fourty sixth tale

1813 Words
Sudah lama ia menunggu disini namun kehadiran Raken tetap nihil. Sejak siang saat matahari tepat berada di atas kepalanya, menunggu sendirian disini, sampai pada matahari itu mulai terbenam dan memperlihatkan senja yang begitu indahnya. Bahkan saat hujan turun pun, Kanya masih tetap menunggu disini. Kanya selalu berharap bahwa Raken akan datang kepadanya, meski itu membutuhkan waktu yang lumayan lama. Tetapi iya yakin, Raken akan datang. Mungkin, pikiran itu tidak bisa bertahan lebih lama dari ini. Sebab Kanya mulai lelah, ia menyerah untuk tetap menunggu. Sebetulnya jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia masih semangat untuk emnunggu Raken. Bahkan jika laki-laki itu baru akan datang saat pagi hari, ia tetap akan disini menunggunya. Namun, tubuhnya tidak singkron dengan keadaan hatinya. Apalagi saat ini ia sangat lemah, bahkan ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tubuhnya, samar-samar ia rasakan bahkan ia merasa mengambang dengan tubuhnya sendiri. Seperti jalan di atas awan, Kanya berjalan dengan lunglai sebab dirinya merasa sangat lemah bahkan hanya untuk berjalan kaki disini. Dengan mata sembab menahan air mata, ia tidak akan menangis untuk kali ini. Rasanya sia-sia jika ia menangis tanpa ada yang menemani. Apalagi jika menangis saat kondisi yang seperti ini, keadannya akan menjadi benar-benar menyedihkan sekali. Kanya dengan semponyongan, berjalan pergi dari sana. Benar-benar tidak bisa jika ia memaksa untuk tetap menunggu disini. Raken bahkan tidak membalas satu pun pesan darinya. Sungguh miris, ia menunggu sejak lama padahal. "Kanya." Langkahnya berhenti ketika ia sudah bertekad untuk pergi dari sana, menahan nafas mendengar panggilan itu, ia hafal suara itu, suara yang ia tunggu… Raken akhirnya datang. Kanya menoleh dan membalikkan badannya, mungkin wajahnya sudah tidak berbentuk lagi dan pastinya sudah tidak enak untuk dipandang. Sudah kucal, menahan tangisan dan juga rasa sakit yang sudah tidak bisa di jelaskan lagi seberapa sakitnya. "Akhirnya kamu datang, Ken." Kanya mengeluarkan suara, walaupun suaranya serak karena sedari siang ia tidak minum air putih, hal yang seharusnya wajib dilakukan setiap setengah jam namun Kanya mengabaikan kewajiban itu. Ada perasaan senang saat melihat kehadiran Raken saat ini, namun dari pada saat itu rasa kekecewaannya entah kenapa muncul tiba-tiba. Apalagi saat Raken terlihat sangat terpaksa datang kesini, padahal ia hanya meminta sedikit waktunya saja. Raken mengangguk kecil, mengecek jam tangan di pergelangan tangannya. “Udah lama ya disini?” Tanya Raken apalagi saat melihat Kanya yang begitu acak-acakan. Sebab dari tadi hujan, beberapa bagian dari baju Kanya terlihat seperti terkena rintik tetesan hujan. Jujur saja, melihat kondisi yang seperti ini membuat Raken menjadi tidak enak. “Nggak kok, nggak terlalu lama.” Kanya jelas berbohong, ia sangat lama menunggu Raken disini, bahkan tidak semua perempuan akan sekuat dirinya. Apalagi pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu seseorang yang tak kunjung datang. “Maaf ya nggak ngabarin kalo datang telat.” Setidaknya, setelah sekian lamanya Kanya menunggu, rasa penantian itu seketika hilang saat mendengar permintaan maaf langsung dari sang empunya. Kanya sangat lemah bukan? Bisa semudah itu memaafkan seseorang yang sebenarnya belum tentu benar-benar menyesal. "Mau ngomong apa? Maaf banget waktu aku nggak banyak, aku harus jaga Raya yang masih koma dirumah sakit." Alasan ia telat untuk datang kesini salah satunya adalah menjaga Raya. Selain itu ia juga perang batin sedari tadi antara pergi menemui Kanya atau tetap pada pendiriannya yang tidak ingin menemui perempuan itu sama sekali. Namun jika di pikir-pikir ulang, mereka berdua memang perlu untuk berbicara. Sehingga Raken memutuskan untuk pergi kesini menemui Kanya. ia merasa sangat bersalah karena sudah membiarkan perempuan itu menunggu sangat lama disini. Ia yakin Kanya sudah berada disini sejak tadi siang. Lipstick yang dioleskan ke bibir Kanya tadi pagi, sudah luntur. Kini bibir pucatnya tersenyum tipis. Terlihat sekali bahwa Kanya sedang menahan rasa sakit, namun karena Raken ada disini, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk membicarakan hal yang ingin sekali ia bicarakan. "Soal Raya, aku minta maaf banget. Aku lalai menjaga mobil aku sendiri hingga di pakai oleh orang lain untuk melakukan hal yang nggak sewajarnya." Jujur walaupun Kanya bingung, mengapa semua harus terjadi kepadanya. Apalagi saat mobilnya yang menjadi kambing hitam atas di ujung perpisahan hubungan mereka berdua. Kanya sudah memiliki feeling bahwa sejak awal. Bisa jadi, ini adalah terakhir kalinya mereka akan bertemu. "Ya. Kamu lalai, dan kelalaian kamu itu hampir membuat nyawa seorang anak kecil yang sama sekali nggak bersalah hilang. Apa kamu sadar?" raut wajah Raken yang datar, membuat Kanya tersenyum kecut. Tidak menyangka bahwa Raken benar-benar membawa masalah ini ke arah yang sangat serius, dan ia sangat kecewa akan hal itu karena membuat dirinya merasa sangat bersalah banyak. Mata sembab Kanya menatap mata Raken, ia tetap harus meminta maaf. Walaupun kejadiaan ini terjadi bukan karena kesalahannya serratus persen melainkan ada beberapa oknum yang memang sengaja menjadikan hal ini menjadi kejadiaan yang sangat tragis. "Sadar. Dan saat aku nyadar, semuanya udah terlambat. Raya udah terlanjur ditabrak dan aku nggak bisa berbuat apa-apa." ucap Kanya pelan, teringat ketika ia bahkan tidak bisa mengunjungi Raya dan hal itu membuat dirinya sedih. "Kamu maafin aku kan?" pintanya, agar semua bisa berakhir saling memaafkan. Raken menghela nafas, entah mengapa ia tidak bisa memaafkan Kanya begitu saja. "Meskipun kepolisian mengatakan bahwa kamu nggak bersalah, aku masih percaya sama video dari CCTV itu, entah kenapa. Aku ngerasa, semua itu nggak akan terjadi kalau nggak ada kaitannya sama kamu." Semua memang bukan salah Kanya, tapi itu semua tidak akan terjadi jika bukan karena Kanya menurut Raken dalam pikirannya. Kanya mengangguk pelan, bingung harus menjelaskan dengan cara apalagi agar Raken percaya kepadanya dan memberikan dirinya kesempatan untuk bisa membuktikan semuanya, bahwa seluruh hal negative yang ada pada pikiran Raken tidaklah benar. "Kamu percaya atau nggak, aku nggak berhak ikut campur. Ya memang itu semua ada kaitannya sama aku, tapi bukan aku yang berkaitan langsung. Ini rumit, apa kamu belum mengerti inti permasalahannya dimana?" Raken menggeleng, ia sudah terlanjur rumit sampai-sampai ia sama sekali tidak berminat untuk sekedar mencoba untuk mengerti. "Aku nggak butuh mengerti inti masalahnya apa, yang jelas. Kejadian ini membuat aku paham, kejadian yang bergulir, bikin aku sadar. Dean, Bunda kamu, sekarang adik aku yang terbaring dirumah sakit. Apa adik aku bakal mati gara-gara kamu, Nya?" Kanya menggeleng tidak percaya dengan ucapan Raken, ia tidak pernah menyangka bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Raken sendiri. "Kalau kamu nggak mengerti inti permasalahannya, kenapa dengan mudahnya kamu nyimpulin sesuatu?" Raken mengedarkan pandangannya ke arah selain wajah Kanya. "Aku nyimpulin sesuatu yang aku anggap bener, apa itu salah?" nadanya agak meninggi membuat Kanya meringis, usahanya benar-benar sia-sia, Raken seperti tidak punya cela untuk mendengar kebenaran atau sekedar mencari tau kebenaran yang ada. "Seseorang dengan mudahnya menyimpulkan sesuatu tanpa mau tau kebenarannya. Dan orang itu menganggap apa yang ia simpulkan itu benar adanya. Padahal, kesimpulannya itu sangat bertentangan dengan fakta. Kamu sadar nggak sih, Ken? Tindakan kamu ini nyakitin hati. Termasuk hati aku." kesal Kanya menunjuk dadanya tepat di atas hatinya, ia masih tidak habis pikir bahwa setelah segala usaha yang sudah ia lakukan masih saja terlihat salah di mata Raken. Dan jujur saja, ia merasa sangat sakit dan nyesak di d**a. Raken menoleh, namun tidak menoleh sepenuhnya. Hanya sekedar mendengarkan lebih dalam, lalu ia terlihat tersenyum sinis. "Semua orang berhak mengeluarkan opini, peduli apa kalau itu bertentangan dengan fakta? Nyatanya kalau aku nganggap itu bener, fakta bisa apa?" Kanya menunduk tertawa parau, benar-benar merasa kecewa dengan perilaku Raken yang seperti ini. "Jadi, saat ini pun. Kamu masih nggak percaya sama aku?" suaranya serak menahan tangis. Raken mengangguk layaknya tidak berdosa. "Menjauh, Nya. Dari aku." Menjauh bukan suatu masalah besar, tetapi tidak bisa mempercayai lagi adalah suatu kekecewaan yang sangatlah besar dan terasa sangat sakit. Pernyataan itu membuat Kanya mendongakkan kepalanya lalu tersenyum tipis. "Ken, tujuan aku kesini emang buat pamit. Aku mau pamit pergi dari sini." "Kebetulan kalau gitu. Aku mau kamu menjauh, kamu mau pergi. Lebih baik hubungan kita berenti sampai sini, right?" mata Kanya yang sayu kini terbuka lebar-lebar, nafasnya tercekat mendengar itu. Tepat seperti dugaannya, ini memang akan menjadi terakhir kali mereka bertemu. Kanya menunduk, membuang nafasnya sedikit-sedikit lalu tertawa parau. Berusaha menghembuskan nafasnya agar air matanya tidak jatuh keluar. "Jadi, aku mau pergi. Kamu nggak nahan aku untuk tetap tinggal sedikit pun?" lalu Kanya menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Padahal, kalau kamu nahan aku. Aku nggak bakal pergi, Ken." Raken melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Kanya, tangannya terulur untuk menarik Kanya kedalam dadanya. Kanya tidak menolak sedikit pun, rasanya untuk menolak memerlukan tenaga, tenaganya sudah tinggal beberapa watt lagi. Tubuh Kanya yang lemah masuk kedalam dekapan Raken. Beberapa menit mereka diam, sampai Raken membisikkan sesuatu tepat di telinga Kanya. "Maaf, aku nggak bisa nahan kamu." mendengar itu, Kanya terisak kencang. Air mata yang sedari ia tahan, tumpah di dalam pelukan Raken. Tangannya memukul d**a Raken namun Raken tidak merasa kesakitan sedikit pun. Karena, Kanya memukul dengan lunglai, dengan kekuatan yang menipis. Raken melepaskan pelukan itu, lalu Kanya mundur selangkah dan menundukkan kepalanya. Bahunya bergetar hebat, ia menangis, pertahanannya hancur, lagi-lagi ia menangis di hadapan Raken. Raken maju lagi selangkah, jemarinya mengangkat dagu Kanya untuk mendongak. Kanya yang tidak ada tenaga pun seolah menuruti gerak tangan Raken. Tangis Kanya berhenti saat merasakan sesuatu menempel di bibirnya. Saat Kanya membuka matanya, ia melihat air mata turun dari kedua mata Raken. Hatinya terasa sesak, terasa bibir Raken yang ikut bergetar di bibir Kanya. Membuat matanya terpejam lagi, membalas kecupan Raken. Penuh air mata yang menyesakkan d**a. Dengan itu, mereka menyampaikan perasaan yang tidak akan pernah bisa terucap lewat kata. Malam ini, untuk pertama kalinya atau mungkin akan jadi yang terakhir kalinya mereka berciuman. Karena berbeda pola pikir, membuat mereka harus berhenti, berhenti sampai titik ini. Cinta tidak semudah terucap dalam kata, cinta yang mendalam akan terucap dalam tindakan. Memutuskan tali hubungan bukan berarti memberhentikan perasaan. Jika memang mereka ditakdirkan untuk bersama, mereka yakin. Mereka akan di pertemukan lagi suatu hari nanti, entah kapan. Jika mereka memang tidak di takdirkan untuk bersama, selalu ada kebetulan yang mempertemukan mereka kembali untuk bersama. Untuk Raken, Pria yang akan selalu menjadi alasan dari garis lengkungan senyumanku, Aku pamit, Untuk pulang. *** Mendengar suara bel rumahnya, Genta langsung lari menuju pintu. Ia yakin, itu pasti Kanya. Setelah dibuka, benar saja, itu Kanya. Dengan wajah pucat, mata sembab, hidung merah dan bibir yang cenderung berwarna biru. Bagaimana tidak, ia tidak meminum air putih untuk menjaga ginjalnya. Tenggorokannya pun sudah dipastikan kering, apalagi perjalanannya ke rumah Genta ia habiskan untuk menangis. "Kanya, kamu dari mana aja? Kamu baru selesai cuci darah. Wajah kamu kenapa? Kamu abis dari mana-" Ucapan Genta terpotong saat melihat Kanya ambruk didepannya. Hidungnya mengeluarkan darah segar yang mengalir deras, sebagai dokter Genta yakin ini bukanlah pertanda baik. Dengan panik ia menelfon ambulance, serta memberikan pertolongan pertama. Seumur-umur Genta menjadi seorang dokter, dia tidak pernah khawatir dan sepanik saat ini. Ia selalu professional saat menjalankan tugas, namun saat ini ia benar-benar seperti orang yang hilang arah dan bingung harus melakukan apa. Lalu sekitar dua puluh menit ambulance pun datang dan Genta segera membawa Kanya ke rumah sakit. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD