terus melangkahkan jalan setapak taman yang dihiasi oleh lampu-lampu taman yang indah. Tanpa disadari oleh Kanya, Raken mengikutinya dari belakang. Ia memakai celana jeans dan jaket hitam yang menutupi kepalanya. Berjalan tanpa ada keinginan untuk menoleh sedikit ke belakang, Kanya jalan dengan pelan dan memandang lurus jalan setapak. Raken mengikutinya pelan-pelan tanpa ada keinginan untuk sekedar memanggil nama Kanya. Sungguh, Raken bukan ingin menjadi penguntit atau apapun itu. Ia hanya ingin, melihat Kanya untuk yang terakhir kalinya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD