Aisya kecil memakai baju abaya hitam, dengan kerudung yang disampirkan di pundaknya. Rambutnya yang keriting ikal, bergoyang-goyang ketika ia berjalan. Banyak mata yang memandang gadis kecil blasteran itu. Aku menyadari itu. Saat menunggu waktu sholat isya, banyak jamaah yang menunggu di dalam masjid. Mereka ada yang berzikir, membaca al Quran, tapi ada juga yang sedang mengobrol ringan. Orang yang ada di sebelah kananku, seorang perempuan paruh baya seusia ibuku, adalah seorang Indonesia, karena kudengar ia berbahasa Indonesia dengan kawan di sebelahnya. Aku juga mendengarkan dengan seksama percakapannya. “ eh eh ssst, lihat tuh lucu banget, rambutnya gemesin.”
Aku tersenyum, dan menoleh sedikit ke arah mereka. “Ibunya orang Indonesia.” Celetukku.
“Eh.. adek orang Indonesia juga?” Tanya ibu tersebut.
“Iya bu.” Sambil kembali tersenyum. “dia keponakan saya.” Ibuku jadi ikut memperhatikan percakapan ku.
“Soalnya pakai cadar sih, tadi saya pikir orang Saudi.”
“Iya, kita disuruh pakai cadar oleh suami mbak saya, katanya supaya aman, biar ndak ada yang iseng ngganggu.”
“Iya benar juga sih.”
Sementara itu Aisya yang sekarang duduk agak ke depan di antara ibuku dan mbak Astri, menghadap ke kami, sedang berbicara panjang lebar dalam bahasa Arab dengan mbak Astri. Aku sendiri terpana mendengar percakapannya itu, meski tak satupun yang aku mengerti. “Aisya, bahasa Indonesia dong, bulek ndak ngerti nih.”
Gadis kecil itu memonyongkan bibirnya padaku. “ soalnya Bulek ndak boleh tahu.”
“Eihh, bisa bahasa Indonesia juga?” Tanya ibu yang di samping kananku itu.
“Iya bu, dia bisa dua bahasa.”
Aku berpaling ke mbak Astri, aku menyoleknya dari belakang ibuku yang duduk tepat di sebelahku, “mbak, minta apa dia?”
“Biasa dek.. es krim”
“Ooo.. “ kataku panjang.
Setelah sholat Isya, kami keluar masjid. Jamaah masjid keluar mengantre seperti berbaris mengular meskipun pintu keluar masjid cukup banyak. Di sepanjang pengantrean itu aku memandang keindahan masjid Rasulullah ini. Perpaduan antara keindahan, keagungan dan kemegahan. Aku merasakan kharisma Rasulullah yang terpancar dari dalamnya. Pilar pilar tinggi menyentuh atap dengan lengkungan garis hitam dan putih. Hamparan karpet yang kini ditutupi oleh lautan manusia menuju pintu keluar. Aku memegangi keponakan ku yang cantik itu, sedangkan mbak Astri menggandeng ibuku. Ibu sebenarnya masih kuat dan tidak perlu digandeng, tapi mungkin mbak Astri merasa bahwa inilah momen saatnya ia bisa menggandeng ibu. Karena ibu tak selamanya tinggal di Saudi. Dan aku tak akan terus terusan bisa menggandeng keponakanku yang cantik ini. Mungkin hanya sekali ini saja aku ke Saudi, dan entah kapan akan kembali ke sini. Dan Aisya, belum tentu akan sering ke Indonesia.
Aku Keluar dari pintu masjid terlebih dahulu. Mbak Astri, Aisya dan ibuku masih di dalam masjid tertahan oleh orang orang lain yang berebut keluar masjid. Aku menunggu mereka, sementara aku juga mencari cari salah satu dari para laki laki Saudi yang berjanji menunggu kami tak jauh dari depan pintu. Aku celingukan kanan kiri. Aku belum melihat satupun dari mereka. Tapi justru melihat sosok lain yang sangat dekat denganku. “Mas Haryo..,!” Jeritku. Aku langsung berlari dan menghampiri pria itu. Pria itu tampak bingung aku hampiri.
“Hmm…. Suaranya sih kenal.” pria itu Bergumam Kecil. Aku mendengarnya. Aku baru ingat, aku memakai cadar.
“Ayo.. siapa..”
“Aa..i..” pria Jawa itu mulai mengeja namaku. Tapi aku tak sabar. Cadar aku singkapkan ke atas tanpa pikir panjang., hanya untuk mengingatkan siapa diriku. Tapi aku segera menurunkan kembali cadar itu. Karena aku sadar, beberapa orang memperhatikanku.
“Dek Aira..,!” Gantian pria itu yang berteriak kecil. Dan langsung memelukku. Mengucek ngucek kepalaku. Ia begitu kegirangan bertemu denganku.
“Dengan siapa mas?” Tanyaku berbinar binar, sementara tangan mas Haryo masih mengalengkan pundakku.
“Dengan ibu dan dek Indah.”
“Mbak Indah?” Tanyaku tak percaya.
“Aku sedang menunggu mereka.” sahut mas Haryo.
“Terus kamu dek, dengan siapa? Masa sendirian disini, apa seperti mbakmu juga mencari peruntungan disini?”
“Nggak lah mas, aku baru tamat SMA, belum mau kerja juga, mau sekolah aja dulu.”
“Nak Haryo?” Terdengar suara ibuku.
“Tuh ibu datang.” Kataku, dan ibu menaikkan cadarnya ke kepalanya.
“Bu lik! Aduh jadi ngumpul disini.” seru mas Haryo.
“Haryo?” Kini mbakku yang heran.
“Mbak Astri?”
“Ya ini aku. Maaf ya ga buka cadarku. Suamiku agak sensitif.”
“Ya ga pa pa mbak. Suami Mbak yang Arab itukan”
"Iya lah, suamiku cuman satu kok." Mereka tertawa mendengar jawaban Mbak Astri.
“Ini anak siapa?” Tanya mas Haryo, “lucu banget.” mas Haryo melihat Aisya terpana .
“Anak aku.” Kata mbak Astri
“Sungguh? Beneran?”
“Bukan anak majikanmu mbak?”
Kulihat mbak Astri melotot. "Yaaa.. anak akulah, suamiku ya majikan aku. Bukan begitu kan Bu.. suami itu kan bak majikan, memang harus dilayani dan dihormati bak majikan." Jawab Mbak Astri sambil tersenyum.
"Ihh bahagia banget nih suami kalau dapat istri kayak Mbak Astri." tanggap mas Haryo. "Semoga nanti aku dapat yang kayak mbakku ini." Lanjut Mas Haryo lagi sambil mengedipkan mata. Dari kejauhan aku melihat prince Zayn dan Prince Ziyad, pandangan mereka berdua penuh selidik Dan mata Prince Zayn memperlihatkan ketidaksukaannya.
“Bunda. Bunda, ini siapa?” tanya Aisya sambil menunjuk ke arah mas Haryo.
“Ehh,, dia bisa bahasa Indonesia? Kata Haryo dengan wajah penasaran yang mendalam,
“Bisa dong.!” jawab Aisya cepat. Ia pun mengerti
“Aku dengar sih waktu mbak nikah, tapi nggak bisa datang, habis dadakan sih. Pas ada kegiatan juga di sekolahku. "
"Iya nggak papa kok."
"Assalamualaikum." Suara berat itu mengagetkan mas Haryo ketika Prince Zayn menyapa, Terlihat sekali wajah mas Haryo sedikit panik. Karena tiba tiba didekati dua orang pria Saudi. Tapi Astri kemudian menengahi.
"Ini suamiku."
"Yang mana Mbak?"
"Ini yang di sebelahku. Di sebelahnya itu adik ipar ku. Jadi ini Zayn, suamiku dan Ziyad, iparku.."
Mereka bersalaman.
Aku melihat Raut muka Ziyad tidak begitu suka memandang mas Haryo. Kenapa juga dia tak suka? Pikirku.
"Mas Tino..! " Tiba-tiba ibuku berteriak. i Mas Tino adalah kakak ibuku. Pria paruh baya itu berjalan mengarah ke kami. Ibuku kemudian menyalaminya dan mencium punggung tangannya.
"Who?" Kulihat Prince Zayn bertanya pada Mbak Astri dengan tatapan curiga.
"My uncle. He is my mom big brother."
Terlihat sedikit perubahan di wajah kedua pria Saudi itu. Mereka baru memahami bahwa kami ini keluarga.
Mas Haryo menarik ku ke pinggir. "Dek, kamu masih suka nyanyi?"
"Masih dong mas, mau duet lagi?"
Mas Haryo mengangguk.
"Nanti kalau mas main ke Jogja, kita nyanyi bareng lagi ya, sekalian bikin konten."
"Wow keren.. mau mas. Kalau nyanyi aku mau deh."
"Mas Haryo, jangan dimonopoli dong cewe Arabnya.." aku mendengar seseorang berteriak ke arah kami. Aku menoleh.
"Mbak Indah..?" Teriakku. Aku melihat Mbak Indah menghampiri posisi kami yang memang agak terpisah dari yang lainnya.
Umur Mbak Indah terpaut lebih tua dua tahun dariku dan mas Haryo terpaut empat tahun dariku.
Kami besar bersama, kami juga tetanggaan. Mas Haryo itu sudah seperti kakak kandungku. Orangnya sangat ngemong. Rumah kami hanya terpaut 2 rumah. Aku sering main ke rumahnya sejak kecil. Dan ketika ia dibelikan gitar oleh ayahnya, pak De Tino, mas Haryo langsung mengutak-atik gitarnya terus sendiri..hingga akhirnya Mas Haryo pintar main gitar secara otodidak. Aku kemudian sering disuruh menyanyi, dan ia mengiringi ku dengan petikan gitarnya. Ingatanku mengingat, mungkin saat itu aku masih duduk di kelas dua SD dan mas Haryo kelas 6 SD. Disitulah aku menyadari kemampuanku menyanyi. Mas Haryo selalu bilang, suaraku bagus. Mas Haryo meninggalkan Jogja saat ia akan kuliah ke Jakarta, sekitar empat tahun yang lalu. Dan saat itu aku baru naik kelas tiga SMP. Aku sebenarnya sangat sedih kehilangan mas Haryo, ia seperti Abang kandungku sendiri. Ketika ia berangkat ke Jakarta, tangisku pecah mengiringi kepergiannya.
Satu hal tentang mas Haryo, dia itu calon dokter, dia kuliah di universitas negeri nomor satu di negeri ini. Dan hal kedua tentangnya. Dia ganteng, bayangkan Michael Buble tapi versi Indonesia. Perawakannya pun tinggi mungkin sekitar 175 cm.
Mbak Indah menghampiri kami berdua, kemudian diikuti dengan yang lainnya. Aku melihat ada Bu de Ani, istri pakDe Tino juga sudah ada disitu. Satu yang kuperhatikan mata tajam Ziyad memandangku dengan pandangan yang sukar untuk aku lukiskan. Seperti pandangan marah dan sebal. Air mukanya benar benar berubah, tidak seramah ketika tadi ia mengantarkan aku dan ibu ke masjid.