Pagi yang cerah dan suasana yang ramai di setiap penjuru jalanan kota Surabaya. Tampak gadis berhijab hitam dan kemeja putih serta celana kain hitam, dengan sepatu di kakinya sedang berjalan di sebuah trotoar dan dengan langkah yang agak sedikit berlari-lari kecil dan sesekali dia menyenandungkan sholawat di bibir mungilnya. Namun di balik semua itu tidak ada yang tahu keadaan sebenarnya dirinya, dia mengidap suatu penyakit yang sangat mematikan, dan dia juga memiliki satu organ tubuh yang seharusnya ada dua, tidak seperti orang lain yang terlihat lemah dan terkulai di kasur, hal itu tidak berlaku bagi Viana. Gadis itu sangat tegar dan sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia tengah mengidap sebuah penyakit, ya meski tidak menular tapi sakit yang dia derita sewaktu-waktu bisa saja membuatnya hilang dari dunia ini, namun lihatlah dengan keagungan dan kebesaran Allah SWT, dia masih tegar dan kokoh seperti tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Sesekali dia akan merasakan sakit di pinggang dan juga terkadang juga akan membuat bagian kulit di tubuhnya membiru seperti habis di cubit, dan siapa yang tahu jika rambut di balik hijabnya itu semakin tipis akibat kemoterapi yang sering ia jalani. Namun dia selalu bersyukur dan tegar atas usia yang masih Allah berikan pada dirinya saat ini. Terkadang Viana juga merasa sedih, itu manusiawi kan? Dimana dia menginginkan ada seseorang keluarga yang bisa dia sandari di saat rasa sakit itu datang, namun itu mustahil, dia berpikir hanya Allah yang sayang padanya sampai kapan pun. Sesampainya di restoran tempatnya bekerja dia masuk dan seperti biasa dia di sambut senyuman oleh karyawan lainnya, meski dia hanya bekerja sebagai tukang cuci piring di sana, namun semua orang di sana tak pernah membedakan status pekerjaan mereka bahkan terkadang koki di sana meminta bantuan Viana untuk membantunya memasak, hal itu juga tidak masalah bagi asisten koki lainnya, mereka memang sangat menyukai karakter Viana yang ramah ceria dan juga tegas. Yah hanya para teman dekat saja yang tahu jika Viana jago bela diri karena saat di sekolah menengah pertama dia sudah aktif mengikuti ekstrakurikuler bela diri.
“Vi, nanti kamu tolong antar makanan ke meja nomor dua belas ya?” ucap salah seorang.
“Tapi, Mbak aku kan bukan pramusaji, aku takut salah atau bahkan nanti aku menumpahkan makanannya,” ucap Viana.
“Ya, ampun Viana, kamu ini ngomong apa sih, sudah sana, kamu lihat di depan sangat ramai pengunjung, pramusaji kita kewalahan,” ucap koki di sana.
“Tenang, Vi. Nanti kami bantu cuci piringnya.”
Viana mengangguk dan tersenyum. Inilah yang membuatnya betah bekerja di sini, meskipun ini restoran bintang lima, tak pernah sekalipun para pekerja membandingkan status pangkat mereka, karena pemilik restoran ini mengedepankan kenyamanan para pegawainya karena jika pegawainya rukun dan saling percaya makan pelayanan yang di berikan pada pengunjung akan sangat baik.
“Ganti baju dulu, Vi. Ini ganti di loker cepat tidak pakai lama.” Ucap manajer restoran ini.
“Siap, Bu,” ucap Viana seraya menerima baju tersebut.
“Bu, maaf jika saya salah bicara. Bagaimana jika Ibu mengusulkan Viana agar menjadi pegawai tetap di sini, misalnya menjadi pramusaji,” ucap Bu Ani salah satu koki.
“Saya sudah mengusulkan dia, maka dari itu tadi saya menyuruh Ika agar Viana mengantarkan makanan ke depan, karena orang yang duduk di sana adalah pemilik restoran ini,” ucap sang manajer.
“Yang benar, Bu?” tanya Ika.
“Yap.”
“Alhamdulillah, semoga Viana bisa naik jabatan.”
“Jabatan apa,?” Tanya salah seorang.
“Jadi kayak kita lah, pramusaji. Masa dia jadi tukang cuci piring terus kasihan kan, dia itu multitalenta.”
“Yah, kamu benar.”
Setelah selesai berganti pakaian, Viana di minta mengantarkan makanan ke meja yang sudah di tunjukan oleh sang manajer. Dengan langkah anggunnya Viana membawa nampan berisi makanan dengan sangat cekatan dan juga baik, di saat yang lain harus ikut tes dan harus menjalani bimbingan untuk menjadi seorang pramusaji, namun Viana tidak perlu menjalani semua itu karena dia memang sangat cekatan dalam segala hal, meski dia hanya lulusan sekolah menengah atas tapi dia sangat pandai dalam segala hal, namun hal itu sama sekali tidak membuat sesama pegawai di sana kesal atau apa, justru mereka sangat senang akan hal itu. Viana mendekat dengan senyum ramah di bibirnya dia menyajikan makanan di atas meja dengan cekatan. Saat Viana ingin berpamitan kepada pengunjung tersebut wanita itu meminta Viana untuk duduk.
“Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa, karena tugas saya hanya menggantikan teman saya yang sekarang ini sedang tidak enak badan,” tolak Viana dengan lembut dan senyumannya.
“Saya tahu, tadi saya sudah meminta ijin pada manajer mu.” Ucap wanita itu.
Viana akhirnya duduk di kursi sebelah wanita tersebut.
“Maaf, Nyonya. Apa ada yang salah dengan cara penyajian saya tadi?” ucap Viana.
“Siapa nama kamu, Nak?”
“Viana, Nyonya.”
“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?’”
“Hampir satu tahun, Nyonya.”
“Kamu bekerja di bagian apa? Saya lihat kamu bukan pramusaji yang profesional,” ucap wanita itu.
“Saya hanya seorang pencuci piring, dan karena hari ini pengunjung sangat ramai jadi manajer saya meminta saya membantu menyajikan makanan kepada pengunjung,” ucap Viana seraya menunduk dia merasa takut.
“Oh, Begitu. Apa kamu senang bekerja di sini?”
“Hah?” ucap Viana seraya mendongakkan kepalanya. “Iya, Nyonya saya sangat senang bekerja di sini, karena semua karyawan di sini tidak membedakan antara satu sama lain, meski pekerjaan kita tidaklah sama,” ucap Viana.
“Apa kamu tidak ingin pekerjaan lainnya selain cuci piring?” tanya wanita itu.
“Tidak, Nyonya,” ucap Viana tegas. Namun hal itu berbanding terbalik dengan hatinya, dia sangat ingin bekerja sebagai pegawai lainnya dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Karena selama jadi tukang cuci piring hanya cukup untuk menghidupinya sebulan, dan kini dia harus ekstra hati-hati dalam mengeluarkan uang karena dia harus menjalani pengobatan dirinya. Terkadang dia juga mengambil pekerjaan jadi buruh cuci dari rumah ke rumah demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Kenapa kamu tidak mau?” tanya wanita itu.
“Karena saya hanya lulusan sekolah menengah atas, dan saya juga merasa sangat senang orang dengan ijazah seperti ini bisa masuk di restoran besar seperti ini, jadi saya tidak mungkin bisa menjadi lebih dari ini.”
“Kamu yakin?”
“Maksud Nyonya?”
“Apa kamu tahu siapa pemilik restoran ini?”
“Saya tidak tahu Nyonya.”
“Ya sudah, kamu kembalilah bekerja.”
“Baik Nyonya, saya permisi, selamat menikmati hidangan kami,” ucap Viana serasa membungkuk sebelum pergi.
“Bagaimana, Vi?” tanya Ika.
“Apanya, Mbak?”
“Tadi kan kam-“ ucapan Ika terpotong karena kedatangan sang manajer.
“Vi, ini ada surat buat kamu. Nanti bukanya di rumah kamu saja ya jangan di sini.” ucap manajer.
“Dan kalian kembali bekerja masih banyak pekerjaan hari ini dan jangan bergosip atau bercanda saat bekerja.”
“Baik, Bu,” ucap semua serempak.
Hari yang melelahkan bagi Viana. Hari ini dia di tugaskan sebagai pramusaji oleh manajer nya, bukannya tidak suka hanya saja badannya sangat lelah untuk dua pekerja sekaligus, meski mencuci piring juga di bantu teman lainnya namun tetap saja kondisi fisiknya tidak mendukung. Sesampainya di kostan dia menemui Rani sedang duduk di teras mengobrol dengan tetangga mereka. Viana mendekat dan memberi salam lantas dia masuk dan membersihkan diri dan segera menjalankan kewajiban sebagai umat muslim.
Setelah semua rutinitas sorenya usai dia duduk di depan bersama Rani.
“Amplop apa itu, Vi?” tanya Rani.
“Entah tadi manajer aku yang memberikan,” jawab Viana.
“Coba buka.”
“Aku takut, Ran.”
“Kenapa takut? Sini aku yang buka,” ucap Rani seraya merebut amplop itu dari tangan Viana.
Perlahan Rani membuka amplop itu dan membuka sebuah kertas di dalamnya, namun sebelum Rani benar-benar membuka kertas tersebut, datang seorang kurir dengan sebuah kotak berwarna coklat tua, dan itu di tujukan kepada Viana. Viana membuka kotak tersebut dan dia kaget mengetahui isinya adalah sebuah seragam restoran tempat dia bekerja, Viana saling pandang karena merasa heran, dan tak lama kemudian Rani ingat akan amplop yang tadi.
“Ahhh...Vi! Selamat mulai besok kamu bekerja sebagai pramusaji di restoran RaNam,” pekik Rani.
“Hah, coba lihat,” Viana mengambil amplop dari tangan Rani dan membacanya. Dia senang bukan main mengetahui isi amplop tersebut, karena sebelumnya dia mengira jika amplop tersebut adalah surat pemecatan dirinya.
“Tapi, Vi. Apa kamu tidak apa-apa, bekerja jadi pramusaji kan harus sering berjalan bolak-balik nanti kamu kelelahan, sementara kondisi kamu seperti ini,” ucap Rani.
“Insyaallah aku kuat, Ran. Dan dengan begini aku bisa mendapatkan lebih uang untuk pengobatan ku.”
“Kamu tidak ada niatan buat menemui orang yang sudah mendapatkan donor ginjal darimu, siap tahu kan sumsum tulang belakang dia cocok denganmu dan bisa saja kamu memintanya untuk mendonorkannya untukmu,” ucap Rani.
“Aku tidak bisa, Ran,” ucap Viana menunduk.
“Apa karena Ariana dan Ibumu? Aku heran sebenarnya Bu Rita itu Ibumu kandungmu bukan, sih?”
“Jangan membicarakan mereka, Ran. Mereka saja tidak peduli padaku. Kenapa aku harus peduli pada mereka.”
“Tapi, Pak Andika kan sangat menyayangi kamu, Vi. Apa kamu tidak mau membicarakan penyakitmu itu padanya?”
“Aku tidak mau membebani siapa pun, Ran,” ucap Viana.
“Ya, termasuk aku, andai kata kapan hari aku tidak mendapatimu pingsan, aku juga tidak akan tahu keadaanmu yang sebenarnya,” ucap Rani seraya mengerucutkan bibirnya.
“Ulu ulu nesu wes, nesu. Kono lek nesu nang kali kono, ojok gek ngarepku,” ucap Viana.
“Mboh wes, Vi."
Mereka akhirnya masuk ke dalam rumah dengan Rani yang sedang mengambek pada Viana. Rani tidak benar-benar marah pada Viana hal itu untuk menutupi agar air matanya tidak jatuh saat mengingat sahabat nya mengalami keterpurukan akan keadaan dirinya dan juga keluarganya.