Chapter 2

1004 Words
"Mom" panggilan puteranya, menyadarkan Eve dari kilasan masa lalunya. Dia tersenyum lembut menatap puteranya. "Kau melamun lagi," keluh Dean. Eve terkikik. "Mom hanya memikirkan rencana ulang tahun kalian." Eve berbohong, dan puteranya tau itu. "Bohong, mom tidak bisa membohongi ku," ucap Dean tegas. "Dean, tolong panggilkan, saudaramu yang lain." Dean memutar bola matanya malas, dia menukikan kedua alisnya. Momnya sedang mengalihkan perhatiannya. "Tunggu sebentar." Dean pergi meninggalkan Eve. Eve menghela napas panjang, hampir 10 tahun kejadian itu terjadi, dia sudah memulai hidup yang baru bersama tiga orang anggota keluarganya, ketiga orang yang tidak dia sangka. Dia hamil karena ulah Max dan dia langsung hamil kembar tiga. "Mom kau akan pergi hari ini?" Eve menatap putra keduanya, lalu tersenyum lembut. "Tentu, Rose ingin aku mengunjunginya." Devian mencibikan bibirnya, lalu menatap muram sarapan di hadapanya. "Alasan, Rose hanya sayang dengan anak mom yang lain." Eve terkikik geli, lalu mengampiri Devian yang masih cemberut. Wanita mengusap kepala putranya lembut. "Rose menyayangi kalain," ujar Eve selembut mungkin. Anak lain yang Devian sebut adalah novel terbaru, dan Rose adalah editor dari perusahan penerbit. "Tapi akhir minggu jadi kan? Sudah dua bulan mom." Devian mendongak menatap Eve. "Tentu, kita akan ke kota akhir pekan dan menginap di salah satu hotel disana. Voucer yang diberikan Rose masih berlaku." Kedua sudut bibir Devian melengkung keatas, "Janji ya, ulang tahun kami kan akhir pekan ini juga." "Mom tidak lupa." Devian mengangguk senang, lalu memakan scrambled egg yang sudah Eve siapkan. "Devian! Tunggu dulu saudara mu." "Mom aku sudah lapar, dan aku tidak mau menunggu Daya." Eve menghela napas panjang. Daya putri bungsunya itu sangat susah untuk dibangun kan. Tidak seperti kedua kakak kembarnya, yang selalu tepat waktu bangun. Bahkan Dean lebih sering membantunya menyiapkan sarapan. Kericuhan terdengar, Teriakan melengking dari arah kamar membuat Devian terkikik, berbeda dengan Eve yang hanya bisa mengelus d**a. "Habiskan sarapanmu Vian, lalu pergi ke sekolah duluan." Devian menggangguk-angguk itu lah tujuan utama. "Aku pergi mom." Devian mengecup singkat pipi Evelyn, lalu bergegas pergi ia tidak ingin melihat adegan bar-bar kedua adiknya. "Pagi mom." Seruan anak gadisnya membuat Evelyn menaikan sebelah alisnya. "Dean?" Daya mengulum senyum lalu mengambil sarapanya. "Mom, apakah ada baju ganti?" Suara Dean dari dalam kamar membuat Evelyn menatap tajam puterinya. "Mom, aku pergi duluan." Sambil memakan sadwich ia berpamitan, tidak boleh mendengar ocehana mom di pagi hari, itulah moto Daya setelah mengerjai adiknya. "Mom--" Dean merengek setelah melihat sang ibu, bagaimana mungkin Daya begitu tega mengerjainya. "Baju-nya?" Ya karena jam pertama adalah olahraga, jadi Dean memakai pakaian olahraganya dari rumah langsung, dan sekarang pakaiannya sudah setengah basah. "Ini, mom tau kalau Daya dan Devian bekerja sama." Evelyn memberikan baju olahraga kepada Dean. Mata puternya itu berbinar senang. "Thank's mom." Dean segera mengganti bajunya. "Sarapan dulu, mom antar sekalian mom pergi ke kota." Evelyn mengusap pelan pipi Dean, mata itu persis seperti Max. Dean mengangguk-angguk, tak apa dia disiram air, yang penting ia diantar. ... "Rose?" Evelyn mengetuk pelan pintu ruangan di hadapanya. "Masuk." Setelah mendengar jawaban Evelyn masuk kedalam ruang kerja Rose, disana ada enam meja, dan masing-masing orang memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. "Evelyn sayang." Rose segera menghampirinya, wanita setengah baya itu sangat menyukai karya Evelyn. "Kau datang lebih awal." Rose mengajak Evelyn keruangan sebelah, diruangan khusus untuk tamu. "Aku tidak bisa meninggalkan mereka terlalu lama." Rose mengangguk singkat. "Kopi?" "Sedikit gula." Rose terkekeh, "sayang, gula itu bisa memaniskan hidupmu." Evelyn hanya tersenyum kecil, sambil menunggu Rose yang sedang membuatkannya kopi, Evelyn tertarik pada salah satu majalah yang tergeletak di meja kaca di depannya. Jantung Evelyn berdebar, hanya melihat wajah di sampul majalah itu membuat Evelyn ketakutan. Sosok yang hampir sepuluh tahun ia ingin lupakan, menjauh dari jangkaun pria itu. "Aku tidak menyangka, kalau Max D Holmes itu impoten." Evelyn menaruh kembali majalah itu, mencoba untuk tidak mendengarkan ocehan Rose. "Kalau aku pernah tidur dengan pria itu, dapat di pastikan aku akan mengaku hamil dan melahirkan anaknya. Kau tahu, kekayaan Holmes tidak akan pernah habisnya." Wajah Evelyn menunduk, ia tidak ingin Rose melihat raut wajahnya yang berubah saat mendengar nama keluarga Max. "Sayangnya aku lebih tua darinya," lanjut Rose diringin kikikan kecil. "Mungkin kau pernah tidur dengannya?" Evelyn terbatuk-batuk, cairan kopi membuatnya tersedak saat mendengar pertanyaan Rose. "Tidak, itu tidak mungkin Rose." Wanita paruh paya itu menatap Evelyn curiga. "Benarkah? Terus kenapa wajahmu merah dan kau tersedak." Evelyn menggelengkan kepalanya. "Kopinya terlalu panas." Evelyn tersenyum kecil. "Aku kesini bukan untuk mendengarkan tentang Max, Rose." Rose tertawa. "Senang sekali aku mengerjaimu." Evelyn menghela napas pelan, ia tidak ingin Rose atau orang lain mengetahui rahasia terbesar di hidupnya. "Kalau tidak ada halangan, bulan depan Novelmu akan di cetak." "Benarkah? Aku kira tidak bisa di cetak tahun ini. Mengingat dua novel ku sudah terbit tahun ini." "Dua novelmu itu berbeda, dengan novel yang ini. Ini novel seri terakhir dari trilogi yang kau buat tiga tahun lalu." Evelyn tersenyum, sedikit lebih banyak waktu yang ia butuhkan untuk merampungkan seri terakhir dari novel yang ia buat. Tiga tahun setelah dua seri sebelumnya, Novel bertemakan roman fantasi yang mampu membuat para pembacanya tergila-gila dengan karyanya. "Ini baru rumor yang aku dengar, mr Steven ingin kau bergabung dalam proyek pembuatkan buku biografi Max D Holmes." Kembali Evelyn terbatuk-batuk, mata wanita itu melotot menatap Rose. "Tidak, Rose. Pekerjaanku sangat banyak. Menulis novel ini saja aku sudah sangat banyak menyita waktuku dengan triplets." "Tapi, Eve. Kalau ini benar, kemungkinan salah satu novelmu akan diangkat ke layar lebar." Evelyn menjatuhkan punggungnya ke sofa, wanita itu memijit pelan keningnya. Salah satu bisnis keluarga Holmes, yaitu rumah produksi film. "Aku tidak peduli. Kau tau anak-anakku akan mendemoku." Rose terkikik, ia melupakan tiga pasukan Evelyn, ketiganya sangat manja dengan Evelyn. "Voucer yang kau berikan masih berlakukan kan?" Rose mengangguk. "Tentu, kan masih dua minggu lagi, akhir pekan ini, ulang tahun mereka." "Kalian akan menginap disana?" Evelyn menganggukkan kepalanya pasti. "Mereka sangat senang saat aku memperlihatkan voucer itu." "Baiklah, aku dan Drew akan kesana merayakan ulang tahun triplets." "Terima kasih, Rose. Kau tau hadiah yang kau dan Drew berikan sudah sangat cukup untuk mereka." "Itu pantas untuk triplets." TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD