Bab 9

1650 Words
Aku berkeringat dingin ketika aku berpikir untuk melihat wajahnya lagi. Bagaimana aku bisa makan dengannya ketika aku menunjukkan keburukan ku? Aku tetap berusaha untuk tidak pergi, tapi akhirnya aku bangun karena bujukan Rina yang berulang-ulang. "Cepat kemari." Ayahku sudah menungguku di meja makan. Aku duduk, masih merasa canggung. "Maaf aku telat..... Ayahanda." Hah? Apakah dia mengernyit padaku? Karena gerakannya sangat kecil, aku tidak tahu apakah aku telah melihatnya dengan baik. '...... Uuh, canggung.' Aku memiringkan kepalaku sambil menggerakkan garpuku dalam diam. Tetapi... Kenapa wajah Ayah agak berbeda. Apa ada sesuatu yang membikin hatinya sedih, ya? Apakah Ayah kesal dengan ketidaksopan ku tadi pagi? “Hm... Ayahanda. Apa ada hal yang bikin Ayahanda jadi tak... nyaman?” Eh? Kali ini gerakannya agak besar. Bukankah dia sangat menyukai makanannya? "Bukan begitu, nak." 'Salah ya? Kok sekarang....' “Ayahanda terlihat tidak nyaman. Apakah Ayahanda benar-benar baik-baik saja?” "Ayah baik-baik saja." “Lalu, ada apa denganmu, Ayahanda? Jika Ayahanda memberi tahuku, izinkan aku memberi tahu mereka untuk segera memperbaikinya.” Aku bertanya lagi mengapa dia bertingkah tidak wajar hari ini. Dia terdiam untuk waktu yang lama, dengan wajah mengeras, dan akhirnya berkata, "Hem... Tia." "Ya?" "Ehem... Itu, soal kamu...." 'Apa tenggorokannya sakit?' "Kenapa tak panggil Ayah seperti sebelumnya?" "??" "Maksudku, kenapa kamu tidak memanggilku seperti yang kamu lakukan di lapangan latihan?" Hah? Lapangan pelatihan? Aku memanggilmu apa waktu itu? "Maka dari itu kamu...... Tak jadi, sudah lanjutkan makannya." "...... ." Syukurlah Ayah sehat. Bisa berbincang sembari makan bersama... Kalau pun ini mimpi... Ini adalah mimpi terindah dalam hidupku. "Ayah..." Wajahku memerah. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan di sana? Aku menyadari bahwa aku melakukan sesuatu yang bahkan tidak pernah ku bayangkan secara normal. Meskipun aku bersumpah bahwa aku akan bertindak bebas seperti yang ku inginkan, aku sangat malu. Karena aku tidak bisa melihatnya secara langsung, aku melihat ke bawah. Seolah-olah dia merasakan hal yang sama, dia berdeham beberapa kali dan berkata, "Ya, itu masalahnya." “…” "Panggil aku seperti itu di masa depan." "Ya?" "Hummm ... Sudah waktunya, Ayah pergi dulu karena Ayah punya sesuatu untuk dilakukan." Aku menatap kosong pada ayahku saat dia dengan cepat meninggalkan ruang makan. Apakah maksudnya aku harus memanggilnya ayah di masa depan? Oh, tidak mungkin. Aku pikir aku salah dengar. Sebagai seseorang yang terkenal blak-blakan, dia tidak ingin aku melakukan itu. Ketika aku berdiri, menggelengkan kepala, tiba-tiba aku melihat para pelayan menatapku dengan tatapan kosong. Aku curiga dengan tatapan bingung mereka. Bukankah aku salah dengar? Lalu, dia ingin aku memanggilnya ayah mulai sekarang? Aku tertawa tanpa sadar. Jika ini adalah mimpi, aku tidak pernah ingin bangun karena tidak seperti kenyataan pahit yang aku alami, aku bahagia dalam mimpiku. Benar, jarak yang kaku antara aku dan ayah hanya terpaut akan sopan santun. Sekarang... Menjadi gambaran yang berbeda dengan ingatanku selama ini. Memikirkan ayah, yang mengencangkan cengkeramannya di tangannya memegang ku di lengannya, karena takut aku jatuh. Aku juga ingat dadanya yang kuat dan detak jantungnya yang cepat. Kehangatan ayah yang pertama kali kurasakan menenangkan pikiranku yang lelah. Jika momen ini bisa berlanjut, jika aku bisa menikmati kebahagiaan ini, aku bisa tidur dan mati selamanya. Aku berdoa dengan segenap kekuatan ku bahwa jika ini adalah mimpi. Aku tak ingin beranjak dari mimpi ini. Meski aku harus tertidur seumur hidupku... 'Jangan salah sangka. Kamu sama sekali tak berarti bagiku' 'Anakmu tak akan pernah menjadi pewaris tahta' 'Ayahmu sudah mati. Baru saja dieksekusi tadi pagi' 'HAHAHAHA' "AKH!..... HAAH... HAH... UGH" Mimpi?.... Ternyata cuma mimpi. Aku bangkit dari tidurku dengan tubuh penuh keringat dingin... Wajah yang pucat saat aku menatap cermin dengan lama. Ternyata aku masih berada di saat aku berumur 10 tahun. Aku takut jika aku harus kembali ke masa pahit itu. Sambil meringkuk aku berharap semua ini adalah kenyataan dan aku tak ingin kembali ke masa itu. Mimpi yang selalu menghantuiku setiap malam ini sangat membuatku menderita. *** "Nona, waktunya minum teh. Mau ku bawakan ke kamar saja?" "Yaa.... Bentar lagi aku turun." "Baiklah." Kepalaku selalu dipenuhi akan kenangan mengerikan setiap kali ku buka mataku. Orang-orang yang ku rindukan. "Camilan hari ini manisan kesukaan Nona, loh." Rumahku yang selalu ku rindukan. "Belakangan ini Nona kurus sekali. Pokoknya Nona harus banyak makan! "Gitu ya...?" Keseharian yang hangat. Mana yang merupakan mimpi dan mana yang merupakan kenyataan. Akan sampai kapan terus seperti ini? "Aku akan terlambat jadi aku tak usah dibuatkan makan malam." "Ayah... Mau keluar?" "Hem. Ada hal yang mesti ayah urus di istana." "Apa? Tapi kan hari ini hari libur..." "Ada hal mendesak mengenai para prajurit yang harus Ayah diskusikan dengan Duke Lars." "Begitu rupanya..." "...... ." “Kalau begitu. Selamat tinggal, Ayah.” Sebagai Kapten dari Ksatria ke-2, Ayahku pergi bekerja setiap hari dengan Duke Las, Kapten Ksatria ke-1, kecuali sesuatu yang istimewa terjadi. Setiap kali Ayahku pergi ke istana kerajaan, aku menunjukkan kepadanya sopan santun dasar untuk menghormatinya. Hubungan antara aku dan Ayah sangat dingin. Tapi hari ini berbeda. Ketika Ayahku mengangguk, Aku sering melihat wajahnya tumpang tindih ketika diberitahu bahwa dia akan segera kembali untuk menjemput ku. Aku meraih seragam birunya dengan tanganku yang gemetar. Aku takut dia tiba-tiba menghilang. Jika aku melepaskan tangannya sekarang, aku merasa seperti akan terbangun dari mimpi yang nyaman dan dilemparkan ke dalam kenyataan yang dingin. "Tia, Apa kamu lagi sakit?" "Eh...?" “Atau ada yang ingin kamu sampaikan kepada Ayah? Waktu itu juga kan kamu tiba-tiba nangis, kan. ” Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahiku. Tangan yang mengelus kepalaku dengan sedikit canggung tetapi kehangatannya tetap terasa meski melewati sarung tangan. Bagaimanapun juga aku kasihan dengan hidupku. Apakah ini akan menjadi mimpi terakhir yang diberikan Tuhan kepadaku? Ketika aku bertemu dengan mata birunya yang penuh dengan kecemasan, aku merasa seolah-olah kecemasan yang membebani ku tampaknya sedikit hilang. Aku tahu bahwa melakukan apa yang ku inginkan berbeda dari menyusahkan seseorang. Jadi, aku merasa bahwa aku tidak perlu menyusahkan ayah lagi. Aku masih takut, tetapi aku melepaskan cengkeraman ku pada seragamnya dan berkata dengan enggan, "Ga, Gak ada apa-apa, kok. Aku baik-baik aja, Ayah." "... Hmm" Aku tersenyum seterang mungkin, tapi ayahku mengerutkan kening dengan ekspresi tidak puas. Ada saat keheningan. Ketika aku akan mengatakan kepadanya bahwa aku baik-baik saja, dia mengulurkan tangannya yang besar dan berkata, "Kamu ingin pergi denganku?" "... Maaf? ... Ke istana? ” "Ya." "Bolehkah aku...?" "Tentu saja kamu boleh ikut." "Terima kasih ayah!" Aku tersenyum cerah pada tanggapannya yang tak terduga, dan berpegangan pada lengannya. Aku mendengar seseorang bergumam di belakangku. Melihat ke belakang, aku melihat para ksatria menatapku dan ayah dengan tajam. Mengapa mereka menatap kami seperti itu? Memiringkan kepalaku, aku bertemu dengan mata ksatria paruh baya. Aku juga tersenyum tanpa sadar saat dia tersenyum padaku. Kemudian, bisikan mereka menjadi lebih keras. Apa yang mereka lakukan? Bisikan panjang mereka berhenti hanya setelah ayahku menyuruh mereka pergi. Aku bingung, melihat mereka kembali ke tempat mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Apakah karena aku? Karena aku bertindak berbeda hari ini? Jika itu masalahnya, itu terlalu realistis untuk sebuah mimpi. Lalu, apakah aku berada di dunia nyata sekarang? Apakah rasa sakitku yang lama dan menyakitkan hanya mimpi buruk? Aku menuju istana dengan keraguan. *** “Ayo turun, sayang.” “Ya, ayah.” Turun dari kereta, aku melihat sekeliling. Bangunan putih yang diterangi matahari bersinar keemasan, dan pohon-pohon hijau yang lebat membuat bayangan di atas mereka yang bersembunyi di sana dari panasnya matahari. Ada para pelayan berjalan cepat, pejabat berbicara satu sama lain memegang beberapa dokumen, dan ksatria bertukar tempat satu sama lain, mengenakan seragam mewah. Semua ini adalah gambaran familiar yang sama di dalam ingatan masa lalu ku, ketika aku memasuki istana dengan hati-hati. "Tia, sudah lama kan kamu tak berkunjung ke istana. Apa kamu ingat?" Ya! aku ingat. Aku ingat istana megah yang menjulang tinggi di atas banyak bangunan. Luar biasa besar, itu adalah Istana Pusat, Istana Pusat kerajaan serta kediaman Raja. Ketika aku melihat gedung putih, aku terganggu oleh kecemasan lagi. Aku tidak tahu apakah itu mimpi atau kenyataan, tetapi semua jenis kenangan menyedihkan muncul di pikiranku. Aku merasa seolah-olah Raja muncul di hadapanku segera dan mengejekku, jadi aku meraih lengan baju ayahku dengan tangan gemetar. Wajah ayahku mengeras ketika dia menatapku dengan aneh. “Tia? Ada apa denganmu, Tia? Apakah kamu sakit?" "Ah… " “Aku tidak tahan lagi. Aku akan membawamu ke dokter kerajaan. ” Tanpa memberi ku waktu untuk merespons, dia bergerak cepat. Aku melingkarkan lenganku di leher ayahku dan bersandar di bahunya. Rasanya seperti kehangatan yang kurasakan dari dadanya yang lebar membisikkan kepadaku bahwa aku akan baik-baik saja, jadi aku bisa merasa lega. Baru saat itulah gemetarku mereda. Kecemasanku sedikit demi sedikit mereda. “Yang Mulia tuan Monique datang!” "... Eh?" "Ketua-Ekh?!?" "AKH!" "EKH?" Aku tersadar ketika aku mendengar mereka saling bertukar sapa. Dimana aku sekarang? Saat aku berbalik dan melihat sekeliling dengan hati-hati, para ksatria berseragam nila berdiri kaku di dekatnya. Mereka menatap ayahku dengan heran. Bahkan, mereka menatapku dalam pelukannya. Ya Tuhan! Aku berbisik kecil, menyembunyikan wajahku yang memerah. "Tu, turunkan aku, ayah... Susah kan kalau berjalan sambil menggendongku seperti ini." “Kita hampir sampai. Jadi, tunggu sebentar.” “Tidak, aku masih tidak menyukainya. Tolong turunkan aku, Ayah. ” "Tidak mungkin." Aku memintanya untuk menurunkan ku beberapa kali, tetapi dia sangat bertekad. Meskipun aku malu ketika mereka melihatku, aku menyerah dan membenamkan wajahku di bahunya daripada bertanya lagi. Aku terdiam saat bertemu mata birunya. "Saya merasa terhormat melihat Anda, Ketua!" "Selamat datang pak." "Yah, kalian sudah bekerja yang baik." Ketika aku sedikit menoleh, aku melihat beberapa ksatria membungkuk kepada ayah. Aku menegang melihat tatapan mereka yang memberatkan. Mengapa mereka membuat ekspresi seperti itu? Sepertinya mereka sedang melihat anak-anak anjing mereka! “Baiklah Ketua.” "Ada apa?" “Bolehkah aku menggendongnya? Anda tampak lelah…" "Tidak pak. Aku bisa melakukannya karena orang ini sangat lelah karena latihan berat hari ini…” “Tidak, terima kasih. Kembalilah ke pekerjaan kalian masing-masang.” Aku melihat banyak kesedihan di mata mereka ketika ayah menolak permintaan mereka. Setelah menolak mereka begitu saja, ayah mulai berjalan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD