twenty seventh tale

1837 Words
Langit mulai menjingga, senja mulai menghiasi langit dengan warna gradasi yang paling indah. Pemandangan yang menurut mereka sangatlah indah, sebuah peristiwa yang terjadi pada sore hari. Dalam keheningan, Raken menarik Kanya dalam pelukannya, sambil memandang langit sore didepannya, pandangan mereka bertemu yang membuat mereka berdua tersenyum lebar. Mereka mengutarakan perasaan mereka lewat pelukan, pada saat senja berlangsung. Kanya tidak bisa medeskripsikan perasaannya sekarang, ia merasa sangat bahagia. Karena belakangan ini ia hanya bisa menatap melalui jendela rumah sakit, itupun tidak begitu bisa melihat langsung karena tertutup oleh gedung-gedung tinggi yang ada pada sekeliling rumah sakit. Sekarang, ia bisa melihat langsung dengan begitu jelas. Senja kali ini adalah momen dalam hidupnya yang tidak ingin ia lewatkan. Jam terus memutar, waktu terus berjalan sehingga membuat langit semakin gelap, warna jingga kini mulai pudar terganti dengan langit yang mulai menggelap. Dan benar, senja terganti dengan keindahan malam. Tidak membuat Kanya sedih, dirinya justru senang sebab ini adalah saatnya untuk mewujudkan keinginannya yang belum tercapai. "Ini saatnya untuk wujudin keinginan kita? Yeayy!" Kanya berseru girang, tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya bahwa ia akan mewujudkan keinginannya dengan lelaki disebelahnya, Raken. Ia bahkan berfikir bahwa tidak mungkin bisa mewujudkan keinginannya dengan orang lain. Ia sempat merencanakan melakukannya sendirian. "Tunggu sini ya, Nya. Jangan kemana-mana." Kanya mengangguk dan menunggu ditempat saat Raken pergi untuk membawakan lampion-lampion yang sontak membuat Kanya senang walaupun melihat Raken dari jauh. Saat Raken sampai, mata Kanya berbinar saat melihat lampion-lampion yang dibawa oleh pacarnya itu. "Lampion!" Sebelum menerbangkan, Kanya lebih dulu mengeluarkan spidol untuk menuliskan sesuatu disana. Raken tidak menulis apa-apa, hanya memejamkan mata sejenak yang mungkin saja dalam pejamannya terdapat doa yang menjadi rahasia baginya. Mereka berdua menerbangkan lampion bersama-sama, Kanya tersenyum sangat lebar. Mungkin dalam sepanjang hidupnya, baru kali ini ia dapat tersenyum lebar seperti itu. Lampion-lampion tersebut pun terbang menerangi gelapnya malam, sangatlah indah. Jika dilihat dari bawah terlihat seperti menyatu dalam taburan bintang-bintang yang ada dilangit. Melihat itu, Raken membawa tubuh Kanya dalam dekapan. Raken menatap langit saat malam hari, di tambah lampion-lampion impian Kanya yang menghiasi gelapnya malam. Raken turut merasa senang, saat melihat Kanya yang begitu semangat menerbangkan lampion-lampion. Tanpa perlu bicara apa-apa, Raken sangat ingin berterimakasih kepada Kanya. Karena berkat senyum lebar miliknya, ia mengerti kenapa Tuhan memberikan rasa bahagia yang tiada tara kepadanya. Malam ini, lampion terbang dibukit indah pada malam hari merupakan kolaborasi terindah yang pernah ada dalam hidupnya. Malam terbaik, malam dimana mereka berdua mewujudkan impian mereka yang belum tercapai. Mereka tersenyum bahagia dan mengeratkan pelukan mereka. *** Valen sangat bosan berada dirumah hanya bersama adiknya, Zira. Zira sudah keluar dari rumah sakit beberapa minggu yang lalu, namun orang tuanya belum pulang juga dari luar negeri. Sebenarnya rumah mereka di indonesia atau di luar negeri sih Valen jadi kesal sendiri rasanya. Bagaimana cara membunuh rasa bosan itu? Valen mempunyai pikiran bahwa ia akan berhenti homeschooling mengingat adiknya sekarang sudah sehat. Ia sudah bilang pada Kanya saat Kanya bermain ke rumahnya untuk bertemu Zira bahwa ia berencana untuk berhenti homeschooling dan berencana untuk sekolah di sekolahannya Kanya. Setidaknya ia tidak perlu repot-repot untuk berkenalan sendiri dengan orang baru. Ada Kanya, yang pasti akan memperkenalkan dirinya pada teman-temannya di sekolah tersebut. Ah, membayangkan itu membuat Valen senang. Ia tidak sabar untuk meminta izin pada orang tuanya untuk sekolah di SMA Trakhina Wijaya, sekolah Kanya. Kanya, yang sudah ia anggap seperti saudaranya meskipun beda orangtua. Membanyangkan tentang bagaimana bersekolah bareng dengan Kanya membuat dirinya merasa senang, padahal belum menjalankan. Kanya adalah sahabatnya yang paling dekat dengannya. Tentu saja, bersekolah ditempat yang sama dengan Kanya adalah sebuah keinginannya sejak dulu. Ia tidak hanya sedang berharap, melainkan benar-benar menginginkannya sehingga membuat Valen langsung menghubungi salah satu orang tuanya. "Hallo Babe, what happen?" tanya Mamanya disebrang sana, dengan nada santai. "Ma, indonesia mah." Valen sangat tidak suka jika harus berbicara bahasa asing di negara ini, ia lancar berbicara bahasa asing namun ia hanya memakai bahasa itu di tempat bahasa itu berada, atau hanya pada saat pelajaran bahasa. "Oh iyaiya, maaf sayang, ada apa? Jangan lama-lama ya mama sibuk nih." Terdengar suara yang berisik, Mamanya pasti benar-benar sangat sibuk. Mungkin Valen salah memilih jam untuk menelfon mamanya karena kemungkinan disana masih jam kerja yang tentu saja akan sibuk. "Valen mau berhenti homeschooling." Ujarnya terus terang. "Kenapa?" "Valen mau sekolah di SMA Trakhina Wijaya, sekolah yang sama, sama Kanya." "Oh yaudah, kamu minta urusin semuanya sama tante Bina, nanti mama transfer biayanya." "Mama Valen kange-" "Udah dulu ya sayang, mama sibuk nih." lalu mama Valen memutuskan telpon sepihak. Valen menghela nafas panjang, ia padahal ingin mengatakan bahwa ia kangen sama mamanya dan ingin bertanya kapan mama dan papa balik ke indonesia. Kerinduannya sudah lama ia pendam sendirian, tiap kali ia ingin mengucapkan perasaan rindu pada kedua orang tuanya, responnya tidak selalu bagus atau bahkan diabaikan seperti tadi. "Gapapa deh, yang penting satu sekolah sama Kanya!" seru Valen berusaha mengalihkan pikirannya pada hal-hal yang menurutnya positif. Jika urusan perpindahan sekolahnya berjalan dengan lancar, tandanya ia akan segera dapat sekolah bareng Kanya, detik itu juga Valen merasa sangat bersemangat. *** "Seneng nggak?" tanya Raken begitu mereka telah selesai menyaksikan lampion yang kian lama semakin menjauh dan menyatu dengan langit. Kanya menjawab dengan tersenyum lebar. "Senang dong, kamu bisa ngeliat itu dari mata aku." Ia pun menunjukkan kedua matanya yang berbinar terang, terlihat sangat jelas bahwa perempuan itu benar-benar merasa bahagia. Raken menatap lekat mata Kanya, Kanya pun menatap lekat mata Raken. "Iya, kamu kelihatan sangat senang sekarang." Raken melihatnya turut senang, karena berkatnya Kanya bisa merasa bahagia hari ini. Berhubung mereka berdua belum makan, membuat perut Kanya keroncongan meminta diisi makanan. "Makan yuk?" ajak Kanya. "Yuk." Raken mengiyakan karena dirinya pun merasa sangat lapar saat ini. Mereka beranjak untuk mencar tempat makan, ada yang bilang bahwa di sekitar sini terdapat kedai yang menjual beraneka macam jajanan. Lalu mereka berjalan menuju kedai di dekat sana. Mereka berdua makan di kedai yang terdekat. "Kamu mau makan apa? Disini banyak penjual makanan, kayaknya makanan apapun ada deh disini." tanya Raken begitu melihat pedagang makanan yang berjejer dan sangat bervariasi. Tanpa berpikir panjang Kanya langsung berseru. "Sate!" Sebab saat perjalanan menuju kedai, melewati asap penjual sate yang membuat cacing-cacing diperutnya berpesta didalam perut. "Yaudah yuk!" ajak Raken ke kedai sate. Lalu Kanya memesan dua porsi sate ayam dan juga lontong. Sepertinya, ini akan menjadi favorite makanan mereka nantinya. Sebab sejatinya, Raken juga menyukai jajanan sate seperti ini karena dia pecinta kecap garis keras. "Senyum mulu." sindir Raken yang melihat Kanya dari tadi hanya senyum. "Lagi seneng tau, bahagia malah." Kanya makin melebarkan senyumannya. "Makasih ya udah nemenin aku buat ngewujudin keinginan aku hari ini. Nggak nyangka bisa terwujud bareng kamu." ucap Kanya saat itu yang benar-benar merasa ingin berterimakasih kepada Raken. Raken mengangguk, ia juga merasa senang telah menemani Kanya hari ini. "Iya sama-sama, Nya. Eh satenya udah datang tuh." Melihat sate yang sudah tersaji di depan mata, Kanya buru-buru melahap itu, dari kemarin ia hanya makan bubur buatan rumah sakit dan itu membuat nya mual. Sekarang saatnya untuk makan enak. "Yummy. Enak banget! Udah lama enggak makan kayak gini." "Pelan-pelan, Nya." tegur Raken karena melihat Kanya makan seperti belum makan seminggu. Bukannya apa-apa, Raken hanya khawatir Kanya tersedak. "Iya, Ken." sambil mengunyah satenya. Sate habis dalam hitugan menit, kemungkinan besar mereka berdua benar-benar lapar, sehingga bisa habis dalam waktu yang secepat itu. Setelah selesai makan, mereka kembali ke parkiran, karena parkiran lumayan jauh dari kedai, jadi mereka harus berjalan lumayan jauh. Lalu Kanya menghentikan langkahnya, lalu berdiam diri sambil merapatkan matanya. "Nya, ngapain disitu." tanya Raken yang bingung karena tiba-tiba Kanya berhenti lalu menutup matanya. Kanya hanya mengisyaratkan Raken untuk diam, lalu Raken menuruti Kanya untuk diam. Lalu suara gemuruh pun datang, dan detik berikutnya hujan turun perlahan dan deras. Kanya membuka matanya, tadi ia memejamkan matanya karena ia mendengar ada gemuruh kecil seperti akan turun hujan, dan saat Kanya berkonsentrasi untuk mendengar gemuruh kecil itu ternyata benar. Itu gemuruh hujan, dan hujan pun turun sekarang. "Kamu manggil hujan?" pertanyaan bodoh yang diajukan Raken membuat Kanya tertawa terpingkal-pingkal, ya kali Kanya memanggil hujan, memangnya dia siapa? Kanya kan cuma manusia. "Hahaha, manggil nggak ya." Kanya tidak bisa menghentikan tawanya, tawa membuat dirinya lompat-lompat diiringi derasnya hujan. Rambutnya sudah basah karena hujan. Hujan deras turun dengan tiba-tiba, dengar-dengar dari orang sekitar, daerah sini memang lebih sering turun hujan dan terkadang saat turun hujan langsung deras. "Ih kok ketawa sih?" tanya Raken masih bingung. "Kamu beneran bisa manggil hujan?" tanya Raken lagi. Tawa Kanya meledak. "Hahaha bisa dong." ucap Kanya. "Kamu bukan manusia? Jadi kamu klan dari mana?" tanya Raken masih bingung. Tawa Kanya makin pecah. "Dari klan bidadari." sambil menjulurkan lidahnya dan berlari meninggalkan Raken yang baru paham. Kanya tertawa tiada habis karena Raken yang mendadak polos dan lama menyimak bahwa dirinya hanya bercanda saja namun Raken membawa hal tersebut dengan sangat serius. Kanya berlari di bawah derasnya hujan sambil tertawa, Raken mengejarnya dari belakang. Sebab merasa kesal karena dengan bodohnya percaya bahwa Kanya benar-benar bisa memanggil hujan. Lagipula siapa yang mengira perempuan itu tiba-tiba berhenti untuk memejamkan mata lalu tidak lama kemudian hujan deras datang, Raken mengira Kanya benar-benar memiliki ilmu untuk memanggil hujan saat itu. Kanya berhenti berlari saat merasakan tubuhnya di peluk oleh Raken dari belakang "Seneng banget ya ngibulin orang." bisik Raken tepat di kuping Kanya. Raken menggelitiki tubuh Kanya yang membuat perempuan itu tidak bisa menahan tawanya yang begitu pecah. “Raken ih geli tau!” Begitu Raken melepaskan tangannya, Kanya langsung bergantian mengelitiki Raken hingga membuat laki-laki itu tertawa keras. “Kanya nanti aku balas lagi jangan marah loh ya.” Peringat Raken begitu sudah tidak sanggup lagi menahan gelitik dari perempuan itu. Kanya masih tertawa. "Siapa suruh kamu percaya? Percaya aja sih makanya jadi begitu." Kanya menjulurkan lidahnya lagi. Lalu Raken mengelitiki perut Kanya dan membuat Kanya semakin tertawa kencang. Karena tidak kuat dengan rasa geli di perutnya, Kanya berlari dari Raken namun lagi-lagi Kanya tertangkap oleh Raken. Mereka berdua tertawa, sangat bahagia, dibawah derasnya hujan. Malam itu, malam dimana semuanya terasa sempurna. Dan Kanya berharap kebahagiaan yang sempurna ini tidak akan pernah hilang. Dan jika kebahagiaan ini hilang, kenangan akan selalu ada di dalam memori. Hujan seolah saksi, dengan ribuan rintik yang membasahi seluruh baju dan tubuh mereka bahwa sore hingga malam ini merupakan momen terbaik yang pernah terjadi dalam sepanjang hidup yang pernah Kanya jalani. Dan untuk itu, Kanya ingin sekali mengucapakan banyak terimakasih kepada Raken yang sudah menemaninya dalam mewujudkan keinginannya hari ini. Karena dirasa sudah begitu malam, akhirnya mereka pulang. Raken menyetir mobilnya sambil bersin-bersin, Kanya yang mendengar itu tidak bisa menahan tawanya. "Untung cuma bersin ya, Ken. Nggak pingsan." ledek Kanya. Raken mendengus. "Dingin tau hujan-hujanan tengah malem gitu, untung nggak beku disana." Walaupun hidungnya Raken merah karena bersin-bersin dan kedinginan, wajahnya tetaplah tampan, apalagi rambutnya yang masih basah dan menetes itu. Membuat siapapun yang melihatnya akan meneteskan air liur. Perhatian Kanya jadi terarah pada rambut Raken yang acak-acakan serta basah. Karena berbeda dengan dirinya yang menjadi begitu kumal karena air hujan, Raken justru masih terlihat cakep-cakep saja.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD