1. Riko, Raska, Rendi, dan Randra
Prang! Dug, dug, dug. Sebuah bola basket berhasil masuk ke dalam ring berwarna merah. Terhitung sudah tiga puluh kali bola itu mendarat kembali ke tanah setelah masuk ring itu. Seorang gadis berkaca mata berhenti berjalan di depan kelas. Ia membetulkan letak buku-buku yang sedang ia bawa dan tanpa sengaja melihat seorang remaja laki-laki berlari untuk mengambil bola basket di lapangan. Pipi gadis itu merona ketika wajah remaja laki-laki itu tertangkap oleh kaca mata minus tebalnya. Ia terpesona dengan wajah remaja laki-laki itu sampai melupakan tumpukan buku yang sedang ia bawa.
"Masukin lagi, Ko!" seru remaja laki-laki lain yang berdiri di samping tiang bendera. Riko si pengambil bola tadi, berlari sambil memegang bola basket yang sudah ia masukan sebanyak tiga puluh kali.
"Udah ya Bang. Aku udah masukin tiga puluh kali. Semuanya masuk ke dalam ring kok" kata Riko, menyerahkan bola basket penuh debu kepada Beni. Beni adalah kakak kelas Riko sekaligus kapten basket di sekolah. Beni terkenal sangat disiplin dan tegas saat latihan basket, mungkin efek dia menjadi kapten tim basket. Meskipun begitu, di luar lapangan Beni bisa menjadi kakak kelas yang menyenangkan.
"Kenapa? Baru tiga puluh kali. Kamu lupa kita ada lomba tiga minggu lagi?"
"Tidak mungkin lupa, Bang" jawab Riko sambil melihat gadis berkaca mata berjalan menuju perpustakaan membawa setumpuk buku tebal. Melihat caranya berjalan sambil membawa banyak buku tebal, membuat Riko tiba-tiba merasa iba pada gadis itu. Jika Beni langsung mengizinkan Riko selesai latihan lebih awal, ia akan berlari dari lapangan untuk membantu gadis itu membawa buku.
"Oya, aku lupa memberitahumu. Kamu dipilih pelatih untuk menjadi pemain utama"
"Apa?! Kenapa harus aku? Masih banyak pemain lain yang lebih hebat dariku"
"Entahlah, itu sudah keputusan pelatih. Kalau aku yang menjadi pelatih, sudah pasti tidak akan memilihmu"
"Nah! Tolong Abang bujuk pelatih agar membatalkan aku menjadi pemain utama. Minggu-minggu ini aku sangat sibuk. Please Bang, ya-ya-ya?"
Tak! Beni sukses menjitak kepala Riko cukup keras. Membuat si empu kepala sempat merasakan keliyengan beberapa saat.
"Kebiasaan! Ngomong seenak perut!"
"Lah! Bang Beni kan kapten tim basket dan Abang juga sangat dekat dengan pelatih"
"Sejak kapan kapten tim tidak dekat dengan pelatihnya, hah?"
"Lariku tidak cepat, Bang"
"Itu karena kamu terlalu lama duduk di depan laptop dan mengedit banyak video aneh-anehmu. Mulai sekarang kurangi pekerjaan itu. Apa namanya? Aku lupa"
"Video Creator"
"Iya itu. Berhentilah mengedit video sementara dan fokus latihan dulu"
"Jangan, Bang! Bisa tamat nanti hidupku. Aku mengedit video untuk mencari uang Bang. Abang lupa dulu aku pernah cerita soal pekerjaanku itu sambil menangis di depan perpustakaan?"
"Kamu membuatku ketakutan dan sangat malu waktu itu. Sudahlah jangan diungkit lagi cerita itu. Aku bisa sedih jika mengingatnya" Beni mengusap wajahnya. Padahal wajahnya masih bersih. Belum terkena debu lapangan dan tidak banyak timbul keringat di sana. Beni melakukan itu karena teringat lagi dengan kejadian dua bulan yang lalu saat Riko menceritakan tentang pekerjaannya.
Dua bulan yang lalu Riko curhat tentang pekerjaan barunya sebagai Video Creator untuk mencari uang. Ibunya meninggal secara mendadak karena kecelakaan dan ayahnya menjadi depresi sampai tidak peduli lagi pada pekerjaannya. Toko keluarga yang sudah maju terancam gulung tikar. Hal tersebut menyebabkan Riko memilih sekolah sambil bekerja untuk berjaga-jaga jika kebangkrutan melanda. Ia memilih bekerja sebagai Video Creator karena pekerjaan itu sangat populer di kalangan anak muda. Beni bekerja pada youtuber muda terkenal.
Beni melempar bola basket kembali kepada Riko. Refleks Riko menangkapnya dengan cepat. Ia melihat sang kapten berlari-lari sambil memberi isyarat tangan untuk melempar bola kepadanya. Kaki Riko menyusul sang kapten berlari sambil tangannya mendrible bola basket. Saat akan bersiap-siap melempar bola itu, Riko kebingungan mencari sosok kapten yang tiba-tiba tidak ada di depannya. Ternyata saat Riko sibuk memantulkan bola, Beni sudah berlari jauh di belakang Riko. Dari belakang ia berhasil merebut bola basket dari tangan Riko dan membawanya pergi. Riko yang kelabakan justru berteriak malas.
"Oh, ayolah! Aku harus segera pulang!"
"Rebut bolanya dan masukkan kembali ke dalam ring. Jika kamu berhasil aku akan mengizinkanmu pulang"
"Bang Beni kesambet apa, sih! Biasanya juga langsung diizinkan setelah memasukkan bola tiga puluh kali. Tumben-tumbenan pakai ritual merebut bola segala"
"Ayo rebut bolanya! Kasihan Raska. Dia pasti sudah menunggumu di rumah"
Riko seketika berlari kencang mengejar Beni. Perkataan sang kapten yang membawa nama Raska membakar semangatnya. Raska adalah adik kandung Riko. Dia bersekolah di SMP di samping SMA Riko. Riko yakin Raska sudah sampai di rumah dan sudah menunggu kepulangannya di teras rumah. Sejak Ibu meninggal, Raska, sang adik, memiliki kebiasaan menunggu Riko pulang di teras rumah. Semalam Riko berkata kepada Raska, dia akan pulang setengah jam setelah Raska sampai rumah. Namun, ini sudah setengah jam ditambah setengah jam lagi. Riko sudah membuat adiknya menunggu selama satu jam. Ia merasa menjadi kakak yang buruk.
"Bang Beni benar-benar memperburuk suasana!" seru Riko berusaha merebut bola di tangan Beni. Gerakan mendrible bola Beni sangat gesit dan larinya pun cepat. Dengan susah payah Riko terus mengejar Beni. Sambil saling berebut bola, mereka mulai berbicara satu sama lain.
"Apa Raska akan marah?"
"Abang tahu, semalam aku sudah berjanji pada Raska sampai di rumah setengah jam setelah bel pulang SMP berbunyi"
"Sekarang sudah lewat satu jam"
"Ya! Semalam setelah mengatakan itu aku meminta Raska menghukumku melakukan apapun jika aku terlambat"
"Raska pasti menolaknya karena tidak tega pada kakaknya"
"Tentu saja. Raska selalu begitu"
"Adikmu sangat berbeda denganmu. Dia memiliki hati yang lembut"
"Selembut hati Ibu!"
Riko berhasil merebut bola dari gerakan mematikan Beni. Beni terkenal dengan gerakananya mengecoh lawan dan juga kecepatan lari di atas rata-rata. Lari Riko yang kecepatannya standar tentu tidak sebanding dengan kemampuan hebat Beni memainkan bola. Sebenarnya tadi Beni sengaja mengalah. Ia merasa kasihan kepada Raska karena harus menunggu Riko satu jam. Ia sudah membuat Riko terlambat satu jam untuk menemui Raska.
Riko berhenti di tengah lapangan untuk mengatur napas. Ia mengelap keringat yang mengucur dari kedua pelipisnya sambil bersiap-siap untuk melempar bola ke dalam ring. Riko berhasil memasukkan bola basket itu ke dalam ring dalam jarak sejauh itu. Beni tersenyum bangga dari pojok lapangan, masih di tempat kejadian perkara bolanya terebut oleh Riko. Ia kemudian berlari untuk mengambil bola dan kembali berjalan menemui Riko.
"Kamu pemain dengan kecepatan berlari rata-rata, sehingga kemampuanmu merebut bolapun ikut pas-pasan"
"Cepat keluarkan izinnya Bang dan aku akan meninggalkan lapangan ini"
"Tapi kamu tidak pernah gagal memasukkan bola ke dalam ring. Sebagian besar lemparanmu tepat sasaran. Karena itu pelatih selalu memilihmu dan tentu aku menyetujuimu untuk ikut bertanding. Kamu adalah pahlawan pencetak skor"
"Bang Beni sudah mengatakan itu berkali-kali. Aku sudah tahu kalimat apa yang akan Abang keluarkan selanjutnya, dadah!" tanpa menunggu Beni mengeluarkan kalimat selanjutnya, yaitu izin untuk pulang latihan lebih awal, Riko sukses berlari menuju kelas. Beberapa detik kemudian ia terlihat keluar kelas sambil menggendong tas. Riko memandang lapangan basket lagi untuk melambaikan tangan kepada Beni.
"Sampaikan salamku pada Raska!" seru Beni tidak terlalu keras tapi mampu didengar baik oleh Riko. Riko mengangguk tersenyum lebar. Setelah itu, ia bergegas berlari menuju ke tempat parkir. Beni masih memandang kepergian Riko, adik kelas yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri sampai punggung lebarnya berbelok ke kiri dan menghilang. Baru kemudian Beni membunyikan peluit untuk mengumpulkan para pemain lain yang sedari tadi sibuk sendiri.
"Riko kemana, Bang?"
"Barusan pulang"
"Pulang?! Kok Riko sudah pulang?"
"Biasa, tanggal 7. Ada urusan keluarga. Dia sudah memasukkan bola tiga puluh kali seperti biasa dan semuanya masuk ke dalam ring"
"Dia memang hebat kalau urusan memasukkan bola. Lemparannya tidak pernah salah sasaran. Tapi Bang, aku perhatikan tidak hanya setiap tanggal 7 Riko izin pulang latihan lebih awal"
"Ya, aku setuju dengan Soni. Tanggal 17 dan 27 kemarin Riko juga izin pulang latihan lebih awal"
"Kamu benar! Setiap tanggal ada angka tujuhnya. Riko izin pulang latihan lebih awal. Kalau tidak salah setiap tanggal 7, 17, dan 27"
"Sebenarnya ada apa, Bang? Abang pasti tahu, kan?"
Tentu saja Beni tahu. Beni sudah mengetahuinya dulu di depan perpustakaan sambil curhat masalah pekerjaan itu. Riko juga meminta izin untuk pulang lebih awal setiap tanggal 7, 17 dan 27. Beni meniup peluit lagi untuk mengalihkan perhatian dua pemain yang bertanya dengan pertanyaan bak detektif itu. Alasan Riko pulang latihan lebih awal setiap tanggal dengan angka tujuh hanya boleh Riko, Beni, dan Tuhan yang tahu.
Riko mengendarai sepeda motor dengan kencang. Ia menyalip beberapa kendaraan dengan kalang kabut. Beberapa meter di depannya terdapat sebuah perempatan jalan dengan lampu lalu lintas menyala kuning. Bukannya menginjak rem untuk bersiap-siap berhenti, Riko justru menambah kecepatan motornya. Namun, tiba-tiba saja sebuah suara tidak asing muncul di dalam telinganya yang tertutup helm.
"Bang, mulai hari ini jangan ngebut-ngebut ya. Jangan sampai kecelakaan seperti Mama"
Kalimat itu adalah kalimat yang Raska katakan seminggu setelah Ibu meninggal. Suara itu lenyap dan Riko seketika menginjak rem sekuat tenaga. Riko berhasil berhenti tepat di belakang garis penyeberangan. Lampu sudah menyala merah. Riko memandangnnya dengan mata nanar. Setelah ibu meninggal Raska semakin over kepada gaya bersepeda motor Riko yang terkenal ngebut-ngebutan. Itu menjadi alasan Raska tidak pernah mau menerima ajakan Riko berangkat bersama ke sekolah. Padahal letak sekolah mereka berdampingan.
Rikopun mematuhi perintah adiknya. Ia tidak ingin menambah beban sang adik karena terlalu mengkhawatirkannya. Lampu menyala hijau dan dengan perlahan Riko mengegas motor untuk kembali berjalan. Riko melanjutkan perjalanan tanpa bisa lepas dari bayang-bayang Raska menunggunya di teras rumah. Ia memutuskan untuk menaikkan sedikit kecepatan motornya. Tidak lama, kecepatan itu berubah menjadi kecepatan Riko biasa mengebut.
"Maaf Ras, Abang ngebut lagi. Tapi Abang ngebut demi kamu" ucap Riko dengan suara hati menyesal.
Sesuai percakapannya bersama Beni saat latihan basket, Raska benar-benar menunggu Riko di teras rumah. Ia sudah duduk di kursi kayu yang berada di teras selama satu jam. Raska duduk sambil memangku kucing kecil berbulu oren yang dia beri nama Rako. Rako adalah kucing campuran kesayangan Raska dan juga Riko. Kucing itu dibeli Riko untuk hadiah ulang tahun Raska beberapa bulan yang lalu. Raska sendiri yang memberinya nama Rako. Rako adalah singkatan dari nama Raska dan Riko. Rako ikut menunggu kepulangan Riko sambil mendengkur di pangkuan Raska.
"Dek!" teriak seseorang dari dalam rumah. Suara teriakan seseorang itu sangat keras ditambah lagi suara seseorang itu memiliki nada yang mengagetkan.
"Iya Bang!" jawab Raska. Ia mencoba berteriak juga, tapi sejak kecil Raska memiliki suara yang lirih. Bahkan suara teriakan Raska barusan sama sekali tidak menghentikan dengkuran halus Rako. Kedua telinga mungil Rako sama sekali tidak bergerak. Tapi, Rako sudah menggoyang-goyangkan ekornya sejak tadi.
"Bang Riko sudah sampai rumah belum?!"
"Belum Bang!"
"Coba kamu WA lagi aja!" teriak suara lain yang nadanya sedikit berbeda. Suara yang kedua ini terdengar lebih kalem meskipun intonasinya sekeras suara yang pertama.
"Oke Bang!" Raska segera mengambil benda persegi panjang pipih di atas meja di depannya. Rako terlihat tertekuk dan tenggelam di perut rata Raska. Raska mengusap layar smartphonenya dengen perlahan. Ia sedikit kecewa tidak ada balasan WA dari Riko. Bahkan pesannya beberapa menit yang lalu belum dibalas oleh abangnya. Raska menaruh ponselnya ke atas meja lagi dengan punggung yang berjengit. Ia kaget mendengar suara benda jatuh. Pasti dari dapur, batin Raska.
"Rendi! Sudah Abang bilang kalau tutup wajan itu panas! Masih saja dipegang"
"Sorry Bang, aku lupa"
"Lupanya awet dari dulu"
"Ya namanya juga lupa, Bang. Lupa kan datangnya selalu tiba-tiba. Tidak bisa muncul begitu saja kecuali direncanakan"
"Kalau itu namanya berbohong untuk lupa"
"Nah, Abang ternyata tahu"
"Abang dari kecil kan pintar"
"Pantes besarnya jadi dokter"
"Kamu ke depan saja, biar Abang yang membungkus sendiri bekalnya. Temani Raska saja di teras"
"Oke Bang Randra! Aku siap melaksanakan perintah!"
Randra tertawa sedikit melihat gaya menjawab Rendi yang seperti perajurit tentara. Apalagi sekarang ia memakai kaos bermotif seragam tentara. Bahkan Rendi sampai memberi hormat tangan kepada Randra. Sejak kecil Rendi memang bercita-cita menjadi perajurit tentara. Ia ingin menjadi pahlawan untuk keluarganya, juga untuk bangsa dan negara. Rendi sudah latihan sejak kelas enam SD bersama teman ayah yang seorang tentara. Sampai sekarang pun ia masih sering berlatih. Namun, hanya tinggal berlatih berlari saja. Di usianya yang menginjak dua puluh tahun ini, Rendi masih terus berlatih untuk mengejar cita-citanya.
Randra menatap punggung berlapis kaos motif tentara Rendi dengan mata nanar. Andai ibu masih ada. Andai kecelakaan itu tidak terjadi. Andai ayah bisa lebih ikhlas merelakan ibu pergi. Mungkin sekarang Rendi sudah bersekolah tentara dan dalam perjalanan untuk meraih impiannya menjadi pahlawan keluarga, bangsa, dan negara. Randra menggelengkan kepala ketika suara Rendi tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Suara Rendi terdengar bergetar karena waktu itu Rendi berbicara sambil menahan tangis.
"Aku akan bekerja dulu untuk membantu Ayah dan Abang. Setelah itu aku akan mendaftar sekolah militer"
"Tapi Ren, ada batasan umur untuk mendaftar..."
"Tidak apa-apa, Bang. Aku melakukannya demi kalian. Abang fokus lanjut profesi dulu, kalau bisa sekalian ambil spesialis. Sebagai anak pertama Abang harus sukses lebih dulu. Abang harus menjadi contoh untuk adik-adikku dan juga aku. Aku akan menyusul Abang setelah Abang sukses. Jangan khawatir Bang. Aku tidak apa-apa. Itu semua sudah keputusan yang aku buat sendiri dan sudah aku pikirkan secara matang. Sebagai calon perajurit tentara, pantang bagiku untuk tidak melakukan keputusan yang sudah aku buat"
Bangga dan sedih, itulah perasaan yang Randra alami sekarang. Perasaan itu sama seperti perasaan waktu mendengar perkataan Rendi beberapa tahun yang lalu secara langsung.
"Terima kasih Ren, kamu sudah bersedia mengalah demi Abang. Kamu rela mempertaruhkan impian kamu demi Abang"
Suara rem motor yang berdecit mengagetkan Rako yang tertidur nyenyak di atas paha Raska. Rako langsung menyembulkan kepalanya. Matanya berkedip-kedip menggemaskan, kemudian menguap dengan mulut ekstra dilebarkan. Telinganya bergerak-gerak lucu sambil memperhatikan Riko turun dari sepeda motor dan memakirkan sepeda motornya di halaman.
"Abang terlambat satu jam" kata Raska, dengan masih santai duduk di atas kursi kayu. Tangannya mengelus kepala mungil Rako yang sudah sepenuhnya terbangun.
"Abang tahu"
"Abang ngebutkan?"
"Enggak ngebut kok"
"Bohong"
"Abang nggak ngebut"
"Nggak percaya'
"Ya udah kalau nggak percaya"
"Beneran?"
"Iya beneran"
"Berani sumpah?"
Sejak kecil Riko tidak pernah suka dengan hal-hal berbau sumpah. Karena ia cenderung orang yang selalu menaati perkataannya sendiri. Riko terdiam cukup lama. Rendi yang berdiri tegap di samping kursi Raska sampai memberinya tatapan mengintimidasi. Riko selalu tidak nyaman dengan tatapan itu. Ia tidak pernah suka abang memberinya tatapan mengintimidasi seperti itu. Karena Rendi selalu memandanganya dengan ekspresi wajah serius seperti perajurit tentara yang galak.
"Jangan menatapku begitu kenapa, Bang. Kayak menatap penjahat saja"
"Memang kamu penjahat"
"Tega banget. Aku kan Riko, adik Abang yang paling tamvan"
Raksa tertawa cekikikan. Rako sampai menengok ke atas untuk memastikan keadaan majikannya. Melihat senyuman menenangkan Raska, kucing itu malah kembali menggulung tubuhnya untuk menutup mata. Rako melanjutkan tidur dengan santai. Tidak hanya Rako yang merasa tenang karena senyuman Raska. Riko dan Rendi sangat senang melihat Raska bisa tersenyum seperti ini. Sejak ibu meninggal, Raska jarang memunculkan senyum menyenangkannya itu lagi.
"Suara Abang mengerem motor terdengar sampai di sini. Abang hanya mengerem seperti itu kalau sedang ngebut"
"Hebat! Kamu berbakat jadi detektif, Dek! Kalau kamu sudah sehat, besok sekolah detektif saja, Dek!"
"Ngomongin apa sih kalian ini. Aku mau masuk ganti baju. Kita mau jalan-jalan kan?"
"Kirain lupa"
"Yuhuuu"
Riko melenggang masuk. Rendi memutuskan untuk duduk di samping Raska, karena tiba-tiba saja wajah Raska menjadi murung. Raska sampai berhenti mengelus kepala Rako. Untung saja Rako sudah kembali tertidur. Suara dengkuran halus pun terdengar lagi. Raska memasang wajah murungnya sambil melihat Rako tertidur.
"Kenapa, Dek? Kok tiba-tiba wajahnya jadi murung begitu?"
"Bang..."
"Hm?"
"Tolong bilang ke Bang Riko supaya jangan ngebut lagi. Aku takut Bang Riko kecelakaan. Sama seperti..."
"Shhh...udah-udah. Tenang saja, biar nanti Abang marahi Bang Riko"
"Jangan dimarahi, dinasihati saja supaya tidak ngebut lagi. Aku khawatir sekali, Bang"
"Iya, Raska tenang saja. Abang janji Abang pasti buat Bang Riko tidak ngebut lagi dan berhenti ngebut" kata Rendi sambil menyentuh kepala Raska dan menempelkannya pada pundak tegapnya. Raska selalu kelihatan kecil jika bersandar di tubuh Rendi. Ketekunan Rendi sejak kecil latihan untuk menjadi tentara, menghasilkan tubuh yang kekar seperti sekarang.
"Tenang ya. Raska tidak perlu khawatir lagi"
Raska hanya menganggukan kepala pasrah. Ia kemudian menutup kedua matanya perlahan. Raska benci ini. Setiap merasa khawatir pada sang kakak, tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas. Dilanjutkan napas yang mulai tidak teratur dan kepala yang tiba-tiba berdenyut-denyut. Raska memegang kepalanya. Tiba-tiba saja kepalanya dipenuhi suara aneh yang membuat kedua telinganya berdenging. Raska semakin menyenderkan kepalanya pada pundak Rendi. Ia menenggelamkan wajahnya di d**a Rendi.
"Dek?"
Isakan kecil berhasil keluar dari bibir tipis Raska. Rendi membulatkan mata melihat punggung Raska yang naik turun karena sesak napas. Rako kembali bangun merasa tidak nyaman paha sandaranya tidur bergetar. Rendi mengangkat Rako dan menaruhnya di atas meja. Tangan berotot Rendi langsung memeluk seluruh tubuh Raska yang sudah bergetar hebat. Raska masih terisak. Ia terlihat menahan semua tangisannya.
"Dek? Bisa dengar suara Abang?" Raska tidak menjawab. Tubuh kecil nan kurus Raska perlahan melemas di pelukan Rendi. Meskipun tubuhnya lemas, air mata Raska justru semakin deras mengalir. Rendi semakin panik.
"Dek, ada apa?"
"Dek..." perkataan Rendi terhenti melihat ponsel Raska bergetar memunculkan notifikasi pesan. Tanpa sengaja Rendi melihat angka tanggal di pojok kiri atas. Hari ini adalah hari rabu dengan tanggal 7. Kedua bola mata Rendi semakin melebar bahkan melotot seperti akan keluar dari tempatnya. Rendi memeluk tubuh Raska semakin erat. Ia panik karena tubuh Raska semakin memberat di tubuhnya. Kepala Raska terkulai dan bersandar sepenuhnya pada d**a Rendi.
"Raska?! Jawab Abang. Kamu masih sadar kan, Dek?" Raska tidak bisa menjawab lagi. Suara Rendi menjadi dengungan menyesakkan di telinga Raska. Bahkan, membuat kepala Raska semakin sakit. Rendi terlambat. Mata Raska terpejam erat. Ia sudah kehilangan kesadaran. Rendi membetulkan tubuh Raska yang sudah tidak bertenaga, bersiap-siap untuk membopong adiknya.
"s**l. Tanggal 7 s****n! Bang Randra!!!" umpat Rendi ketika berhasil membopong tubuh sang adik. Rendi berlari tergesa-gesa sambil membawa Raska yang sudah tidak sadarkan diri masuk ke dalam rumah, diikuti Rako yang juga mengikuti langkah majikannya berlari.
Terima kasih sudah membaca.
Halo, perkenalkan aku Murti Ocha. Ini cerita pertamaku di Dreame.
Semoga suka, ya!