D_U_A

1206 Words
“Di sini bener rumahnya, Kak?” “Iya, Sayang. Aku dapet dari salah satu temennya. Katanya dia satu kamar sama temennya yang namanya Putra kalau gak salah. Kamu gak mau masuk?” “Masa di sini, sih? Reza kan—“ Ceklek. “Anduk gua sekalian jemurin dong, Sayang!” “Bab—“ Reza yang baru saja akan mengumpat urung saat menemukan siapa yang ada di depan matanya dengan wajah terkejut. Lelaki itu menelan salivanya kasar. Tangannya refleks menutup lehernya yang terbuka lebar. Merasa nyawanya akan menjadi ancaman sebentar lagi, Reza hanya bisa tersenyum kikuk dengan wajah terkejut. tenggorokannya bahkan terasa sangat kering. “Sayang kok—gitu? Ini siapa, Za? Glowing banget,” bisik Putra yang menyembulkan kepala ke jendela. Lelaki itu menatap perempuan yang memakai hotpans di atas lutut dengan kemeja berwarna hijau muda yang panjangnya melebihi celana jeansnya namun tidak dikancingkan karena dalamnya memakai sebuah kaos berwarna putih. “Bener, kan? Ini tempat kos-kosannya Eja,” ujar lelaki besar yang tengah menggendong anak berumur kurang lebih 3 tahun di pangkuannya. Seolah mengatakan pada wanita di sebelahnya jika ia tidak salah. Dan apa yang sudah ia lakukan benar adanya. Tempat tinggal adik iparnya benar di sini. Usahanya menemukan tempat ini ternyata tidak sulit. “I-iya, sih. Tapi kenapa Reza berubah?” Tanyanya seraya menatap suaminya dengan tatapan bingung. Ia seakan tidak mengenali sosok di depannya. Sosok lelaki yang biasanya selalu ribut dengannya itu kini tengah memakai kaos lebar yang mana lehernya sangat lebar dan juga celana kolor berwarna hitam. Dan jangan lupakan handuk yang sudah buluk itu ada di tangannya. “Kak Ciama ngapain ke sini?!” Tanya Reza terkejut sekaligus tidak menerima tamu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kakak perempuannya sendiri. Reza tidak tahu harus apa sekarang. Seakan dipergoki selingkuh oleh kekasihnya, Reza tidak bisa mengatakan apapun dan hanya bisa diam. Tubuhnya beku dan tidak bisa digerakkan. Untuk apa kakak perempuannya datang? Apa urusannya dengan dia? Apa wanita itu sudah membongkar semua identitasnya yang sengaja disembunyikan beberapa tahun ke depan? Jika benar, Reza dalam masalah sekarang! “Bukan kamu yang seharusnya nanya kenapa Kakak bisa ada di sini. Yang seharusnya nanya itu Kakak. Kenapa kamu bisa tinggal di sini? Ke manain apartemen yang Papa kasih?” Tanya wanita itu menuntut penjelasan. “Dan… kemana mobil Kakak? Kenapa di sini ada motor ninja hitam Kak Marcel?!” “Kak—“ “Itu… kamu di tato?!” Reza mengulum bibirnya tidak bisa menjawab. Lelaki itu tidak berniat membawa Kakaknya masuk. Karena akan menjadi keributan yang berkepanjangan nantinya. “Lo punya apartemen?! Punya mobil?!” Pekik Putra udik. “Gak usah pura-pura gak tahu, anj—“ “Reza! Kakak lagi ngomong sama kamu!” Bentak Ciama. Perempuan yang usianya terpaut 11 tahun dengan Reza itu menatap dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak tahu harus berkata apa lagi saat ini. Rasanya terlalu mengejutkan mengetahui adiknya yang tidak bisa hidup tanpa gelimang harta bisa tinggal di dalam kos-kossan minim dengan penduduk padat dan juga kendaraan bekas. Reza yang hidupnya sangat tidak realistis dan ingin serba ada, itu berubah? Ciama tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. 4 tahun tidak berkomunikasi dengan adiknya secara langsung, Ciama sampai tidak tahu jika Reza sudah berubah drastic. Tidak mungkinkan orang tuanya bangkrut dan memasukkan Reza ke dalam pemukiman yang sangat padat penduduk? Ditambah tinggal dengan lelaki yang memanggilnya dengan sebutan apa tadi? Sayang? Mereka— “Kakak beneran gak mau overthingking, tapi kamu bisa jelasin ini semua, kan?” Paksa Ciama dengan nada kesalnya. Wanita dua anak itu tidak bisa menatap adiknya lagi dengan benar. Matanya terlalu sibuk meneliti sekitar yang sama sekali bukan tipe Reza. “Oke. Eja jelasin semuanya. Tapi gak di sini. Gimana kalau sekalian ma—“ “Kakak mau di sini!” Tolak Ciama dengan tegas. “Kak..” “Kakak bilang Kakak mau di sini, Reza!” Tegas perempuan itu lagi. Reza berdecak kesal sebelum akhirnya melihat ke arah Putra yang kini hanya mengedikkan bahunya pertanda ia tidak keberatan dengan kedatangan Kakak Reza. “Oke. Kita di dalam. Tapi Kakak harus tunggu beberapa menit dulu. Eja belum beresin kamar—KAK!” Ciama tidak mendengarkan apa yang adiknya katakan dan masuk ke dalam dengan cepat. Mulut wanita itu menganga lebar melihat ruangan gelap yang sangat sempit dan tidak ada sekat antara dapur dengan ruang makan. Bahkan tidak ada ruang tamu. Apa Reza benar masih hidup? “Kamu tinggal di tempat ini?” Tanya Ciama syok. “Maaf, Kak. Saya belum sempat membersihkannya. Kami baru bangun tidur—“ “REZA, KAMU GAY?!” “Mustahil Kak!” Jawab Putra dengan tawa yang menggelegar. Lelaki itu mencomot udang tepung yang ada di meja dan melahapnya setelah mencelupkannya pada saus bawang putih yang Ciama beli di tempat makan sekitar. “Lagian bikin curiga aja! Udah tinggalnya berdua, makan berdua, bangunnya barengan lagi!” Reza mendengkus. Lelaki itu kini sibuk bermain dengan keponakannya. Tidak menghiraukan Kakaknya yang terus saja memberikan tatapan membunuh. Merasa tidak suka dengan sikap acuh Reza. “Jadi selama ini kamu yang jaga adik kami?” Tanya Marcel—lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah suami dari Ciama. Atau lebih tepatnya Kakak Ipar Reza. Lelaki yang umurnya hampir menginjak kepala 4 beberapa tahun ke depan itu menggelengkan kepala melihat sang istri yang sedang menatap Reza dengan tajam. “Ya, begitulah, Kak. Untungnya Reza itu gak rewel. Lumayanlah saya ngurus Reza bisa buat bayar UKT kuliah,” jawab Putra mendramatisir. “Najis! Dikira gua orok!” Kesal Reza seraya mengalungkan sebuah bantal sofa yang tidak berbentuk sama sekali ke arah Putra. Sedangkan yang menjadi tersangka dengan lihai bergeser. Membuat bantal sofa itu mengenai Kakaknya Ciama. “Kak, Ci…” “Demi apapun Kakak gak paham sama kamu, Za. Sama sekali gak paham,” ujar Ciama seraya memberikan bantal itu pada Putra. “Mama sama Papa tahu ini?” “Ta-tahu, kok.” “Kamu bohong, motor Kak Marcel Kakak bawa pulang, ya?” Ancam Ciama yang berhasil membuat Reza berdecak sebal dan mengangguk. “Belum.” “4 tahun mereka gak tahu?!” “Gak, kok. Baru juga beberapa bul—“ “Dari semester 3, Kak,” potong Putra cepat dan menatap Ciama dengan tatapan serius. “Awalnya udah kaya anjing liar, Kak. Serba gak mau ini itu. Pipis aja dianter sama saya ke kamar mandi. Karena takut sama kecoa. Kalau aja saya gak jadi sahabat paling baik, dia gak mungkin—“ “Monyet! Bisa diem gak mulut lo, hah?!” Sentak Reza seraya menunjuk Putra yang kini meringkuk ketakutan. “Nyet! Ica iyem gak ulut lo, ha?!” Reza menelan salivanya kasar begitu mendengar suara anak kecil yang tengah ia pangku itu menuruti ucapannya dan juga ikut menunjuk Putra. Bulu kuduk Reza seketika meremang. Ia melirik kecil pada Kakak perempuannya yang kini sudah menarik napas panjang karena kesal. Tangan wanita itu juga mengepal tanda sangat marah. Sedangkan pria yang menjadi suami Kakaknya itu hanya bisa menggelengkan kepala dan menatap tajam anak perempuannya. “Nyet!” Ucap anak dipangkuan Reza lagi. Tapi kali ini menunjuk Ciama yang akan bangkit dari duduknya. “Mama Nyet. Cama kaya itu.” “Za…” “Kak, jangan marah di sini, ya? Ini bukan rum—“ “Miama lo apain, Reza!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD