The Queen [1]

1651 Words
Selamat membaca, diperkenankan untuk menyiapkan hatinya terlebih dahulu ❤ ~ Selamat menikmati ~ *****       DERU motor yang melaju kencang di tengah jalan raya sangat memekakan telinga, tak ayal banyak para pengendara ataupun pejalan kaki yang berada di trotoar mengumpat atau berteriak tidak suka. Motor Kawasaki hitam besar itu membelah jalanan kota dengan sangat cepat, menyalip setiap pengendara tanpa mendengarkan klakson yang lain. Hingga motor itu masuk ke dalam sebuah sekolah. Kedatangannya membuat para siswa yang baru saja masuk atau berada di lapangan maupun koridor sekolah langsung menyorot kearah parkiran, dimana suara motor besar itu terdengar. Setelah mematikan mesin motornya, perlahan helm itu terbuka dan rambut berwarna coklat itu tergerai begitu indah, tangannya merapikan sebentar rambut panjang sebahunya itu. "Eh itu The Queen nya sekolah ini kan? The Queen of SMA Bintara Jaya yang populer itu kan?" "Anjir anjir si Queen tuh, buset makin cakep," "Gila gue kira cowok tadi yang bawa motor eh cewek ternyata," "Anying siapa tuh cakep amat?" "Kudet lu t*i, dia Queen nya sekolah ini. Pentolan sekolah yang terkenal ampe sekolah lain," "Gila gila suka gue cewek gini, bawa motor gede lagi," "Anak kelas berapa si?" "Kok gue ga liat kakak kelas ini ya kemaren-kemaren? apa emang baru masuk sekolah?" "Motornya anjir, itu motor yang gue minta ke bokap tapi kaga dikasih, t*i gue kalah ama cewek," "Geulis pisan euy," "Apasih, biasa aja gitu. Sok cantik banget jadi cewek," "Shuttt....jangan ngomong sembarangan, mampus lo kalo sampai dia denger," "Parah si cocok kalo jadi primadona sekolah ini mah," "Tiati kalo cari masalah ama dia, bisa habis lo," "Nama aslinya emang Queen?" "Itu julukannya, nama aslinya bukan itu, udah ah tuh dia mau lewat," Setelah merasa rambutnya rapi di segera turun dari motornya. Seperti adegan film, gadis berwajah datar itu nampak menatap ke penjuru sekolah. Tatapan matanya mengatakan bahwa dia tidak suka menjadi bahan omongan. Gadis itu berdiri disamping motornya, masih mengamati setiap pandangan yang tertuju kearahnya. Aura mencekamnya seketika terasa saat gadis itu mulai melangkah. Suara bisikan itu seketika diam, tak ada yang menunjukkan pergerakan ketika gadis itu lewat. Matanya tetap lurus ke depan, tak ada yang bisa mengartikan tatapannya, gadis itu berjalan sambil melepaskan sarung tangan yang dia pakai setiap menggunakan motornya. Penampilannya yang sedikit berbeda menjadi daya tarik sendiri, ke sekolah selalu menggunakan motor besar berwarna hitam, jaket hitamnya, dan menggunakan jeans hitam sementara dia akan berganti saat di toilet. Gadis itu berhenti melangkah kearah segerombolan orang yang membicarakannya tadi. Matanya tertuju kearah seorang gadis yang berani memandangnya dengan tatapan tidak suka atau jijik. "Kita punya masalah? apa kita kenal? hati-hati dengan mulut lo," suara gadis itu terkesan rendah tapi mampu membuat siapapun di dekatnya merinding tak karuan. "Kenapa? lo ga suka gue ngomong kalo lo sok cantik? emang lo siapa? cuman kakak kelas songong aja bangga," tantang gadis bername tag Aluna. Gadis itu menyeringai, tatapan matanya tak terbaca apalagi raut wajahnya. Gadis itu perlahan makin mendekatkan wajahnya ke arah Aluna, suasana makin mencekam. "Mau cari popularitas hm?" Aluna merasakan kakinya mulai gemetaran dihadapkan mata kakak kelas depannya. "Seorang tikus harusnya tau dimana tempatnya berada dan seberapa rendah derajatnya, jika tidak ingin diganggu jangan mengganggu. Apa gue harus beri lo sedikit hadiah, Aluna Putri Wijaya?" Aluna sedikit terkejut saat kakak kelas di depannya membaca nama lengkapnya dengan rendah apalagi dengan kata-kata yang terkesan biasa saja namun memiliki makna. Setelah berkata demikian, gadis itu pergi tanpa memperdulikan sekitarnya lagi. Dia tidak ingin merusak suasana pagi yang cukup nyaman ini. "Sial," gerutu Aluna menatap tajam kearah kakak kelas yang membuatnya mati kutu tadi. "Gue bilang juga apa, jangan cari masalah. Lo ga tau seberapa besar pengaruh dia disini maupun diluar sekolah," ucap salah satu teman Aluna dengan takut-takut. "Siapa sih nama dia?" ***** "AUREL!"      Langkah Aurel berhenti saat mendengar seseorang memanggil namanya, tidak ada yang berani menyebut namanya selain 'Queen' kecuali dua sahabatnya. "Eh udah ganti baju aja nih Queen kita, tumben kaga ke kelas dulu?" tanya Audy melihat sahabatnya yang cukup tinggi beberapa centi darinya itu. "Daripada dia ke kelas dulu makin jauh b**o," Salsha mengutarakan kalimatnya mendengar pertanyaan Audy yang tak berbobot sama sekali. Audy hanya mengerucutkan bibirnya kesal, "Kan biasanya Queen ke kelas dulu, naruh seperangkat alat bawaannya baru ke toilet," Aurel hanya memutar bola matanya malas mendengar perdebatan kedua sahabatnya yang sudah bersamanya dari Sekolah Dasar dan satu kelas juga, tak ayal ketiganya selalu bersama dan sudah mengenal satu sama lain. "Lo kok kemaren ga masuk? udah tau Ketos malah ga masuk pas ada PLS," tanya Salsha menatap sahabatnya yang memakai jaket hitam itu. "Males," jawab Aurel acuh tak acuh, memang di sekolah ini selain sebagai primadona yang memiliki banyak fans, Aurel juga seorang Ketos yang sangat disegani. Jangan meremehkan seorang perempuan saat memimpin, justru dengan adanya Aurel jarang sekali ada masalah di sekolah bahkan tak ada yang berani melawannya. Padahal Aurel juga bingung, apa yang sebenarnya mereka takutkan dirinya? Apa karena Aurel pernah mematahkan kaki abang kelasnya dulu? Apa karena Aurel ikut geng motor yang paling ditakuti di kotanya? Apa karena Aurel pernah membuat beberapa siswa dan siswi keluar dari sekolah karena mengusik dirinya? Atau karena Aurel tidak pernah main-main dengan ucapannya? "Hari ini PLS masih berlangsung, lo jangan bolos lagi kasian sama panitia yang lain jadi ga bisa nanganin," tegur Salsha dengan lembut. Di antara keduanya, hanya Salsha yang mampu menegur sikap Aurel jika kelewatan atau menyusahkan orang lain sedangkan Audy tidak berani karena melihat sorot mata tajam Aurel saja membuatnya bergidik ngeri. "Jam berapa?" tanya Aurel tanpa menatap Salsha, dirinya sibuk melihat para calon adik kelas mereka yang sedang berkumpul di koridor yang berada di depannya. "10 menit lagi bel masuk sih," jawab Audy melirik jam di pergelangan tangannya. "Eh Queen kan ada jam sendiri ngapain masih nanya? nyebelin banget si Queen," lanjut Audy baru sadar bahwa Aurel memiliki jam tangan sendiri. Aurel tak mengacuhkan, dia segera melangkah menuju kelasnya yang berada di lantai 2. Aurel tau bahwa dia sekelas dengan kedua sahabatnya, walaupun dia tidak masuk kemarin. Informasi tentang sekolah pun dia tau, jangan remehkan Aurel. Baru saja langkah pertama Aurel memasuki kelas, kelas itu hening seketika. Keramaian yang berlangsung lenyap begitu saja. Bisikan kecil mulai terdengar di telinga Aurel dan Aurel hanya berdecih. "Anjir Queen sekelas sama kita?" "Eh gila itu si Queen ga salah masuk kelas kan?" "Aduh gue harap dia ga sekelas sama kita, bisa mati nih," "Absen mana absen gue kok ga tau dia sekelas sama kita," "Ini seriusan kita sekelas sama Queen?" "Mati dah mati," "Kalo gue masuk kelas ini salah?" tanya Aurel dingin, matanya menatap satu persatu siswa di kelasnya. BRAK!!! Aurel menendang meja di hadapannya dengan kuat, tangannya terkepal di dalam saku jaketnya. Bibirnya masih mengunyah permen karet dengan santai namun tatapannya tak main-main. "Kenapa diem? punya mulut kan? jawab!" sentaknya, Aurel maju berdiri di tengah papan tulis. "Merasa ga nyaman sekelas sama gue? tuh pintu kelas ada silahkan keluar," suara Aurel terdengar dingin sekali, auranya pun berbeda. Aurel bukan ingin mereka takut kepadanya tapi Aurel juga ingin dihargai, memang apa salahnya jika Aurel sekelas dengan mereka? Apa akan ada nasib sial selanjutnya? "Udah Queen, mungkin mereka cuma kaget," bisik Salsha tidak ingin memperpanjang masalah ditambah waktu bel sebentar lagi. Aurel menatap tajam salah seorang gadis yang sempat mencibirnya tadi namun sektika gadis itu menunduk takut. Aurel melempar tasnya ke salah satu kursi setelah mengambil almamater OSIS nya yang berwarna maroon. Aurel meminta Audy memangil seluruh anggota OSIS untuk kumpul di ruang OSIS, dia memanfaatkan waktu upacara untuk rapat sebentar. Mata hitam Aurel sangat fokus dengan laporan kegiatan OSIS yang baru saja dilaksanakan kemarin. Sistem kinerja OSIS dibawah naungan Aurel sedikit berbeda. Aurel ingin setiap 1 hari kegiatan harus ada laporan hari itu juga atau besok paginya sudah ada di tangannya. Satu persatu anggota OSIS masuk ke ruangan dengan gugup, aura Aurel sudah sangat terasa sejak dari koridor mereka berjalan. Ruangan yang hening mulai sedikit berisik karena geseran kursi. "Duh mati nih gue, gue kemaren sempet bolos kegiatan karena ngurusin adek kelas yang ganteng nauzubillah," "Proposal buat kegiatan party akhir kegiatan belum gue print anjir, gue ga tau Queen udah masuk hari ini," "Gue belum bikin laporan kegiatan kemaren Ya Tuhan," "Hah? terus itu laporan siapa yang dibaca ama Queen," "Duh gue merinding nih takut," "Lo geseran dikit kek, sempit nih," "Ya Allah Queen kenapa udah masuk aja sih?" Mata Aurel yang fokus menatap bacaan kini memandang kearah depan, suara yang terdengar langsung lenyap melihat tatapan dingin Aurel. Aurel membenarkan posisinya, "Ketua panitia maju," Suara dingin Aurel membuat siapapun mendengarnya gemetaran seketika. Laki-laki berperawakan tinggi dan terlihat tampan dengan balutan almamaternya itu maju dengan sedikit gugup. "Kenapa acara kemaren keliatan hancur? gue mau alasan yang berbobot atau gue hukum lo semua," Laki-laki itu mengusap tangannya sebentar sebelum menjawab, "Sorry Queen sebelumnya, kemaren calon-calon adek kelas ga bisa mengikuti peraturan. Ada yang semaunya sendiri walaupun udah di gertak semua panitia, mereka ga mandang anak OSIS sama sekali bahkan ada yang menginjak harga diri anak OSIS," tuturnya berkata jujur. Aurel diam mendengarkan, "Terus?" "Semakin di lawan mereka semakin jadi Queen, gue minta maaf sebagai ketua panitia ga becus kerjanya," ucapnya menunduk. Aurel menghela nafas dan kembali menatap ke depan, "Sekretaris acara kegiatan, gue tanya kenapa laporan acara kegiatan kemaren ga ada di tangan gue tadi pagi?" Gadis bernama Zura itu menunduk takut, "Maaf Queen, gue keteteran karena ngurusin adik-adik kelas dan juga proposal untuk party nanti," Aurel mulai merasa jengah dengan anggota-anggotanya, sebulan liburan kemarin membuat semuanya lupa akan tanggung jawab dan kurang disiplin. "Siapa yang nyuruh lo ngerjain proposal party sekarang? gue minta proposal itu sejak kapan?" tanya Aurel sinis. "Bukan karena gue ga masuk sehari kemaren lo semua jadi semaunya apalagi karena liburan yang lama jadi lupa dengan tanggung jawab masing-masing. Lo dipilih bukan untuk main-main di dalam sini, kalo ga bisa bertanggung jawab dengan peran masing-masing lebih baik mengundurkan diri," "Paula apa ada rangkaian acara OSIS kemaren menyuruh lo buat jadi cewek gatel sama adek kelas?" Mata Aurel menatap kearah gadis yang sedang gugup setengah mati. "Maaf Queen," cicit Paula takut. "Gue ga mau sampai ini keulang lagi, lo milih masuk organisasi ini berarti lo siap dibawah arahan gue. Gue ga peduli seberapa besar kekuasaan lo di sekolah ini atau seberapa besar jabatan orang tua lo, kalo lo ga bisa mengikuti aturan silahkan keluar. Ga panitia, ga calon siswa barunya. Pada ga waras semua kelakuannya," Suara Aurel datar namun menusuk, membuat semuanya menunduk. Tak ada yang berani bertingkah ketika Aurel berada di dekat mereka. Aurel Alqenisha Mackenzie. The Queen SMA Bintara Jaya yang bisa menyingkirkan siapapun yang tidak patuh dengan peraturannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD