thirteenth tale

1582 Words
"Kadang, dia yang terlihat baik-baik saja, adalah dia yang menyimpan banyak luka." *** SINAR-sinar sang matahari menyusup melalui celah jendela, melihat Kanya yang masih pulas membuat Raken membuka tirai hingga cahaya memasuki ruangan. Mata Kanya seperti di tusuk oleh cayaha yang memaksa nya untuk membuka mata. Raken menghampiri Kanya dan mengecek suhu tubuh Kanya saat ini. "Udah merasa baikkan?" Kanya mengangguk "Udah kok." Kanya membangunkan tubuhnya dan memijat pelipisnya. "Lo mandi air hangat aja, badan lo masih hangat." "Makasih, Ken." Raken mengangguk dan keluar dari kamar tamu. Kanya berjalan menuju kamar mandi di ruang tamu untuk membersihkan tubuhnya yang lengket. Setelah selesai, Kanya melihat dirinya di cermin. Lebih fresh di banding tadi namun masih pucat, Kanya mencari tas ranselnya, dan merogoh sesuatu, lipstick. Menurut nya lipstick adalah hal yang paling wajib ia bawa, kapanpun di manapun. Lipstick barang berharga bagi para wanita, baik itu untuk mempercantik ataupun menutupi kepucatan, seperti dirinya. Lalu Kanya mengoleskan lipstick berwarna pink tersebut. Terlihat lebih fresh, walaupun raut wajahnya menandakan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Tok tok tok Seseorang mengetuk pintu dari luar sana "Kanya, kalau udah selesai keluar ya, gue nunggu di sini." Kanya buru-buru untuk merapihkan dirinya dan keluar dari kamar "Maaf ya nunggu lama." "Lama dari mana? Belum juga semenit lo udah keluar duluan." Raken tersenyum tipis dan mengajak Kanya turun untuk sarapan. Kanya menatap sekeliling ruang makan di rumah Raken pagi ini, sepi. Hanya ada Raken dan dirinya. "Kanya, ayo sini." Kanya bangun dari lamunannya lalu mengikuti Raken duduk di meja makan. "Nih, bubur special buat lo. Karena lo masih sakit, mama pesan ke gue kalo lo harus makan bubur dulu." Raken menyodorkan bubur di depan Kanya. "Mama kamu kemana?" tanya Kanya di sela-sela mengunyah makanan. Raken menghentikan aktifitas makannya, Kanya yang belum menyadari reaksi Raken pun bertanya lagi "Papa kamu kemana, Ken? Dari kemaren aku belum bertemu deh." Raken diam, Kanya sadar lalu menatap Raken "Ma-maaf, nggak usah di jawab deh, Ken. Aku sadar pertanyaan aku nggak seharusnya dipertanyakan." Kanya tersenyum kecut. Raken berdiri "Kanya, kita berangkat sekarang aja yuk." sambil tersenyum, seolah pertanyaan tadi hanyalah angin lalu. Kanya tersenyum kecut lalu mengangguk dan mengikuti Raken ke dalam mobil. *** KANYA duduk di jok mobil dengan tidak nyaman, rasa sakit yang tadi mereda sekarang kembali lagi, Kanya menggigit bibir bawahnya dengan kencang, tangan kirinya mencengkram jok mobil. Menyadari sedari tadi Kanya hanya diam, Raken memberhentikan mobilnya "Are you okay?" tanya Raken. Kanya mengangguk "I'm okay." ucap Kanya berusaha tersenyum saat Raken menatap lekat ke arahnya. "Ken, aku boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Kanya. Raken mengangguk "Nanya mah nanya aja." "Kamu marah?" "Marah soal apa?" "Pertanyaan aku tadi...Aku minta maaf." dengan hati-hati Kanya mengucapkan itu. "Nya, mama gue setiap hari kerja, berangkat sebelum subuh dan pulang saat langit telah gelap. Dan papa gue udah sekitar dua minggu lebih belum pulang dari luar kota karena ada project di luar kota." ucap Raken sambil menatap ke depan. "Aku boleh ngomong nggak?" lalu Raken mengangguk. "Saat aku udah bangun dari pingsan kemarin, aku ngeliat kehangatan dari mama kamu, aku jadi kangen sama sosok ibu. Aku ngerasa keluarga kamu hangat, nggak seperti keluarga aku." "Lo salah, Nya. Keluarga gue nggak sehangat yang lo lihat dan rasain. Hari ini Raya lagi sakit, dia demam. Tapi apa? Mama malah lebih milih untuk nyuruh pembantu untuk gantiin mama ngerawat Raya dan memilih pekerjaannya." Raken menatap lekat Kanya. "Kadang hidup nggak adil ya, Ken. Hal yang kita harapkan nggak selalu terjadi sesuai harapan. Kamu masih memiliki keluarga lengkap namun mereka masih mengutamakan materi. Dan aku, disaat aku butuh kasih sayang ibu, Tuhan memisahkan aku sama Bunda lima tahun lalu di dunia yang berbeda. Kadang aku pengen, hidup aku mulus-mulus aja, nggak ada yang namanya kehilangan atau perpisahan didalam hidup, tapi yang terjadi lagi-lagi nggak sesuai dengan kenyataan, hidup aku selalu ada dengan yang namanya kehilangan dan perpisahan, kamu tau? Nggak ada yang lebih sakit dari pada kehilangan, dan perpisahan pun demikian." Kanya tersenyum pahit bersama rasa sakit di tubuhnya "Aku boleh meluk kamu nggak?" izin Kanya. Karena tidak ada reaksi dari membuat Kanya kikuk "Aku tau aku nggak berhak-" tanpa aba-aba Raken langsung memeluk Kanya. "Nggak semua orang hidupnya bahagia terus, Nya. Hidup nggak akan terasa kalau bahagia terus, hidup selalu ada cobaan dan rintangan, itu tergantung pribadi kita yang bisa melawan rintangan dan cobaan dalam hidup." bisik Raken. "Besar dan kecilnya rintangan, disesuaikan oleh kemampuan kita, jika kita adalah orang yang kuat maka rintangan nya akan semakin besar. Gue yakin kejadian di dalam hidup itu ada maknanya, mungkin kita telah kehilangan orang yang kita sayangi, mungkin itu cara tuhan untuk mempertemukan lo dalam kebahagiaan yang lain." lanjut Raken. Kanya tersenyum di balik pelukan Raken lalu perlahan melepaskan pelukan mereka, Kanya menatap lekat mata Raken "Jadi lo sekarang jangan sedih lagi, gue nggak tau gimana rasanya kehilangan sosok ibu, tapi gue yakin rasanya pedih. Sekarang ada gue, kalo gue mampu, gue akan berusaha untuk membahagiakan lo, dengan cara sederhana." ucap Raken, otak Kanya tidak berjalan dengan baik, jantung nya seolah berdentum sangat keras. "Nya?" Kanya kembali ke alam sadar "Ya?" "Kayaknya gue mulai suka sama lo." ucap Raken, Kanya menerjapkan matanya, ia bungkam. "Gue, mulai, suka, sama, lo." "Ma-maksud nya?" "Udah nggak usah dipikirin." ucap Raken lalu kembali menjalankan mobilnya. Raken melirik Kanya yang masih sibuk dengan pikirannya "Jangan di pikirin mulu, ntar botak." ucap Raken dan Kanya hanya tersenyum kikuk. Mereka sudah sampai di apartment Kanya, Kanya buru-buru turun, bahkan sebelum Raken membukakan pintu mobil. Raken ikut keluar "Kanya." lalu Kanya menatap Raken. Raken mendekatkan dirinya kepada tubuh Kanya lalu mencium kening Kanya "Get well fast ya." Kanya memejamkan matanya. Raken menjauhkan dirinya dari kening Kanya, lalu saat Kanya ingin mengatakan sesuatu, tubuhnya tidak bisa diajak kompromi, Kanya langsung lari ke kamar apartment. Raken mengejar, takut jika terjadi sesuatu oleh Kanya. Raken mengetuk pintu apartment Kanya "Kanya... Lo kenapa? Apa yang terjadi? Please buka pintunya." ucap Raken sambil mengetuk pintu itu. "Kanya? Lo baik-baik aja? Apapun yang terjadi tolong buka pintunya." Didalam Kanya sedang sibuk mencari tissue untuk menyeka darah segar yang mengalir dari hidung nya. Kanya berdiri tepat di depan pintu "Aku baik-baik aja, Ken. Kamu nggak perlu khawatir, kamu lebih baik ke sekolah sekarang, aku baik-baik aja." ucap Kanya. "Lo yakin?" tanya Raken. Namun Kanya hanya menggangguk, tetapi Raken tidak bisa melihat anggukan tersebut "Yaudah kalau lo baik-baik aja, semoga lo beneran baik-baik aja. Gue duluan ya, Nya." ucap Raken beserta suara langkah kaki yang menjauh. Kanya menangis tanpa suara karena rasa sakit di tubuhnya. *** SETELAH meminum obat, Kanya membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Kanya ingin rasa sakit ini segera hilang, ini sangat menyiksa dirinya. Perut di bagian bawahnya terasa ditusuk oleh ribuan jarum, perih. Telah dua jam, namun rasa sakit belum juga mereda. Kanya mengambil handphonenya dan menelfon seseorang. Dia perlu bantuan, dia tidak bisa menghandle rasa sakit ini sendirian. "Ka Genta, kakak sibuk nggak?" "Tidak Kanya, kakak baru aja selesai operasi pasien. Ada apa?" "Maaf Kanya ganggu ka, Kanya butuh kakak." "Kamu nggak ganggu kok sayang, Kanya butuh apa?" *** "KANYA? Kenapa kamu nggak pernah cerita sama kakak? Setiap kali kita ngobrol atau pun bicara di telfon kamu nggak pernah bicara soal ini. Ini masalah serius, Nya." ucap Genta. Kanya sedang terbaring di ranjang rumah sakit, dengan alat-alat medis yang berada di tubuhnya. "Sejak kapan? Sejak kapan kamu ngerasain kayaknya gini dan sejak kapan ginjal kamu hanya satu?" tanya Genta, Genta sangat sedih dengan kondisi anak dari kakaknya, Mevia. "Kakak merasa jadi kakak yang gagal karena nggak tau apa apa soal kondisi kamu yang seperti ini, Kak Mevi pasti kecewa sama aku." Genta mengusap wajahnya. "Ini masalah serius, Nya. Nggak mudah untuk bertahan hidup dengan satu ginjal, apalagi ginjal kamu jauh dari kata baik-baik aja." Genta meneteskan air matanya sedih, sedih dengan kondisi tubuh Kanya yang terbaring lemas di depannya. Genta mengecup kening Kanya dengan lama, lama sekali. "Maafin kakak karena kurang peduli sama kamu dan terlalu fokus sama kerjaan kakak, tapi kakak janji, setelah ini kakak akan ngerawat kamu sebaik mungkin, dan kakak akan ngeluangin banyak waktu buat kamu." ucap Genta sambil menatap nanar kondisi Kanya. *** "KALIAN pasti dateng kan? Karina udah siapin strategi biar Luna nggak curiga." ucap Dafa. Milano mengangguk dan Faldy menyahut "Yoi lah, kita pasti dateng." "Ada apaan sih?" tanya Raken yang tidak mengerti obrolan mereka. "Dafa mau nembak Luna ditaman, sore ini. Lo pasti ikut kan?" tanya Faldy. "Sore? Gue sebenarnya pengen banget ikut. Tapi-" "Lo nolak ajakan kita, Ken?" sela Dafa. "Bukan gitu, gue mau ke tempat temen gue, dia lagi sakit, tadi pagi dia bilang baik-baik aja, tapi gue yakin dia nggak baik-baik aja. Gue duluan ya, maaf Daf, tapi ini penting." ucap Raken seraya meninggalkan mereka bertiga. "Temen yang mana sih maksud Raken?" tanya Faldy. Milano hanya menaikkan bahunya, dan Dafa hanya menghela nafas. *** RAKEN membeli sebuah makanan untuk Kanya, tapi setelah sampai di apartment, Kanya tidak ada disana. Lalu dia bertanya pada receptionist dan receptionist itu berkata. "Tadi ny. Kanya di bawa keluar oleh seseorang pemuda yang kelihatannya sekitak 25 tahun." "Ny. Kanya dibawa dengan keadaan tidak sadar, kemungkinan dia pingsan, karena pemuda itu membawa sebuah ambulance." Pemuda Pingsan Ambulance Tiga kata itu terngiang di kepala Raken, Raken sangat khawatir dengan keadaan Kanya. "Saya kurang tau ny. Kanya dibawa kemana, karena saat saya bertanya tidak ada yang menjawab, pemuda itu kelihatannya sangat panik dan tidak ingin menjawab pertanyaan saya." Raken menggigit telapak tangan nya, itu yang di lakukan ketika dia sedang cemas "Kanya lo dimana?" lirih Raken. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD