fourty fifth tale

2186 Words
Saat kondisi Kanya sedikit membaik, Kanya memohon pada Genta untuk pulang, untuk sekedar melihat keadaan rumahnya. Apalagi sudah berhari-hari ia pergi dari rumah tanpa kabar apapun. Padahal kondisinya belum begitu membaik, namun Kanya bersikeras untuk pulang kerumah, selain karena ia tidak betah berada dirumah, ia juga ingin tidur dirumah. Sebab rumah sakit sangat tidak enak dan dirinya merindukan rumahnya. Kanya sebetulnya tidak benar-benar merindukan rumah, melainkan isi dari rumah itu. meskipun orang-orang di rumahnya itu terkadang menunjukkan bahwa tidak peduli kepadanya, ia merasa tetap memiliki ruang tersendiri untuk menyayangi keberadaan mereka. Sebab kita tidak pernah tahu, kapan kita bisa punya kesempatan untuk melihat mereka lagi. Apalagi di kondisinya yang seperti ini, Kanya bahkan tidak tahu usianya akan sampai kapan, dokter pun tidak pernah bisa memprediksi kapan tepatnya walau tetap berusaha yang terbaik untuk kesembuhan dirinya. Selama belum ada pendonor ginjal, hidup Kanya masih lah tidak ada yang tahu dapat bertahan sampai kapan. Maka dari itu, Kanya tidak mau mensia-siakan waktu yang ada. Selagi Kanya masih bisa dan mampu mengunjungi mereka, Kanya ingin melakukan itu setiap ia ada waktu luang. “Kanya, kamu yakin? Kondisi kamu sekarang masih perlu pengawasan dari dokter loh. Bahaya kalo kamu maksain diri buat pulang.” Genta begitu khawatir, takut sekali jika perempuan itu mengalami kejadian seperti kemarin, dimana terjatuh pingsan secara mendadak. Untung saja waktu itu Kanya sigap menelfonnya, sehingga pertolongan dapat segera dilakukan. “Aku gak apa-apa kok, Kak. Aku bisa jaga diri aku sendiri, nanti kalo misalnya ada keadaan darurat, aku pasti bakal langsung hubungin kak Genta. Kakak tau kan? Nomor kakak itu prioritas di hape aku!” Kanya menunjukkan ponselnya dan memperlihatkan bahwa kontak Genta berada di paling awal bahkan Kanya memasukkan dalam kategori favorit. “Nomor satu jadinya?” Tanya Genta turut senang, “Iya dong, orang yang akan aku hubungin paling pertama kalo aku kenapa kenapa.” “Yaiya lahh, kakak kan dokter kamu.” “Tapi selain dokter, kakak emang jadi seseorang yang penting dalam kehidupan aku kok.” Kanya benar-benar merasa bersyukur atas kehadiran Genta di dalam hidupnya. “Serius?” Genta terkejut mendengar hal itu, sebab selama ini ia mengira Kanya bersikap seperti itu karena ia adalah dokter yang akan selalu menjaga dan melindungi perempuan itu dalam kondisi apapun. bahkan satu-satunya orang yang akan siap siaga dalam menjawab telfon dari Kanya. Kanya merasa Genta adalah bagian dari hidupnya yang wajib ia syukuri keberadaannya. “Iya, walaupun bukan kakak kandung, tapi aku mau ngucapin banyak terima kasih sama kak Genta. Makasih selalu bantu aku dalam keadaan apapun ya, Kak.” “Nya, sejujurnya… kakak yang terima kasih sama kamu, karena sampai detik ini, masih kuat bertahan.” Sebab mau bagaimanapun, peran Kanya dalam hidupnya sendiri adalah yang paling penting. Sampai saat ini masih berusaha, tandanya Kanya masih memiliki niat untuk hidup. “Hehehe, iya kak. Jadi gimana? Aku di izinin pulang kan?” Genta luluh, tidak tahu lagi harus menolak dengan cara apa sebab perempuan itu terus saja bersikeras pada keinginannya. Namun, kondisi Kanya hari ini bisa di katakana cukup baik, meski belum yang benar-benar baik. Masih perlu pengawasan, namun tidak apa-apa. Genta akan selalu siaga dalam keadaan apapun. Demi Kanya. Walaupun tubuhnya lemah, wajahnya pucat dan ginjalnya nyeri, ia tetap memohon pada Genta untuk pulang. Begitu Kanya sampai pada rumah, terlihat sepi dari luar. Namun ia tetap mencoba untuk masuk sebab kebetulan saja, pintu itu tidak terkunci. Tetapi tepat saat ia hendak melangkah masuk, Kanya melihat Milano yang kelihatannya akan keluar rumah. Jarak mereka makin mendekat namun Milano sama sekali tidak melihat Kanya, tatapannya lurus dan menganggap bahwa tidak ada Kanya didepannya. Kanya menatap Milano berharap Milano menoleh dan menyapanya, namun itu hanyalah angan yang tidak akan menjadi kenyataan. Milano lewat tanpa menoleh apalagi menyapa, dia bersikap seolah-olah Kanya hanya angin lalu. Kanya masuk kedalam rumah dengan dadanya yang sesak. Ia tidak masalah jika di marahi atau seseorang kesal kepadanya, namun jika seseorang mengabaikan dirinya dan menganggap seolah dirinya tidak ada di dunia ini walaupun secara langsung tidak mungkin jika tidak melihat. Itu adalah bagian yang paling membuat Kanya sedih. Dianggap tidak ada. Namun, Kanya tetap saja masuk. Mungkin ia akan mencoba bicara pada Milano nanti malam, atau saat Milano sudah kembali kerumah. "Kemana aja kamu seminggu nggak pulang?" tanya Reta membuat Kanya menghentikan langkahnya, terdengar dari nada bicaranya… mamanya itu terdengar marah dan kesal. Ia merasa pedih saat mendengarnya. Artha dibelakangnya pun ikut ambil bicara, membuat goresan luka di dalam hatinya semakin lebar dan membuat dirinya sedih secara tiba-tiba. "Seminggu nggak ada kabar dan sekarang dengan santainya kamu langkahin kaki kamu kerumah ini?" Rumah. Apakah ini definisi rumah yang sebenarnya? Bukankah rumah adalah sebuah bangunan yang bisa menerima dirinya dalam kondisi apapun? Namun mengapa kali ini Kanya merasa di usir secara halus dan menegaskan bahwa rumah ini bukanlah rumahnya. Bukankah rumah seharusnya menjadi tempat paling nyaman untuk pulang? Kanya yang tadinya menunduk pun mendongak, gejolak di dalam dadanya masih saja terasa sakit. Namun Kanya mencoba menahan itu semua, air matanya ia paksa untuk tidak turun saat ini. "Anya menginap dirumah teman, Yah. Maaf Kanya nggak ngabarin." lalu menunduk lagi, mungkin alasannya tidak masuk akal sebab Kanya sama sekali tidak menjawab panggilan apapun dari orang rumah sebab dirinya merasa sangat lemas bahkan hanya untuk sekedar membalas pesan. Namun, ia juga bingung harus menjelaskan dengan cara seperti apa. Sebab penyakitnya ini merupakan salah satu hal yang tidak diketahui oleh keluarganya. Namun, dalam diam Kanya berpikir. Apakah jika kebenaran itu terungkap, mereka akan lebih bisa memperlakukan dirinya dengan baik? Kanya masih tidak tahu apa jawabannya. "Kalau kamu emang nggak betah tinggal dirumah ini lebih baik kamu pergi dari sini, jadi nggak perlu ngasih kabar apapun." Mendengar itu hati Kanya tersentil. Perasaannya sedang sensitive saat ini. Ia baru saja bangun dari koma, kondisinya hari ini bahkan belum bisa dibilang sehat. Namun ia tetap memaksakan diri untuk pulang kerumah demi bertemu orang-orang didalamnya. Namun, mengapa mereka malah bersikap seperti ini? Muka Kanya memerah, tidak sanggup untuk menahan rasa kekecewaannya. Namun ia masih tidak percaya hal ini terjadi dalam hidupnya. "Kok Ayah ngomongnya gitu?" Kanya mendongak nanar, berusaha keras menahan tangisannya. "Ayah pengen aku pergi dari sini? Iya?" tudingnya, jujur saja ia akan berterus terang, jika memang kehadirannya disini tidak bisa diterima dengan siapapun. Ia akan memilih untuk pergi. "Iya, Ayah capek punya anak kabur-kaburan tanpa kabar, mendingan pergi sekalian dan nggak usah balik lagi." datar, nadanya memang datar memang. Namun Kanya yang mendengar itu merasa perih. Tidak disangka dalam hidupnya, ia disuruh pergi oleh ayahnya sendiri. Sungguh jahat, namun Kanya tidak bisa membantah apa-apa. Kanya meringis, satu dua tetes air matanya ada yang keluar, tidak bisa tertahan sepenuhnya. "Okeh, aku pergi dari sini, Yah. Dan aku nggak akan pernah balik lagi kesini." lalu Kanya keluar dari rumah itu tanpa niatan untuk kembali lagi. Bahkan baik mama dan ayahnya, tidak ada satupun dari mereka yang menahan Kanya untuk tetap tinggal dan meminta maaf. Seolah menunjukkan bahwa, Kanya memang tidak seharusnya berada disini. Kadang, kita akan merasakan berada di titik jenuh. Titik jenuh yang berada dalam titik semu sampai kita tidak ingin berada di titik itu sedikit lebih lama. Jenuh dengan semua kenyataan yang terus menerus menamparnya pada kenyataan yang pahit, capek dengan keadaan yang tidak pernah sedikitpun membela dirinya, lelah menghadapi dunia apalagi orang-orangnya. Tekadnya sudah bulat saat ini, ia akan pergi dari sini, meninggalkan semua kenangan buruk, setidaknya ia harus memiliki happy ending di akhir hidupnya. Ia ingin sekali kenangan buruk itu tidak terus menerus di perpanjang. Ia juga ingin memiliki kenangan yang bahagia namun sayang, itu tidak pernah hadir didalam hidupnya. Cukup membuat dirinya sedih, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia lelah mengalah, ia jengah menjadi orang yang lemah. Kali, ini keputusannya sudah bulat. Ia akan pergi. Pergi dari kenyataan. *** Kanya pergi dari rumahnya dengan perasaan kecewa, kecewa atas perkataan ayahnya. Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan ayahnya, ayahnya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi karena ia tidak memberi tau. Namun, walaupun Kanya tidak memberi tahu apapun, sebenarnya Kanya berharap dapat di perlakukan dengan baik walau ia juga tidak bisa mendapatkan hal itu. Kanya berhenti mendadak saat melihat Milano kembali dari luar, sepertinya Milano tadi hanya berpergian di sekeliling rumah saja makanya kembali sangat cepat dari dugaannya. Terlihat Milano melangkahkan kakinya dengan santai menuju halaman rumahnya. Kanya menghapus air matanya kasar, lalu berlari ke hadapan Milano. "Kak!" “Kak Milano!” “Kakak!” Tiga kali Kanya memanggil laki-laki itu namun Milano justru mencari jalan lain untuk mengabaikan Kanya. "Kak, please! Aku mau ngomong sama kakak." nadanya terdengar frustasi, ia berharap kali ini, Milano mau berbicara kepadanya. Milano berhenti lalu menatap Kanya. Sebab ia tidak tega karena Kanya memanggilnya berkali-kali dan tidak menyerah sedikitpun. "Kenapa? Ganggu tau nggak." “Sebentar aja kak lima menit.” “Gue cuma punya waktu semenit.” Kanya mendadak request. “Tiga menit deh…” Milano hendak pergi namun, di tahan oleh Kanya. “Iya iya… semenit.” “Jangan lama-lama, gue sibuk.” "Aku cuma mau ngomong sesuatu, setelah ini aku nggak bakal ganggu kakak lagi." Kanya menggantung ucapannya untuk melihat reaksi Milano, karena Milano meresponnya dan menunggunya untuk melanjutkan ucapannya, maka dia melanjutkan ucapannya setelah menarik nafas. "Aku bakal pergi, Kak." lalu membuang nafas panjang, seolah membuat keputusan terbesar di dalam hidupnya. "Pergi jauh dari sini." “Hah?” “Aku minta maaf, Kak. Kalo selama ini aku pernah buat salah sama kakak, baik itu yang di sengaja ataupun yang nggak di sengaja. Tapi, dari seluruh orang yang ada di dunia ini, aku paling sayang sama kak Milano.” Setidaknya, untuk keputusan dirinya kali ini, ia tidak menyesali apa-apa. Sebab ia sudah berterus terang kepada kakaknya. “Nya, serius lo ngomong kayak gini sama gue?” Milano syok mendengar hal itu, dalam hati rasanya ingin menangis dan juga bilang kepada Kanya bahwa dirinya juga sangat menyayangi adik perempuannya itu. “Aku bakal pergi, Kak. Aku nggak mau kehilangan kesempatan, buat bilang kalo aku sayang kakak.” Milano membalikkan badannya dan menghela nafas. "Bukan, bukan lo yang pergi." "Aku yang pergi, Kak. Karena aku nggak seharusnya ada di sini." tangan Kanya menunjuk ke rumahnya, menatap sedih pada rumah yang tidak bisa menerima kehadirannya lagi. "Lo yang pergi, tapi nanti lo yang ngerasa kehilangan." Milano hanya merespon seperti itu lalu masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Kanya yang ingin melontarkan banyak pertanyaan. Kanya mendesah kesal lalu pergi dari rumah itu, ternyata tidak ada yang menahannya untuk pergi. Semuanya ingin ia pergi tanpa ada yang ingin menahannya untuk tetap tinggal. *** Kanya bergumam kesal saat ia menelfon Raken yang sudah entah keberapa kalinya. Namun laki-laki yang notabene sebagai pacarnya ini tak kunjung menerima panggilan dari dirinya. Padahal, tadi Kanya melihat Raken baru saja memasukkan foto snapgram di akun ** milik Raken. Sudah jelas bahwa Raken sedang memegang ponsel namun sengaja untuk tidak membalas semua pesannya. Lalu Kanya mengirim pesan ke semua media sosial milik Raken, berharap laki-laki itu masih memiliki hati untuk meresponnya. Kanya : Aku mau ketemu kamu, aku di taman biasa. Mohon, Ken aku mau ngucapin sesuatu sama kamu. Seenggaknya kalau kamu nggak mau ketemu aku, ini terakhir kalinya. Setelah mengirim pesan itu di semua akun chat Raken, Kanya duduk di sebuah bangku taman dekat lampu taman yang tinggi. Karena ini sekitar jam satu siang, keadaan ditaman tidaklah teduh melainkan gersang. Kanya duduk dengan gelisah sambil mengecek pesan yang belum di baca oleh si penerima. Sesekali Kanya meringis kesakitan sambil menahan diri untuk tidak teriak karena ginjalnya benar-benar sakit. Kanya mengigit tempurung tangannya untuk menahan rasa sakit dan menahan dirinya untuk tidak teriak. Mata Kanya bergerak kesana-kemari untuk mencari keberadaan Raken di celah para pejalan kaki di depannya. Kanya menunggu disini, dengan tangan kanan yang berada di dahinya untuk menahan sinar matahari menembus wajahnya, dan tangan kiri dengan tempurung yang ia gigit. Tangan kanannya sesekali mengipas-ipas tubuhnya yang terasa melepuh. Ia baru saja melakukan cuci darah, tindakannya kali ini berjemur di bawah teriknya matahari adalah hal yang dilarang, seharusnya. Sudah di pastikan, wajahnya memerah. Ia memang seperti itu jika terlalu lama terkena panas, sinar ultraviolet sangat berpengaruh pada kulitnya. Kulitnya yang tipis sangat mudah terkena sinar ultraviolet. Sudah setengah jam Kanya menunggu disini, matahari pun sedikit bergeser menuju sudut pantai. Namun, Raken tak kunjung datang. Hati Kanya bersikeras untuk menunggu Raken namun logika menolak untuk menunggu Raken. Seharusnya, ia memprioritaskan kesehatannya bukannya menunggu seseorang yang belum pasti akan kedatangannya. Antara logika dan hati yang tidak sinkron. Kanya memutuskan untuk mengelilingi taman sembari menunggu Raken, setidaknya dengan berkeliling ia tidak seperti orang yang berjemur. Berkali-kali Kanya mengecek ponselnya yang belum ada balasan, jangankan balasan. Pesannya tidak tersentuh sedikit pun. Hari mulai menggelap, suasana taman mulai ramai oleh manusia mulai dari anak kecil hingga lanjut usia. Taman menjadi teduh, namun Kanya masih disini. Menunggu Raken, ia akan menunggu Raken sampai senja datang. Jika senja sudah datang namun Raken tidak datang, ia akan pulang. Kanya berdiri menatap senja yang mulai pergi, bumi seolah mengejeknya karena malam ini tidak turun hujan. Lalu malam ini, siapa yang menemaninya meneteskan air mata? Ia benci kesedihan, namun hujan mampu menghapus kebencian itu dengan cara menemaninya dikala ia menangis. Namun kali ini, mengapa kau membiarkanku sendirian meneteskan ini, hujan? Batin Kanya berteriak keras.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD