Bab 3

1699 Words
Pagi yang cerah tampak burung berkicau dengan merdunya, dan membuat siapa pun merasa nyaman, namun lain halnya dengan Viana di pagi seperti ini dia sudah menyelesaikan semua tugas rumah, meski dia baru keluar rumah sakit dua minggu lalu, tapi hal itu tidak jadi penghalang baginya untuk melakukan pekerjaan rumah. Ya, dia tinggal di rumah pak Andika bersama keluarganya dia ingin kembali ke kostan karena Rani kemarin datang ke rumahnya yang khawatir tentang dia yang tiba-tiba menghilangkan sejak hampir dua bulan lalu, namun ayahnya meminta dia agar tetap tinggal di sini selama masa pemulihan dirinya. “Vi, kapan kamu pergi dari sini?” ucap Ariana. “Insyaallah besok, Mbak.” “Bagus, jangan lama-lama tinggal di sini. Malas aku lihat mukamu,” ucap Ariana. Viana menghela nafasnya, entah ia harus berbuat apa lagi menghadapi kakak tirinya itu, apalagi Bu Rita ibunya sendiri lebih membela kakak tirinya di bandingkan dia, sebenarnya siapa yang anaknya, sih? Entahlah Viana hanya bisa bersikap tak peduli, karena itu lebih baik baginya. Viana memasuki kamarnya dia ingin merapikan pakainya dia memutuskan untuk pergi hari ini juga. Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan pintu. “Ibu, ada apa?” “Kenapa kamu selalu menyusahkan aku, Vi? Kamu memang sengaja tinggal di sini berlama-lama?” “Apa maksud, Ibu?” tanya Viana. “Kamu sakit dan tidak memberi tahuku, dan kamu tahu suamiku menyalahkan aku dan Ariana, dia pikir kami yang menyebabkan kamu seperti itu. Jadi aku minta kamu jangan lagi ganggu keluarga ini lagi, kamu itu sama kayak almarhum ayahmu selalu membuatku menderita,” ucap Bu Rita. “Maaf sebelumnya Bu. Jika aku memberitahu keadaan ku pada Ibu dan Mbak Ariana, apa kalian akan lebih tenang? Tidak kan? Apa bedanya aku memberi tahu dengan tidak memberitahu? Toh sama saja ujung-ujungnya tetap aku yang kalian salahkan. Dan ya, apa kemarin aku yang meminta kalian buat datang ke rumah sakit? Dan apa aku juga yang mengabari Ayah? Bukankah Mbak Ariana yang memberi tahu semua tentangku kepada Ayah? Kenapa Ibu menyalahkan aku? Salahkan saja Mbak Ariana,” ucap Viana. “Dasar kamu–“ “Cukup, Bu. Aku tidak mau lagi mendengar semua sumpah serapah dari Ibu, dan detik ini juga aku akan pergi dari sini, dan Ibu tenang saja aku sudah menyiapkan surat, agar kalian berdua tidak di marahi ayah, assalamualaikum,” ucap Viana seraya melangkah keluar kamar. “Sadar diri kamu, Vi. Sana pergi sebelum semuanya memburuk karena kamu,” ucap Ariana. “Aku selalu sadar diri, Mbak. Jadi tolong jaga Ibu,” Viana pergi dengan membawa tas ransel kecil miliknya. “Tak usah di pikirkan Sayang, biarkan saja dia pergi, ayo kamu istirahat badan kamu juga belum pulih kembali, nanti asam lambung mu tambah parah, tuh muka kamu terlihat pucat,” ucap Bu Rita pada Ariana. ** Di sebuah rumah mewah yang sangat besar, rumah itu adalah rumah orang tua Ragarta. Mereka sudah menemukan biodata tentang siapa pendonor itu, dan Ragarta berniat mendatangi rumah gadis itu. “Gar, kamu yakin mau menemui orang itu? Bagaimana jika dia marah-marah terus dia menolak menemui mu? Dan bagaimana jika di–“ “Halah omonganmu itu tak berbobot, Rid. Doakan saja yang baik jangan berucap seperti itu lagi,” ucap Ragarta. “Ya, aku kan takut jika kedatangan kamu tidak diterima oleh dia,” ucap Ridwan khawatir. “mboh wes opo jaremu Kono,” ucap Ragarta seraya pergi meninggalkan sahabatnya itu. “Melok aku deng,” teriak Ridwan. “Assalamualaikum.” “....” “Iya, Ma. Aku mau menemui dia doakan saja semoga aku di terima di sana.” “....” “Iya, assalamualaikum.” “Siapa?” ucap Ridwan tiba-tiba. “Mboh,” ucap Ragarta. Ragarta POV.. Aku menuju alamat yang tertera di secarik kertas, dengan perasaan ragu namun pasti terus ku lajukan mobil ini. Yah aku memang mengemudi sendiri meskipun ada Ridwan, bukan apa hanya saja ingin mengendarai mobil karena sudah lama aku tak pernah mengemudi sendiri. Setelah sampai di depan rumah yang kami tuju, terlihat ada sebuah taksi yang baru saja pergi meninggalkan pelataran rumah itu. Terlihat ada dua orang wanita di sana satu wanita paruh baya dan yang satu wanita muda terlihat seperti usia dua puluhan. Aku turun dari mobil dan menuju rumah itu namun langkahku terhenti saat Ridwan menarik pergelangan tanganku. “opo seh, Rid? Mbok pikir aku pacarmu opo? Kok batek-batek tanganku barang,” ucap ku. “Ingat ya, jangan langsung tanya tentang operasi itu, kita tanya basa basi dulu. Ingat kata dokter jangan buat dia merasa jadi pemeras,” ucap Ridwan. “Iya, Pak De,” ucapku dan mendapat pukulan di bahuku, karena memanggilnya Pak De. Kami masuk ke pelataran rumah sesampainya di depan pintu Ridwan mengetuk pintu dan mendapat sambutan dari wanita paruh baya dan mempersilahkan kami masuk. “Maaf kalian mencari siapa ya?” “Bu apa benar ini kediaman Bapak Andika?” tanya Ridwan. “Iya, kalian siapa? Dan ada perlu apa dengan suami saya?” tanya wanita itu. “Maksud-“ ucapan ku terhenti saat seorang gadis menyela kalimatku. “Siapa, Bu?” “Ini, Sayang ada tamu sepertinya mencari ayahmu,” ucap ibu itu. “Oh. Aku buat minuman dulu, Bu,” ucapnya. Entahlah mengapa aku melihat jika gadis itu terlihat pucat dan seperti sedang sakit. Apa dia yang telah mendonorkan ginjal padaku? Pikirku. “Maaf, Bu. Apa dia putri ibu?” tanyaku. “Ah, iya. Dia putri satu-satunya kami,” ucap ibu itu. “Apa dia sakit? Sepertinya wajahnya pucat,” tanya Ridwan. “Dia sakit, tapi dia keras kepala, tidak mau menceritakan tentang dirinya,” ucap ibu itu. Aku yakin jika dia orangnya. Dokter pun mengatakan jika hanya ibunya yang tahu tentang pendonoran itu. Dan tadi ibu itu bilang dia putri satu-satunya di rumah ini. Yah, pencarian ku tak sia-sia. “Maaf, Bu. Apa dia pernah melakukan operasi?” tanyaku. Terlihat ibu itu sedang berpikir. “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” “Maaf saya hanya bertanya, karena sepertinya saya pernah melihat dia beberapa waktu lalu di rumah sakit.” “Oh, itu saya tidak bisa cerita sekarang,” ucapnya. Seorang gadis yang tadi muncul dengan membawa nampan yang berisi cangkir dan sebuah makanan. “Silakan di minum. Maaf kami hanya punya ini untuk di sajikan,” ucapnya. Kami pun mengobrol tanpa membahas masalah operasi itu. Hingga tanpa terasa waktu sudah siang dan menunjukkan pukul 12:30 itu menandakan jika kami sudah terlalu lama bercengkerama, dan kami memutuskan pamit, aku sempat meminta kontak gadis itu. Sesampainya di apartemen aku membersihkan diri dan langsung merebahkan tubuh ini di atas kasur, niat ingin tidur siang tiba-tiba dering benda pipih di atas nakas mengagetkanku. “Assalamualaikum, Ma,” ucapku. “...” “Iya, Ma. Nanti sore aku pulang, sekarang aku mau istirahat dulu, nanti aku cerita sama kalian.” “...” “iya, Waalaikumsalam.” Setelah sambungan telepon dengan mama selesai aku melihat layar handphone dan mencari nama, Ariana. Ya, dia adalah gadis yang aku temui tadi pagi dan aku sangat yakin jika dia adalah gadis yang sudah mendonorkan ginjal untukku. Waktu menunjukkan pukul 16:30, jalanan mulai ramai mungkin karena jam pulang kerja. Aku menyusuri jalanan kota dengan kecepatan sedang. Sesampainya di sebuah rumah besar dengan cat dominan putih salju. Ya kini aku sampai di rumah orang tuaku, setelah sampai di pelataran rumah aku berjalan masuk, namun rumah terlihat sepi. “Pak, De? Kok sepi ini rumah, pada ke mana semua?” tanyaku pada Pak De Karwo, salah satu tukang kebun di sini. “Mungkin lagi sholat, Den.” “Oke, terima kasih, Pak De. Aku masuk dulu.” “Assalamualaikum,” ucapku. “Waalaikumsalam. Loh, Den Ragarta? Ibu sama Bapak lagi sholat,” ucap Bik Nanis. “Ya sudah, Bik aku tunggu sini saja,” ucapku seraya menyalakan TV. Setelah lima menit aku duduk, Mama dan Papa keluar dari kamar. “Kapan kamu sampai, Gar?” tanya Papa. “Lima menit yang lalu, Pa.” “Kamu sudah sholat belum?” tanya Mama. “Alhamdulillah sudah, Ma.” “Bagaimana, kamu sudah menemui gadis itu?” tanya Papa. “Sudah, Pa. Dia masih belum sehat wajahnya juga masih pucat,” ucapku. “Kamu yakin dia orangnya?” tanya Papa. “Menurut data yang Mama berikan dia memang orangnya, Pa. Dia anak gadis satu-satunya di keluarga itu, dan tadi dia tampak masih pucat,” terang ku. “Wajar saja jika dia masih belum pulih, kamu saja juga belum pulih, kan? Jadi lain waktu kita ke sana lagi untuk melihat keadaan dia,” ucap Mama. “Tapi, Ma. Dia tidak mau membuka suara atas masalah sakitnya,” ujar ku. “Sepertinya dia gadis yang baik, dan dari keluarga yang baik juga,” ucap Papa. “Jangan sembarang menyimpulkan semuanya, Pa. Mama akan mencari tahu semuanya, tentang dia dan tentang keluarganya, dan alasan apa dia bersedia melakukan pendonoran itu,” ucap Mama. “Tapi, Ma. Jika mereka berbuat buruk pasti mereka akan meminta lebih uang yang kita kasih kepada mereka,” ucapku. “Maka dari itu, Mama akan mencari tahu tentang mereka. Jadi kalian berdua jangan coba-coba untuk melarang atau menghalangi Mama!” ucap Mama. “Terserah, Mama saja,” ucap Papa. “Sekarang kamu harus sering mengunjungi dia, sebagai ucapan terima kasih kita. Meskipun mereka tidak mau lagi membahas masalah ini, kamu harus tetap berbuat baik pada mereka,” ucap Mama. “Iya, Ma.” “Oh iya, siapa nama gadis itu?” “Namanya Ariana, Pa.” “Apa dia cantik?” tanya Mama. “Hah? Maksud Mama?” tanyaku karena bingung akan pertanyaan Mama. “Dia itu cantik kan?” giliran Papa yang bertanya. “Oh, iya dia cantik juga kalem kelihatannya,” jawabku. “Apa? Kenapa kalian menatap ku seperti itu?” tanyaku heran melihat kedua orang tuaku melihat ku seraya tersenyum. “Kalau gitu boleh ya dia jadikan mantu Mama,” Ucap Mama. “Mama ini! kenal saja baru tadi, doakan saja,” ucapku. “Kayak ada bau-bau cinta ini, Ma,” ucap Papa, aku hanya tersenyum. Tak bisa ku pungkiri jika Ariana sangat menarik, sejak pertemuan kami tadi pagi aku merasa tertarik dengan dirinya, tapi apa secepat ini aku tertarik pada ? Entahlah rasa kagum atau apa aku tidak tahu, biarkan semua ini berjalan dan waktu yang menjawabnya. Ragarta POV end.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD