tenth tale

1802 Words
"Senja selalu terganti dengan malam, satu hal yang aku inginkan. Jangan ganti dia dengan siapapun saat aku merasa nyaman." ***   ENTAH sudah berapa anak tangga yang mereka naikki, Kanya mulai kelelahan "Masih jauh Ken?" Raken menengok "Dikit lagi kok." Kanya hanya mengangguk dan melanjutkan naik tangga. Saat mereka sudah sampai di lantai paling atas, mata Kanya langsung membulat dan bergumam 'wow.' mereka sampai disana tepat saat senja. "Suka nggak?" tanya Raken sambil memasukan kedua tangannya ke dalam kantung celananya. Kanya mengangguk senang "Suka! Kok kamu tau sih ada tempat kayak gini di deket sini?" Raken terkekeh "Lo itu orang jakarta bukan sih? Masa tempat kayak gini aja nggak tau." ucap Raken sambil geleng-geleng. Kanya menyegir "Makasih yah udah bawa aku kesini." Raken menggangguk sambil menatap senja. Senja terlihat sangat jelas dari sini, terlihat pula bangunan jakarta yang padat. "Kamu sering kesini?" tanya Kanya tiba-tiba. Raken mengangguk pelan "Iya, gue kesini kalo lagi pengen sendiri." Kanya meresponnya dengan mengangguk. Langit berwarna jingga, dilihat dari ketinggian. Angin sesekali menerpa rambut panjang Kanya, Kanya tersenyum menikmati hembusan angin dan menikmati senja. Beberapa menit mereka berdua menikmati senja dalam diam, terpisah dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba tetesan air turun dan mengenai tubuh mereka disertai kilat-kilat. Raken langsung berdiri "Anya! Turun yuk, takut kesamber." Kanya mengangguk lalu mengikuti Raken turun. Mereka turun satu lantai, masih bisa menikmati senja. Kalau mereka memaksakan tetap di atas, petir bisa saja menyambar karena di atas tidak ada penghantar listrik. "Yah senjanya pergi!" ucap Kanya saat melihat senja sudah terganti dengan awan hitam. "Tumben ya, hujan kali ini dateng tanpa ada ciri-ciri. Tadi langit cerah, tiba-tiba berubah jadi hitam." Kanya menggangguk "Kalo hujan bisa datang tiba-tiba, senja juga bisa pergi sewaktu-waktu." Raken mengangguk setuju. "Anya, gue boleh nanya sama lo nggak?" tanya Raken. Kanya mengangguk dan menatap wajah Raken. "Kalo lo punya pacar, trus dia mutusin hubungan tanpa alasan lalu dia pergi tanpa pamit. Lo bakal ngelakuin apa?" cicit Raken pelan. "Aku bakal tunggu dia kembali untuk memberi alasan, setiap keputusan selalu memiliki alasan, bukan?" jawabnya sambil memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Raken. Raken mengangguk "Tapi kalo diri gue sendiri nggak mau buat nunggu gimana?" "Kamu harus belajar buat lupain dia." ucap Kanya yang masih menatap Raken sedangkan Raken menatap ke arah depan. Raken menunduk "Ya, mungkin gue harus mencoba untuk ngelupain dia." ucap Raken pelan, bahkan seperti berbisik. Kanya ingin bertanya siapa 'dia' yang Raken maksud tetapi dirinya merasa tidak berhak untuk bertanya lebih lanjut. "Lo tinggal sendiri di apartment?" tanya Raken mengalihkan topik. Kanya mengangguk dan menjawab singkat "Iya." "Emangnya orang tua lo kemana?" tanya Raken pelan. Kanya tersenyum tipis, bahkan sangat tipis "Bunda udah meninggal lima tahun yang lalu, Ayah aku jarang ada dirumah." Raken yang mendengar itu langsung tidak enak hati "Ma-maaf gue nggak bermaksud." Kanya tertawa parau "Nggak apa-apa kok, bukan salah kamu," jeda Kanya "Aku males pulang ke rumah, di sana hampa, seakan nggak ada tanda-tanda kehidupan." lanjutnya. Baru saja Raken membuka mulutnya untuk bertanya, Kanya langsung menggangguk "Ya, aku kabur dari rumah. Udah sekitar seminggu tapi salah satu orang di rumah nggak ada yang mencari atau sekedar menelfon untuk menanyakan kabar." Kanya menatap kosong ke depan. "Semenjak Bunda meninggal, keadaan masih sama, bahkan Ayah sama Kakak aku tambah sayang sama aku. Tapi semenjak kejadian tahun lalu, semuanya berubah. Kakak benci sama aku, Ayah makin jarang pulang ke rumah, kakak aku nggak pernah pulang ke rumah selain ganti baju. Aku kesepian disana, meskipun ada pembantu tetap saja hampa." Kanya mengeluarkan semuanya. Kanya menarik nafas untuk menguatkan dirinya, Raken mengambil kepala Kanya dan menyenderkan ke bahunya "Kalo lo butuh tempat buat ngeluarin semuanya, gue siap kok dengerin semuanya." bisik Raken di telinga Kanya, air mata Kanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "Aku kangen sama bunda, aku kangen sama ayah yang perhatian sama aku, aku kangen sama kakak aku yang dulu. Apa semuanya bisa balik kayak dulu lagi?" tanya Kanya sedih, Raken mengusap rambut Kanya untuk menunjukan rasa peduli. "Apa aku nggak berhak untuk bahagia?" tanya Kanya pelan "Aku pengen kayak remaja yang lainnya, mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Saat ini aku cuma punya seorang ayah, tapi aku nggak dapet perhatian itu. Aku pengen banget kayak mereka, setidaknya kalau aku nggak dapet perhatian itu dari orang tua. Aku pengen punya kakak yang bisa melindungi aku. Aku merasa saat ini sendirian, aku nggak punya siapa-siapa" lirih Kanya sambil se-senggukan. Raken menempelkan telunjuknya di bibir Kanya "Sttt lo nggak boleh ngomong gitu, lo nggak sendirian. Sekarang ada gue, lo nggak perlu khawatir" ucap Raken menenangkan dan mengeratkan pelukannya agar Kanya tenang. Ternyata gadis ceria yang ada di pelukannya sangat rapuh, seperti cangkang telur yang mulai meretak. Kanya masih menangis di dalam pelukan Raken, di saat hujan turun. Setelah beberapa menit tangis Kanya berhenti namun saat Raken lihat wajahnya, ternyata Kanya tertidur di pelukannya. Mungkin gadis itu terlalu lelah, Raken mengubah posisi Kanya agar gadis itu tidur dengan nyaman. Raken memindahkan dengan hati-hati agar Kanya tidak terbangun. *** SUDAH sekitar satu jam setengah Kanya tertidur, hujan mulai mereda walaupun masih ada sedikit tetesan hujan yang turun. Kanya menerjapkan matanya, ia melihat Raken dihadapannya. Untuk beberapa detik, Kanya masih menyesuaikan dengan keadaan, mengumpulkan nyawanya yang masih berada di dalam mimpi. "Sejak kapan aku ketiduran?" tanya Kanya sambil membangunkan tubuhnya menjadi duduk. "Kurang lebih sekitar sejam yang lalu." Kanya mengangguk pantas saja hari sudah gelap. "Em-maaf ya aku jadi ngerepotin."  Kanya kikuk menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Raken bukannya menjawab malah mendekatkan tubuhnya ke Kanya, jarak mereka makin menipis, jantung Kanya sudah tidak bisa berdetak dengan normal. Kanya memejamkan matanya saat Raken benar-benar mendekat, nafas mereka sudah bertabrakan. Sungguh Kanya hanya diam seperti patung sembari memejamkan matanya. 'Aduh Raken ngapain sih.' batin Kanya takut. Lalu Raken mencekal halus pergelangan tangan Kanya untuk mengambil ikat rambut "Rambut lo acak-acakan, gue kuncir ya biar lebih rapih." lalu Raken sambil mengumpulkan rambut Kanya menjadi satu lalu ia ikat dengan ikat rambut milik Kanya. Setelah Raken selesai menguncir rambut Kanya, Raken kembali ke posisi semula. Kanya benar-benar kikuk dengan kejadian barusan, Kanya masih mencerna kejadian tadi bagaimana Raken mengikat rambutnya dengan jarak yang sangat tipis. Kanya masih kikuk seperti patung, Raken sudah berdiri untuk meninggalkan tempat itu, saat Raken sudah mengajak Kanya untuk pergi dari tempat itu, Kanya malah diam di tempat. "Anya! Ayo turun." ajak Raken namun tidak di respon oleh Kanya. Raken kembali menghampiri Kanya. Raken mengibaskan tangannya di depan wajah Kanya "Hallo? Anya." panggil Raken. Kanya baru sadar "E-eh kok udah gelap." ucap Kanya salah tingkah. Raken menyeritkan alisnya. Kanya merutuki kebodohannya "Tadi kamu ngomong apa Ken?" tanya Kanya "Aku nggak denger hehe." ucap Kanya pelan. Raken mengacak-acak rambut Kanya "Ayo kita pergi dari sini, udah gelap." ucap Raken seraya berjalan meninggalkan Kanya yang lagi-lagi terbengong. Langkah Raken berhenti "Anya! Ayo jangan bengong mulu." panggil Raken. Kanya tersadar dan lagi-lagi merutuki kebodohannya lalu mengejar Raken yang sudah berjalan duluan. Saat sudah turun dari gedung tersebut Raken bertanya kepada Kanya "Makan dulu yuk, mau di cafe mana?" tanya Raken. Kanya berfikir sejenak lalu menggeleng "Jangan di cafe. Mending ikut aku yuk." ajak Kanya. Raken menaikkan sebelah alisnya "Kemana?" tanya Raken. "Ke tempat makan," jawab Kanya "Ayo buruan! Udah laper nih." seru Kanya lalu berjalan dahulu meninggalkan Raken, dan Raken mengikuti langkah kaki Kanya. *** SAAT ini mereka bertiga sedang berada di Cafe Liberica, duduk manis sambil menyesap kopi "Guys gue butuh saran kalian nih." ucap Dafa yang kelihatannya bingung. "Saran apa Daf?" sahut Faldy. Dafa menyegir lima jari "Gue mau nembak Luna nih." ucap Dafa. Milano berdecak "Yaelah Daf, lo kan paling professional masalah kayak gini. Kenapa lo nanya ke kita." kesal Milano. "Masalah nembaknya itu sih soal gampang. Tapi gue lagi bingung." ucap Dafa. "Bingung kenapa Daf?" sahut Milano. Dafa menatap langit-langit cafe "Gue bingung nyari tempat yang romatis buat nembak Luna." ucap Dafa. "Oh nyari tempat," sahut Faldy sambil mengangguk "Lo mau tempat indoor apa outdoor?" tanya Faldy. Dafa berfikir keras "Kayaknya lebih romantis di outdoor deh, lo punya saran nggak?" tanya Dafa. "Gimana kalo di taman? Nanti kita dekorasi sama bunga-bunga." saran Faldy. Dafa mengangguk "Boleh juga," ucap Dafa seraya mengangguk "Lan, diem aja lo. Ada saran nggak buat gue?" tanya Dafa pada Milano. "Gue nggak punya saran. Gue kan bukan cowok romantis, Daf," ucap Milano "Tapi kalo lo perlu bantuan, gue bakal bantu kok." lanjut Milano. Dafa menepuk bahu Milano "Thanks Lan." ucap Dafa dan Milano hanya mengangguk. *** TERNYATA Kanya membawa Raken ke pasar malam, disana ada beberapa penjual makanan dan ada juga yang menjual kapas gula "Kamu mau makan apa, Ken? Disini ada bakso, cilok, sate, batagor dan lain-lain, kamu mau yang mana?" tanya Kanya. "Sate aja yu, lo suka nggak?" tanya balik Raken. Kanya tertawa "Aku suka semua makanan yang ada disini." ucap Kanya. "Kalo gue kasih dare untuk makan semua makanan yang ada disini, lo berani?" tantang Raken. Kanya pura-pura berfikir "Berani lah, tapi nggak berani bayarnya" ucap Kanya lalu tertawa "Yuk ke tukang sate." ajak Kanya. "Bang! Mau sate ayamnya-" lalu menatap Raken "Kamu mau sate ayam, sate kambing, atau sop?" tanya Kanya. "Sate ayam aja, Nya." ucap Raken. "Sate ayamnya dua ya bang, jangan dua tusuk tapi dua porsi." ucap Kanya pada tukang sate. Tukang sate tersebut terkekeh "Iya neng, siap." "Lo sering makan disini?" tanya Raken. Kanya mengangguk "Iya, kalo lagi males belanja sama males masak aku makan disini" ucap Kanya "Kamu baru pertama kali kesini ya?" tanya Kanya. Raken mengangguk "Iya, ternyata disini ramai ya." ucap Raken sambil melihat orang yang hilir keluar-masuk pasar malam dan banyak juga yang menaiki permainan. Kanya mengangguk dan matanya mengikuti sorotan mata Raken yang melihat orang-orang yang sedang berjalan dan menaiki permainan. Beberapa menit kemudian sate pun sudah matang, saat baru di sajikan di meja mereka, Kanya langsung menghirup dalam-dalam "Saatnya makan" ucap Kanya sambil menggigit sate ayam. Raken juga ikut menggigit sate ayam "Ternyata sate ayam disini lebih enak dari pada yang di cafe ya." ucap Raken. Kanya mengangguk "Makanan disini emang paling enak, restoran berbintang kalah, Ken." ucap Kanya yang masih mengunyah makanannya lalu tersedak karena makan sambil bicara. Raken langsung mengambil air minum dan diberikan kepada Kanya "Makan jangan sambil bicara, Anya." nasihat Raken. Wajah Kanya yang memerah akibat tersedak pun mengangguk "Iya iya." ucap Kanya. Raken hanya geleng-geleng sambil tersenyum melihat Kanya. *** SAAT sudah selesai makan, Raken mengantarkan Kanya sampai di apartment nya "Anya." panggil Raken saat Kanya sudah berjalan menuju lobby apartment. Kanya berbalik "Kenapa Ken?" tanya Kanya. "Lo besok mau nonton gue tanding basket nggak?" tanya Raken. Kanya kembali menghampiri Raken "Tanding? Disekolah kita? Lawannya sekolah mana?" tanya Kanya. "Iya di sekolah kita, dari sekolah SMA Nagasakti, Nya," jawab Raken "Lo mau nggak?" tanya Raken. 'Tadi Luna sama Karin juga ngajak nonton pertandingan basket.' batin Kanya. Lalu Kanya mengangguk "Iya aku pasti nonton kok." ucap Kanya. Raken tersenyum "Makasih ya." ucap Raken. "Sama-sama." ucap Kanya membalas senyuman Raken. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD