01 : Kejutan Pahit
Senyum cerah terpancar di wajah Almira begitu kakinya menginjak bangunan megah berlantai dua.
Ia dengan semangat menyeret koper yang dibawanya dan melangkah ke arah pintu utama.
Pintu dibuka, raut wajah Almira kemudian berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat begitu banyak orang yang ada di ruang tamu.
Atensinya terfokus pada sepasang pria dan wanita yang duduk menghadapnya dengan pakaian putih layaknya pasangan pengantin.
Terlihat jelas raut terkejut dari orang-orang yang ada di sana, mereka tidak menyangka jika pada Almira akan tiba disaat yang tidak tepat.
Gadis itu melangkah, ia mengabaikan beberapa orang yang menahannya. Membujuknya untuk ke kamar dan mengatakan akan memberikan penjelasan.
Langkah kaki Almira tegas, ia melangkah dengan pasti ke arah sepasang pengantin yang masih terdiam di depan Penghulu dengan wajah yang sulit di jelaskan.
"Mas Al," ucap Almira dengan suara lirih.
Tangannya sudah terkepal di samping tubuh, badannya gemetar namun coba ia kuatkan. Ia hanya berharap jika apa yang ada di hadapannya sekarang bukanlah seperti apa yang ia pikirkan.
Sementara itu, lelaki dengan pakaian serba putih itu hanya bisa terdiam. Ia bahkan tidak mau untuk hanya sekadar melihat ke arah Almira yang masih menatap ke arahnya.
"Mira, ayo ikut Ibu dulu sebentar, nak."
Sang Ibu datang dan memegang kedua bahu sang anak bungsu, wanita dengan kebaya berwarna coklat itu terlihat kebingungan dengan situasi yang ada.
Almira bergeming. Ia tetap terpaku di tempatnya berdiri, meski air mata perlahan mulai menetes di pipinya, gadis itu tetap tidak mau beranjak dari sana.
Tatapannya kini berganti pada wanita dengan gaun pengantin berwarna serupa.
"Kak Alina, apa yang terjadi?" pertanyaan yang terlontar dari bibir Almira masih bernada lirih. Sebisa mungkin dirinya tidak ingin terlihat rapuh meski sebenarnya ia sudah begitu hancur.
"Maafin Kakak, Mir. Kakak salah," ujar Alina mulai menitikan air mata.
Perempuan yang berusia jauh lebih tua itu menggengam jemari Almira erat, ia menangis begitu keras di hadapan seluruh orang yang ada di sana.
Alina bangkit, ia hendak memeluk sang adik namun hal itu urung terjadi saat Almira justru mundur ke belakang.
"Kakak tahu, 'kan. Mas Al itu pacar aku, kita udah pacaran lima tahun dan bahkan udah ngerencanain pernikahan. Tapi apa yang terjadi? Justru kalian menikah diam-diam di belakang aku?" ucap Almira yang kini tidak bisa lagi menahan air matanya.
"Bukan begitu, Mir. Ini semua ada alasannya," jawab Alina masih berusaha untuk meyakinkan sang adik.
"Alasan apa? Alasan kalau kalian tega mengkhianati aku padahal kalian udah aku anggap sebagai orang yang paling aku percaya, begitu?"
Alina menggeleng, ia hendak meraih tangan Almira sekali lagi namun gadis itu masih terus menolak.
Alvian bangkit, ia melihat ke arah Almira dengan wajah datar. Pria itu kemudian mendekat ke arah sang gadis dan mengatakan sesuatu.
"Maaf kalo aku ngecewain kamu, maaf kalo aku udah hancurin hati kamu. Tapi hubungan kita nggak bisa berlanjut, aku udah menikah dengan Alina dan ada kehidupan lain yang harus aku jaga di sana. Aku harap kamu ngerti, dan aku juga berharap kalo kamu mau maafin aku karena mulai sekarang aku jadi Kakak Ipar kamu," ucapnya.
Pria itu kemudian berbalik dan menuntun Alina yang masih saja menangis untuk menjauh, meninggalkan Almira yang hanya bisa terdiam dengan air mata yang bederai dengan deras.
Tubuhnya luruh, terjatuh dengan perasaan hancur hingga yang paling dalam. Ia tidak bisa merasakan apapun lagi sekarang, selain rasa sakit yang bahkan ia sendiri tidak bisa menjelaskan.
***
Kamar dengan nuansa pastel itu terlihat remang. Meski hari sudah beranjak petang, namun Almira masih enggan hanya untuk sekadar menyalakan penerangan.
Ia masih saja duduk termenung di atas ranjang dengan dua lutut yang menyangga kepalanya. Ia menunduk, menangis dalam diam sampai dadanya terasa begitu sesak.
Dirinya juga mengabaikan ucapan sang Ibu yang memintanya untuk menyantap makanan dari balik pintu. Ia hanya akan menangis sesenggukan saat wanita baya itu mengetuk pintu dan berucap lirih di baliknya.
"Kamu bener-bener jahat, Mas. Tega-teganya kamu khianati aku dan menjalin hubungan dengan Kak Alina. Kurang apa aku sama kamu," monolog Almira seorang diri.
Ia melemparkan bingkai foto dirinya bersama Alvian hingga mengenai kaca rias miliknya dan menimbulkan suara bising.
"Mira, buka pintunya, nak," lagi-lagi suara sang Ibu terdengar.
Wanita baya itu nampak khawatir dan juga begitu sedih, ia tidak menyangka jika apa yang dikhawatirkan nya benar-benar terjadi.
Seminggu yang lalu, Alina mendatanginya dengan wajah gusar. Puteri sulungnya itu tidak biasanya mendatanginya setelah ia memutuskan untuk ngekos di daerah yang lebih dekat dengan tempat kerjanya.
Biasanya Alina hanya akan pulang satu minggu sekali, itupun jika jadwalnya sebagai Dokter umum tengah lengang.
"Bu," Alina menjabat tangan sang Ibu, ia mengambil tempat di sebelahnya masih dengan ekspresi wajah yang sama.
"Kamu kenapa? Lagi banyak kerjaan?" tanya sang Ibu.
Alina menggeleng, ia menautkan jemarinya satu sama lain dan menghela napas keras berkali-kali.
"Kamu kenapa sih?" tanya sang Ibu lagi, kini dengan nada lebih menuntut. Bagaimanapun juga ia khawatir terjadi sesuatu dengan puteri sulungnya itu.
"Alina mau ngomong," ucap Alina ragu.
Ia sempat terdiam sesaat, memastikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa mengatakan apa yang saat ini begitu mengganjal pada perasaanya.
"Sebelumnya Alina minta maaf. Alina tahu ini salah, tapi semuanya udah terlanjur. Alina juga nggak mau semuanya kejadian kayak begini, tapi Alina nggak bisa ngontrol semuanya."
Sang Ibu memicingkan alisnya mendengar perkataan Alina. Sebenarnya apa yang ia maksud, kenapa ia harus sampai meminta maaf.
Apa kesalahan yang sudah ia perbuat?
"Apa maksud kamu? Kesalahan apa, apa yang sudah kamu perbuat?" tuntutan sang Ibu membuat Alina menjadi ragu.
Haruskah ia mengatakan semuanya? Atau lebih baik ia berbohong dan memendam semuanya sampai waktunya tepat.
Tapi apa itu mungkin? Apa yang tengah dialaminya bukan sesuatu yang bisa ia tutupi dengan mudah.
"Alina, kamu kenapa?" suara sang Ibu membuat Alina kembali ke dunianya.
Ia dengan cepat berlutut, memegang kaki sang Ibu dan meminta maaf sekali lagi. Kali ini disertai tangis yang begitu hebat.
"Maafin Alina, Bu. Alina menyesal, bener-bener menyesal."
Sang Ibu yang masih belum mengerti dengan cepat memegang bahu sang Puteri, ia kembali bertanya soal apa yang sebenarnya dimaksud Alina.
"Iya, tapi apa yang udah kamu lakuin?"
"Alina…, Alina hamil."
Perkataan Alina cukup membuat sang Ibu mematung dengan rasa terkejut yang luar biasa. Bahkan wanita baya itu terdiam dengan pandangan kosong selama beberapa waktu.
"Kamu…, hamil? Siapa yang menghamili kamu?" Nyonya Rani -sang Ibu- berusaha tenang dan bertanya dengan nada biasa.
Ia tidak bisa menghakimi anaknya untuk saat ini.
Alina terdiam, ia masih saja menangis sampai sang Ibu kembali memaksanya untuk berbicara.
"Alina, siapa yang sudah menghamili kamu?"
Dengan terisak Alina menjawab.
"Mas Alvian, Bu."