fourty seventh tale

1816 Words
Genta begitu panic saat Kanya tiba-tiba pulang dengan keadaan kondisinya yang sangat parah sampai membuat Kanya kehilangan kesadaran. Sebelum Kanya izin untuk pergi hari itu, Genta merasa sudah khawatir sejak awal. Bahkan sepanjang menunggu Kanya pulang, ia mondar-mandir melihat ke arah jendela berharap bahwa anak perempuan itu pulang dalam keadaan yang sehat. Namun, terkadang takdir sering berkata lain. Kanya pulang dengan kondisi yang paling parah. Bahkan ia langsung membawa Kanya ke rumah sakit, agar pertolongan dapat segera dilakukan. Ia panik sekali dan membuat dirinya lari menuju ruangan teman kerjanya untuk menanyakan sesuatu hal terkait bagaimana kelangsungan hidup Kanya setelah ini. Sebab Kanya benar-benar membutuhkan sosok pendonor ginjal agar dirinya bisa kembali pulih. Namun, hal itu harus di temukan secara cepat. Sebab usia tidak pernah tau kapan akan berakhir. Sehingga dalam kasus ini, harus di temukan lebih cepat. "Yas, gimana nih? Kita butuh pendonor ginjal dalam waktu dua jam. Apa udah ada pendonornya?" tanya Genta pada Tyas, partner kerjanya di sini. Genta sibuk memandangi jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya, menatap detik yang bergerak dan berharap bahwa sebentar saja ia dapat menghentikan waktu agar Kanya bisa bertahan lebih lama lagi. Sungguh, ia tidak siap jika Kanya akan segera pergi dari dunia ini. Ia tidak siap. Tyas mengecek surat dokumen yang baru saja akan ia sampaikan pada Genta, namun karena laki-laki itu tipikal yang tidak sabaran, tentu saja lebih cepat datang kesini terlebih dahulu dari pada menunggu Tyas menghampirinya. "Tadi siang, ada seorang pendonor yang mau donorin ginjalnya buat Kanya. Saya nggak tau siapa, namun kelihatannya dia mengenal Kanya." lalu mengecek lebih detail lagi dan mencari tau apakah seseorang ini memang betul-betul mengenal Kanya. "Bahkan dia donorin kedua ginjalnya. Dia juga udah tanda tangan di dokumen ini bahwa dia mau mendonorkan ginjalnya atas kemauan dirinya sendiri tanpa paksaan dari orang lain, dan kedua orang tuanya pun telah menanda tangani ini." Tyas agak bingung sebab jarang ada seseorang seperti ini, atau mungkin ini memang petunjuk dari Tuhan bahwa Kanya di izinkan untuk tinggal di bumi lebih lama. "Apa udah di cek? Cocok dengan tubuh Kanya?" Genta akan selalu bertanya lebih detail tentang apa yang akan di lakukan demi Kanya sembuh. "Kita udah cek dan hasilnya cocok." Ucap Tyas sambil memeriksa dokumen lain yang menegaskan bahwa hasil dari tes yang dilakukan oleh pendonor cocok dengan tubuh Kanya. yang lagi-lagi membuat bingung, sebab semuanya terjadi sangat mulus untuk Kanya. Disaat pasien lain sangat kesulitan untuk mencari pendonor ginjal. Kanya justru mendapatkan pendonor yang rela untuk mendonorkan kedua ginjalnya dan juga… hasil tes nya cocok. "Ok, siapin segala persiapan ya. Sesuai pesan dari pasien, dia mau operasi di Singapore." Genta masih mengingat pesan Kanya bahwa ia ingin di operasi di Singapore. Tentu saja Genta akan mengabulkan hal tersebut. Apapun demi Kanya, apapun demi perempuan itu. "Baik." *** Singapore. Begitu banyak yang perlu di persiapkan sebab untuk melakukan operasi di luar negeri, Kanya perlu mempersiapkan diri. Untung saja ada Genta yang akan selalu menemani dan membantu dirinya dalam mempersiapkan seluruh keperluan yang perlu ia bawa kesana. Butuh waktu yang lama untuk mereka dapat segera kesana, apalagi dalam pengurusan administrasi yang tidaklah mudah. Tetapi, karena ini adalah salah satu permintaan Kanya, Genta berusaha keras untuk mengabulkan semuanya. Ia bahkan berusaha dengan sangat keras agar Kanya bisa melaksanakan operasi di luar negeri, walaupun untuk melaksanakan operasi di luar negeri bukanlah tindakan yang mudah dan dapat dengan cepat. Tetapi apapun, untuk Kanya.. Genta akan berusaha keras. Operasi berjalan dengan lancar namun sampai saat ini Kanya belum sadar. Kesadaran Kanya adalah satu-satunya yang sangat mereka tunggu saat ini. Karena kesadaran Kanya adalah sebuah bentuk yang menunjukkan bahwa operasinya dapat berjalan dengan baik. Genta, serta pada dokter dari rumah sakit terbaik di Singapore terus berdoa agar operasinya berhasil. Genta menggenggam tangan Kanya dengan erat, sembari merapalkan doa, ia mengelus-elus rambut Kanya. Apapun yang terjadi saat Kanya sadar, Genta yakin ini jalan terbaik buat Kanya. Genta yakin, Kanya pasti akan sedih dengan kenyataan yang akan terjadi, namun apa boleh buat… ini bukan keputusan dirinya. Dirinya hanya membantu agar seluruh proses ini dapat berjalan dengan lancar. Hal terbaik memang butuh pengorbanan. Ini sudah takdir yang diberikan oleh tuhan kepada Kanya sejak lahir. Dan takdir tidak bisa diubah. Namun, Genta berharap Kanya bisa menerima semua ini dengan baik dan mengikhlaskan segalanya. Sebab dari seluruh kejadian yang telah terjadi pada hidup perempuan itu, sudah termasuk dalam takdir yang harus ia jalani. Walau terkadang, takdir tidak selalu baik, namun terkadang memiliki alasan tertentu mengapa semua itu terjadi di dalam hidupnya. Jika jawabannya tidak bisa di temukan saat ini, kemungkinan nanti. Yang pasti, jawaban itu akan terjawab entah kapan. Suara ketukan dari pintu kamar rumah sakit membuat Genta beranjak dari sana. Membuka pintu, lalu terdiam sesaat. Kedua orang tua Kanya. Berdiri di depan pintu dengan perasaan yang sangat khawatir, bahkan Reta, terlihat dari matanya, wanita itu habis menangis dengan waktu yang sangat lama. Ada banyak penyesalan dan rasa bersalah yang mereka rasakan kepada Kanya. "Kakak ipar, operasinya lancar." Genta mengabarkan hal itu, sebab mereka pasti menunggu kabar baik dari anak perempuannya. “Tapi sampai sekarang, belum sadar. Mohon doanya ya supaya Kanya bisa cepat sadar.” “Pasti.” Artha mengangguk yang kemudian di susul oleh Reta yang tidak henti-hentinya berdoa dalam hati atas kesadaran Kanya saat ini. Artha mengangguk tanpa ekspresi, sedangkan Reta sedari tadi telah menangis se-senggukan, bibirnya seakan kelu hanya untuk menyapa anak tirinya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Semuanya terlalu cepat terjadi dan mereka semua belum siap akan perpisahan. Perpisahan memanglah tiba-tiba, tanpa prediksi dan pastinya sangatlah menyakitkan. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa selama ini Kanya sakit dan bahkan ada seseorang yang rela berkorban demi kesembuhan Kanya. Agar Kanya tetap hidup dan bisa menikmati hari-hari yang baik. Banyak sekali rasa bersalah yang di rasa oleh Reta dan juga Artha. Apalagi saat mereka mengusir Kanya dari rumah, merupakan sesuatu hal yang sangat kejam dan bahkan mereka tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Artha berjalan kaku menuju keberadaan Kanya terbaring, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Kanya. Namun, ia urungkan lalu meluruhkan tubuhnya kelantai dan menangis dalam diam dengan penuh penyesalan. Ia gagal menjadi Ayah. Itu yang ia rasakan, ia telah gagal menjaga putrinya. Putrinya yang ia kira kuat dan tegar, kini baru saja melewati operasi yang pastinya sangat sakit. Tangannya mencengkram d**a kirinya sendiri, tepat di atas jantungnya. Reta yang melihat itu langsung menangis tanpa henti dengan Genta yang susah payah menepuk bahu istri kakak iparnya. Entah karena kebisingan atau dia memang ditakdirkan untuk segera sadar. Kanya membuka matanya perlahan, membuat Genta segera menekan bel untuk memanggil dokter. Saat dokter datang, mereka dipersilahkan untuk keluar dari kamar untuk memeriksa keadaan Kanya. Walaupun tidak bisa dilihat oleh siapapun, garis bibir Kanya sedikit melengkung, ia tersenyum melihat keduanya datang kesini. Selesai di periksa dokter pun keluar. "Bagaimana dok keadaannya?" tanya Genta saat melihat dokter keluar, berharap bahwa keadaan yang ia dengar adalah keadaan yang baik. Sebab hanya itu yang ia pinta selama ini. “Keadaannya sekarang sangat baik, kalian boleh ke dalam tapi jangan terlalu ajak Kanya ngobrol lama-lama ya." Pesan dokter tersebut sebab untuk berbicara banyak sepertinya Kanya masih belum bisa. “Baik dok, terima kasih atas informasinya.” lalu mereka bertiga langsung masuk ke dalam, merasa sangat ingin meminta maaf yang sangat banyak sebab rasa bersalah yang kian menambah begitu melihat Kanya secara langsung disini. Artha dan Reta yang berdiam diri ditengah pintu membuat Kanya berbicara, sangat pelan dan terdengar serak. "Ayah, mama, sini." Kanya merasa sangat sedang atas kehadiran mereka berdua, tidak pernah terbayangkan oleh dirinya bahwa akan melihat kedua orang tuanya menjenguknya setelah ia melakukan operasi. Dengan kaki gemetar Artha memberanikan diri untuk berjalan pada Kanya, ia duduk di samping Kanya. Lalu Reta mengikuti. Tangan lemas Kanya perlahan terulur untuk menyentuh tangan Ayahnya, Kanya mengelusnya pelan. "Aku seneng, Ayah kesini." lalu mengalihkan pandangannya pada Reta. “Mama, jangan nangis. Aku udah sembuh." Mendengar itu, Artha tidak kuat lagi untuk tidak memeluk Kanya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang ini sama Ayah nak?" bisik Artha penuh penyesalan. Melihat itu, yang bisa Reta lakukan hanya menangis. Lalu setelah Artha melepaskan pelukannya, Kanya tersenyum. "Aku pernah kok bilang ke Ayah." membuat Artha menyerit, ia yakin Kanya tidak pernah bilang padanya. "Tapi nggak pernah kesampaian." lalu Kanya menceritakan hal yang terjadi pada setahun lalu. Hal yang terjadi setelah Dean meninggal. *Flashback on* Dengan tangan kiri yang masih ada kain kassa untuk menutupi bekas jarum infus serta ginjal kanan yang terjait karena ia telah melakukan operasi ginjal diusia dini. Seharusnya ini tidak terjadi karena anak di bawah tujuh belas tahun dilarang melakukan operasi. Namun, setelah melakukan segala cek kesehatan. Ia diperbolehkan untuk mendonorkan ginjalnya. Namun, ginjal yang ia donorkan tidak bermanfaat bagi si pasien. Ginjal itu tidak cocok pada tubuh pasien, yang tidak lain adalah Dean. Namun, Kanya tidak merasa menyesal sama sekali. Ia lebih menyesal jika ia tidak melakukan sesuatu saat pacar kakaknya sedang kesakitan menghadapi takdir. Seminggu ia berada dirumah sakit untuk menjalankan proses penyembuhan. Saat ini ia pulang ke rumah, dan ia tidak tau apa yang terjadi disini. Kanya memegang dokumen erat-erat, dokumen yang berisi tentang jenis penyakitnya. Ia pikir, tidak akan terjadi apa-apa jika ia hanya hidup dengan satu ginjal tapi dugaannya salah. Keputusan yang tidak ia pikirkan kedepannya menjadi malapetaka untuknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, sanggup tidak sanggup. Ia harus bisa bertahan dan sebaik mungkin menjaga kesehatan, menjaga pola makannya yang sehat. Walau ia harus susah payah menjauhi junk food dan soda kesukaannya. Kanya melangkahkan kakinya masuk ke rumahnya. Lalu beranjak ke ruang kerja Ayahnya, diketuk pintunya sebanyak tiga kali. Tok tok tok "Masuk." lalu Kanya membuka pintu dan masuk kedalam ruangan. Terlihat Artha yang sibuk dengan tangan kirinya memegang telfon serta tangan kanannya yang menandatangani dokumen yang entah apa isinya, "Ayah," panggil Kanya lalu terlihat isyarat tangan dari Artha yang menyuruhnya untuk diam. Lalu Kanya menunggu didepan pintu, menunggu Ayahnya selesai menelfon. Namun saat Artha memutuskan panggilan ia beranjak keluar, melewati Kanya yang ingin mengasih tau soal dirinya. Artha melintas begitu saja keluar tanpa memperdulikan Kanya. Lalu Kanya tersenyum getir sambil memandang dokumen itu dan ia keluar untuk beranjak ke kamarnya. Namun saat ia melangkahkan kakinya ke anak tangga, ia mendengar suara gedebak-gedebuk dari pintu utama. Membuatnya menoleh lalu terkejut melihatnya. Milano yang baru saja datang dengan keadaan mabuk, dengan membawa gelas serta botol minuman terlarang yang ia bawa. Hati Kanya tergores melihat itu, keadaan kakaknya sangatlah mengenaskan. Ditinggal oleh pacar yang sangat Milano sayangi ke alam yang berbeda membuatnya membenci akan takdir. Kanya lari menghampiri Milano, namun selangkah lagi ia mendekati Milano. Milano dengan keras membanting gelas dan botol itu di hadapan Kanya, dengan mata memerah Milano. "Lo penyebab Dean meninggal! Mati sono lo anjir!" Kanya memejamkan matanya erat-erat saat merasakan pecahan beling menabrak tulang kering kakinya. Memejam takut tanpa berani membuka mata. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk tidak memberi tau siapapun tentang penyakitnya. Ia telan sendiri apa yang dideritanya, ia menjalani semuanya sendirian. Tanpa bantuan ataupun belas kasihan dari siapapun. *Flashback off*  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD