thirty third tale

1896 Words
Milano berdecak, sejujurnya saja ia benar-benar tidak ingin seseorang mengetahui tentang perasaannya dan mendengar Bulan yang berbicara seperti itu membuat dirinya merasa kesal sebab perasaannya diketahui oleh orang lain. "Jangan sok tau tentang gue apalagi perasaan gue, kita bahkan baru ketemu dua kali. Lo nggak tau apapun soal gue." "Nggak perlu waktu yang lama untuk mengetahui dan memahami keadaan, kita hanya perlu untuk melihat dari sisi lain untuk memahami keadaan. Saat kita hanya memahami dari satu sisi, kita salah. Kita juga harus melihat dari sisi lain untuk lebih memahami, karena hati orang itu beda-beda, dan perasaannya pun berbeda-beda." jelas Bulan dan membuat Milano termenung beberapa saat, apakah seseorang seperti Bulan memang datang dalam hidupnya untuk membuat dirinya lebih jujur dengan perasaannya? "Lan, meskipun kita baru bertemu dua kali. Gue paham, ada suatu keadaan yang membuat lo tertekan. Lo mau tau kenapa gue nggak takut dengan bentakan lo ataupun kalimat pedas yang lo ucapin?" walaupun Milano tidak mengangguk, Bulan tau bahwa Milano ingin tau sebab dari gestur laki-laki itu merasa ingin mengetahui alasannya selama ini. Dan dilihat dari sifat Milano yang pura-pura tidak peduli dengan apapun itu, membuat Bulan menghela nafas sebelum menjelaskan lebih lanjut. “Kadang seseorang yang kita pikir baik, belum tentu baik bahkan bisa jadi punya tujuan tertentu dibalik kebaikan yang dia berikan. Dan kadang juga, orang yang kita pikir jahat, belum tentu jahat.. bisa jadi ada kebaikan yang tersimpan tersembunyi dibalik kejahatannya. Kita tuh engga bisa lihat sesuatu cuma dari satu sisi aja, harus liat juga dari sisi yang lain. Semua hal didunia ini itu tergantung dari cara kita memandangnya.” Merasa sudah cukup untuk berbicara, Bulan memberikan senyuman lebar kepada Milano sebelum akhirnya menepuk bahu laki-laki itu dan pergi dari sana. Meninggalkan Milano yang masih termenung dengan kata-kata perempuan itu. Milano kira perempuan itu benar-benar pergi dari sana, namun ternyata Bulan kembali lagi, tidak dengan wajah seriusnya seperti tadi, melainkan wajah yang lebih ceria. "Kalau nanti kita ketemu lagi! Gue pastiin lo jodoh gue!" pekik Bulan, sebelum Milano berucap apapun, Bulan dengan cepat pergi dari hadapan Milano. Milano tidak marah, justru hatinya menghangat mendengar ucapan sok bijak Bulan tadi. Milano jadi teringat Kanya, apa dia harus melihat dari sisi Kanya agar dia paham dengan keadaan? Ia menyesal tidak cerita dengan cewek sok bijak itu, ia jadi bingung sendiri disini. Kadang Milano sering kesal dengan sikap dirinya sendiri yang pura-pura tidak peduli dengan apapun padahal jauh dari dalam lubuk hatinya, selalu ada hal-hal mengganjal yang ia ingin keluarkan namun tidak pernah bisa tersampaikan. Milano jadi jengkel sendiri. *** Insiden tidak terduga yang terjadi dirumah Luna benar-benar membuat semua orang kaget. Apalagi hari ini adalah hari jadi Luna dan Dafa jadian dan dengan tidak berperasaannya Luna bersama dengan lelaki lain disana, semua masalah menjadi sangat besar saat lelaki lain itu ternyata adalah kakak kandung dari Dafa. Sebagai saksi kejadian tersebut, Kanya benar-benar syok dan tidak tau harus bersikap apa saat ini. Berkali-kali Dafa membanting setir mobil dan membuat jantung Kanya berdetak lebih cepat, adrenaline nya sangat dipacu saat ini. Mengingat Dafa di sebelahnya menyetir dengan keadaan marah dan mempercepat laju mobilnya, Kanya merasa sedang balapan sekarang. Ia hanya bisa berdoa semoga ia tidak mati. Masalahnya ia masih remaja dan belum lulus sekolah, Kanya tidak ingin meninggal karena emosi seseorang seperti ini. Tiba-tiba Dafa menginjak rem dan membuat Kanya kaget, untung saja dahinya tidak terbentur dashboard. Nafas Kanya memburu, seperti habis dikejar ribuan zombie dan kakinya lemas. Hari ini memang benar-benar tidak terduga, Kanya tidak mengerti nasib apa yang terjadi pada hidupnya hari ini. Tubuhnya terasa semakin lemas begitu mendengar lirihan Dafa dan juga melihat air mata Dafa menetes. "Kenapa Luna tega? Selingkuh sama kakak gue sendiri?" lirih Dafa, yang Kanya tau laki-laki jarang meneteskan air matanya, ia adalah makhluk hidup yang kuat dan jika laki-laki itu menangis tandanya ia benar-benar sedih. Melihat kondisi Dafa saat ini membuat dirinya benar-benar khawatir, Kanya tidak bisa membayangkan betapa sakitnya melihat kejadian tadi jika ia menjadi Dafa, ia pasti tidak sanggup. Apalagi saat Kanya mengetahui fakta baru bahwa laki-laki yang muncul dari dalam rumah Luna itu adalah kakaknya, tidak sanggup harus berkata apa lagi. Kanya bingung harus berbuat apa, akhirnya dia hanya menepuk pundak Dafa dan mengatakan sabar sebagai bentuk rasa prihatinnya mendengar dan menyaksikan kejadian yang telah terjadi hari ini. "Sabar ka Da-" ucapan Kanya terhenti saat Dafa menariknya dalam pelukan. Mengapa Dafa tiba-tiba memeluknya saat ini? Kanya benar-benar tambah syok. Dafa berbisik. "Lima menit aja, Nya." Mendengar itu membuat Kanya mengurungkan niatnya untuk melepas pelukan Dafa dan menepuk bahu Dafa dengan canggung. Kanya merasa ini bukanlah sesuatu yang benar namun ia bingung bagaimana melepaskan pelukan ini. Dafa memeluknya dengan erat, Dafa menangis tanpa suara di pundak Kanya. Kanya hampir kehilangan nafas jika saja Dafa tidak melepaskan pelukan itu dengan cepat. “Nya, gue minta maaf ya.” Kanya makin tambah bingung mendengar hal itu. “Maaf buat apa?” “Sadar nggak sadar, gue pernah nyakitin lo kan? Kemungkinan besar apa yang terjadi dalam hidup gue hari ini adalah karma karena gue pernah nyakitin lo, Nya.” Jelas Dafa sungguh-sungguh yang membuat Kanya semakin bingung sebab ia tidak pernah membayangkan akan mendengar permintaan maaf dari Dafa.  "Ini karma kayaknya, Nya. Maaf ya…" lirih Dafa sambil menunduk. "Sekarang keadaannya berbalik, Nya. Apa ini yang lo rasain saat tau gue hanya manfaatin perasaan lo demi Luna?" tanya Dafa, merasa dirinya benar-benar sampah sebab telah memanfaatkan orang lain demi tujuan yang menguntungkan dirinya sendiri. Dan kini ia dikhianati oleh Luna dan kakaknya sendiri membuat sesak dalam dadanya terasa sangat nyata. Kanya bisu, tidak menjawab, bahkan matanya pun tidak berkedip, ia masih bingung dengan serentetan kejadian yang telah terjadi hari ini. Ia butuh waktu untuk dapat memahami seluruh kejadian yang telah terjadi hari ini. "Maaf, maaf, maaf. Gue sadar, apa yang kita lakukan akan mendapatkan balasan di suatu hari, apa ini balasan dari apa yang gue lakuin ke lo? Kalo iya, gue nyesel, Nya. Gue merasa sangat bersalah sama lo." saat Kanya ingin menjawab, Dafa kembali menarik Kanya ke dalam pelukan. Padahal jauh-jauh hari sebelum semua ini terjadi Kanya sudah lebih dulu memaafkan sikap Dafa padanya sebab menurutnya, perasaannya dulu memang seharunya menjadi tanggung jawab baginya, juga bukan salah Dafa jika tidak bisa membalas perasaannya. "Maaf." bisik Dafa dengan penuh penyesalan. Entah mengapa dalam seumur hidup Kanya, baru kali ini ia mendengar sebuah permintaan maaf yang begitu tulus dan saat mendengarnya terasa mengerti perasaan sedih yang telah Dafa rasakan hari ini. *** Sebelum bersama Dafa, Kanya sempat meminum obat terlebih dahulu sebab tiba-tiba kepalanya sangat pusing. Dan karena tadi terlalu lama Dafa memeluk Kanya, membuat Kanya tertidur di pelukan Dafa yang kemungkinan besar terjadi karena efek obat yang ia minum sebelumnya. Hari sudah malam namun Dafa tidak membawa Kanya kemanapun, mereka masih dijalan tepat saat Dafa memberhentikan mobilnya dengan tiba-tiba. Kanya mengucek matanya dan melihat Dafa yang sedang memperhatikan intens membuat dirinya rishi. "Ini dimana?" tanya Kanya yang belum sepenuhnya sadar sebab sekelilingnya sangat gelap. "Dimobil." jawabannya memang benar, tapi bukan itu yang di maksud Kanya, Kanya menanyakan tentang lokasi saat ini. "Ka, kok kita masih disini?" tanya Kanya lagi saat menyadari bahwa mereka sama sekali tidak berpindah posisi dari tadi. "Lo tidur kelamaan, gue nggak mau bangunin lo secara tidurnya nyenyak banget bikin gue nggak tega buat banguninnya juga." Lumayan lama Kanya tertidur sampai Dafa bingung harus melakukan apa dan hanya bermain game sambil menunggu Kanya terbangun dengan sendirinya sebab ia takut jika membangunkan, Kanya tidur sangat pulas sehingga membuat dirinya mengurungkan niat untuk membangunkan Kanya tadi. Kriuk~ Itu suara dari perut Kanya, mendengar itu membuat Kanya jadi malu. Tapi realistis saja jika ia lapar sekarang sebab ini juga sudah hampir malam, yang sebetulnya Dafa juga sudah keroncongan dari tadi namun ditahan dengan meminum air mineral. "Kita ke tempat makan dulu yuk, gue tau lo laper." Tanpa menunggu jawaban Kanya, Dafa langsung menjalankan mobilnya menuju tempat makan, mereka benar-benar sudah lapar sekali kali ini. Mereka makan bakso di pinggir jalan, karena lokasi di jalanan ini sangat jauh dengan restaurant dan juga hampir tengah malam yang mungkin penjual rata-rata sudah pulang kerumah masing-masing. "Nya, kalau lo ada di posisi gue, lo bakal lakuin apa?" tanya Dafa tiba-tiba memulai percakapan yang Kanya bingung harus menjawab seperti apa. Namun sepertinya kali ini Dafa benar-benar membutuhkan masukan. Kanya menjawab setelah mengunyah baksonya, sekalian jeda untuk berpikir sejenak. "Aku sih bakal ngikutin alur kehidupan. Kadang, kalau kita tidak tau harus bertindak apa, lebih baik kita menyerahkan semuanya pada keadaan." "Lo mau menyerah gitu aja tanpa berjuang?" Kanya menaikkan bahunya, sejujurnya ia tidak bisa menyarankan banyak pada Dafa sebab ini adalah kejadian yang lumayan sulit baginya. "Itu hanya 'Kalau', yang pasti keputusan terbaik ada di tangan ka Dafa." ucap Kanya lalu melanjutkan makan bakso lagi sebeb Dafa termenung mencerna kata-kata yang sudah ia ucapkan. "Makasih ya." "Buat?" "Berkat lo gue paham, setiap perbuataan akan kembali pada diri kita sendiri. Kayak quote quote yang pernah gue baca 'do good and good will come to you' ya kan?" tanya Dafa setelah mereview apa saja yang telah ia perbuat belakangan ini, apalagi tentang niat busuknya saat ingin mendekati Kanya. Kanya mengangguk, Kanya juga pernah membaca quote tersebut yang marak menjadi caption di **. "Berbuat baiklah maka kebaikan itu akan datang kepadamu?" Dafa mengangguk dan Dafa menjadi paham akan makna kehidupan. *** Saat Kanya ingin menitipkan kado yang ia lupa berikan kepada Raya semalam, Kanya menghampiri kelas Raken. Kanya menitipkan kado karena sepulang sekolah, ia harus pergi ke rumah sakit Dr. Genta karena hari ini jadwalnya berobat. Kanya ingin sembuh, Kanya juga ingin hidup normal seperti gadis diluar sana. Dan dengan itu, Kanya akan melakukan apapun untuk sembuh. Namun, baru saja berjalan di koridor kelas dua belas, Kanya melihat Raken bersama Valen sedang membicarakan sesuatu. Sepertinya sedang membahas tentang hal yang serius sampai mereka tidak menyadari keberadaan Kanya disini. "Ken, jangan kayak gini. Aku tersiksa sama sikap kamu yang berubah sekarang. Mana Raken yang katanya selalu ada buat aku? Mana kamu yang bakal lakuin apapun buat aku? Raken yang dulu udah hilang." tuding Valen lumayan kencang sampai-sampai dalam lokasi Kanya berada saat ini pun masih terdengar dengan jelas. "Dulu, aku selalu ada buat kamu Len, tapi kenapa kamu yang justru ninggalin aku? Kamu nggak tau ya rasanya ditinggalin tanpa alasan? Mungkin bagi kamu, itu sepele banget, pergi tanpa alasan yang sampai sekarang aku nggak pernah tau alasannya. Sampai akhirnya kamu kayak gini ke aku, juga gak pernah bahas tentang alasan kamu kan?" balas Raken yang masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Valen yang merasa hanya dirinyalah yang paling benar didunia dalam bertindak. Dan itu membuat Raken muak sekali. Valen masih berusaha untuk membuat Raken seperti dulu, seperti saat bersamanya yang membuat dirinya jadi versi manusia terbahagia sepanjang hidupnya. "Aku punya alasan Ken, dua tahun aku ninggalin kamu, dan selama dua tahun itu juga aku sama sekali nggak bisa ngelupain kamu, kamu terlalu berharga buat aku sampai aku nggak bisa sedetik pun mengalihkan pikiran tentang kamu." Tetapi tetap saja, Valen tidak memberitahu alasan tersebut. "Alasan? Apa itu akan membuat keadaan berubah jika di ucapkan sekarang? Nggak Len. Seharusnya, kamu ngucapin alasan itu dua tahun lalu, bukan sekarang. Kayak bubur basi tau nggak." balas Raken yang akhirnya merasa bahwa tidak ada gunanya juga membahas hal tersebut saat ini. "Sekarang aku tanya sama kamu." Valen menatap lekat mata Raken sambil menyentuh lengan Raken yang langsung ditepis saat itu juga, tetapi tetap tidak menyerah. "Apa kamu masih ada rasa sama aku?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD