BAB 1 : SEBUAH TAKDIR

1415 Words
Mendapat kabar bahwa saudara kembarnya akan segera melahirkan membuat Nada segera bergagas untuk menyusul ke rumah sakit meninggalkan pekerjaannya yang jelas-jelas belum usai. Namun ia memang harus tetap meninggalkan sekolahannya. Kabar yang baru saja ia dengar bahwa adiknya itu terpeleset dan kemudian merasakan kontraksi membuat keluarganya segera melarikan kembarannya itu ke rumah sakit. Berharap saudara kembarnya baik-baik saja—apapun doa Nada rapalkan untuk keselamatan Nadi. Nadi sudah terlebih dulu menikah katimbang Nada yang masih nyaman dengan hubungan pacaran dengan Mahendra—kekasih Nada yang memang mereka adalah teman kala SMA. Gadis cantik itu berlari melewati lorong-lorong yang sepi teringat ini adalah jam selesai besuk, di ruang operasi keluarganya menunggu minus Galeo—suami Nadi mungkin ia sedang menunggu di dalam ruangan. Ada perasaan takut yang menyelinap pada perasaannya, yang ia harapkan adalah keselamatan keduanya. “Nada?” panggil sang Mama “Mama, gimana Nadi? Operasinya sudah di mulai?” tanya Nada dengan nafas tersenggal Mila menggeleng. “Belum, Nadi baru saja di bawa masuk kedalam, kita menunggu disi—“ “Nona Nada?” panggil seorang Dokter “Ya saya Dok, ada apa?” “Mari ikut saya ke dalam—pasien menunggu ada sedari tadi.” “Ba—baik dok,” setuju Nadi “Mama, minta doanya di dalam ya, tenang pasti keduanya selamat.” “Iya, masuklah—Mama tunggu disini.” Nada mengangguk kemudian ikut masuk ke dalam ruang operasi ΩΩΩ Masuk kedalam ruang operasi tak pernah Nada alami namun sekarang ia benar-benar berada di ruang yang kata orang-orang tempat mengerikan dimana hidup dan mati berada di alat-alat penompang. Netra Nada menatap Nadi yang sudah terbaring lemas menahan sakit, segera ia menghampiri Nadi dan Galeo. “Nada—“ panggil Nadi dengan suara lemas “Iya—ini aku Nadi—kamu harus kuat ya, aku disini temani kamu.” Balas Nada menahan tangis “Jangan pergi, temani aku disini.” Lirih Nadi “Iya, aku disini. Kita sama-sama berdoa ya semua lancar dan selamat,” doa Nada penuh harap “Nada—nanti kalo aku yang lebih dulu pergi tolong jaga si mungil dan Mas Galeo ya—entah apapun nanti akhirnya,” “Nadi!” erang kesal Galeo disamping Nadi “Nadi—jangan ngomong begitu, kalian pasti selamat ya, percaya sama aku, lebih baik yuk doa sama aku.” Ajak Nada dengan mengelus lengan Nadi “Kamu mau berjanji kan, Nada?” ulang Nadi “Enggak, kamu pasti selamat dan lancar.” Tolak Nada “Please—cuman kamu yang aku percaya—tolong.” lirih Nadi lagi di sela-sela kesadarannya “Nadi, sudah diam—kamu pasti selamat dan lancar jangan berpikiran aneh-aneh.” bisik Galeo menambahi Hingga akhirnya suara nyaring menghiasi ruang operasi yang terasa mencengkam itu, segera sang Dokter meletakkan sang bayi pada d**a sang ibu—tangis haru pecah di ruangan itu bahkan Nada dan juga Galeo mengiringi tangis bahagia itu menyambut sang buah hati. Nadi sedang menikmati sang putri menikmati ASInya untuk yang pertama kali dengan ia menatap Galeo serta Nada yang sama-sama terpana dengan kecantikan si mungil baru lahir itu. “Nada—Ma—Mas Leo—tolong tepati janjiku ini—“ ujar Nadi dengan suara makin lemah “Nadi kenapa, sayangg—“ Leo mendekat “Sa—sayangi buah hati kita, jangan pernah kamu sia-siakan setelah ini berakhir—da-dan Nad-a ak-u minta tolong rawat me—mereka berdua, sayangi dia, ak—u titip mereka—“ “Nadiii—nggakk, jangan seperti ini—kuat—“ “Dokter pasien pendarahan!” teriak si suster “Segera ambil tindakan!” “Maaf Dokter Galeo, Bu—mari ikut saya keluar dulu.” Ajak si suster lainnya “Ta—tapi suster Nadi—“ “Dokter akan membantu semaksimal mungkin—bantu dengan doa Bu, dokter.” Tanpa mau membantah keduanya keluar dengan langkah lesu ΩΩΩ Galeo terduduk lemas menanti kabar selanjutnya dari Dokter yang menangani istrinya—putrinya baru saja dibawa keluar untuk di beri perawatan lebih, sedangkan istrinya masih berjuang hidup dan Mati. Perasaan kalut semakin menghiasi wajah orang-orang yang menunggu kabar dari dokter. “Nadi, Pa—putri kita.” Tangis Mila dalam pelukan Bachtiar “Tenang, Ma. Nadi anak yang kuat.” “Mama takut—“ “Kita doakan saja Ma, semoga semua lancar dan Nadi melewati masa kritisnya.” Suara pintu berderit dan terbuka menampilkan wajah dokter yang pasrah lesu—mereka semua yang menunggu melihat mimik yang tak begitu mengenakkan. “Nada Kalina, meninggal pada pukul 16.00 WIB, di karenakan pendarahan hebat.” Sang Dokter menerangkan kabar “Nadiii—“ Teriak Nada seketika membuat Galeo segera menarik Nada yang ingin masuk ke dalam ruang operasi “Nada—ik-ikhlas—“ isak Galeo dengan meminta Nada untuk ikhlas “Nggak—Nadi masih selamat A-abang, Nadi masih nafas kok—dia udah janji mau ngurus si kecil bareng-bareng—“ isak Nada dengan berontak “Nada—“ “Pa! Bilang sama Dokternya—Nadi masih hidupkan—dia masih nafas—Papaa!” “Ikhlaskan sayang—“ Bachtiar memeluk anak serta istrinya “Galeo—Javier temani Galeo mengurus Nadi.” Pinta Bachtiar penuh dengan hati tabah “Iya, Pa.” “Inilah sebuah akhir hidup Nada dan Mama—kita harus mengikhlaskan apa yang Allah punya dan sekarang Allah sudah pinta kembali makhluknya—ikhlas sayang.” lirih Bachtiar lagi pada Nada serta Mila—istrinya ΩΩΩ Seperti tersambar petir, ini bukanlah akhir yang baik untuk Nada serta Galeo. Mereka sama-sama terpukul dengan rasa masing-masing. Nada ditinggalkan adik serta kembarannya yang selalu ada untuknya—adik pemberaninya, orang yang selalu membela Nada di saat apapun, dan untuk Galeo ia kehilangan istri yang baik, ia kehilangan seorang kekasih hati untuk selamanya, ia kehilangan ibu dari anaknya runtuh sudah dunia Galeo, begitu juga dengan pihak keluarga Nadi serta orangtua Galeo. Dengan tangan gemetar Galeo mengurus mendiang istrinya yang terbaring pucat dengan mata memejam rapat, Galeo hanya terdiam disisi kanan istrinya semenara Javier mengalah untuk membantu sahabat serta adik iparnya itu mengurus segala adminitrasi dan urusan lainnya. Nada dan Mila sudah di bawa pulang terlebih dahulu, sementara si bayi masih harus berada di rumah sakit hingga beberapa hari kedepan. Duka menyelimuti sore yang mendung itu. Rasanya seperti mimpi yang tiba-tiba, kejadiannya sungguh cepat sangat cepat rasanya Nada ingin sekali turun tangan untuk membangunkan Nadi untuk bangun dari tidur lelapnya itu namun saat ia tahu wajah pucat sang Adik dan badannya dingin itu sudah menjadi bukti bahwa Nadi sudah meninggalkan mereka semua, meninggilkan keluarganya, suami, serta anaknya yang baru saja lahir. “Yuk Ma, Nada kita sudah sampai rumah—istirahat dulu sebentar sebelum jenazah Nadi sampai.” “Pa—Nadi belum meninggalkan—“ lirih sedih sang Mama yang masih memeluk Nada yang sama-sama masih menangis “Ayo turun dulu—“ ajak Bachtiar Akhirnya Nada dan Mila mengikuti ajakaan Bachtiar untuk turun dari mobil untuk masuk kedalam, di rangkul oleh Bachtiar ia tahu istri serta anaknya saat ini terpukul—begitupun dengan dirinya juga sama terpukul namun saat ini ia harus menjadi sesosok yang kuat, siapa lagi bila bukan dia yang menguatkan mereka berdua. Di dudukkan mereka berdua di sofa ruang keluarga, kemudian Bachtiar memanggil semua pekerja rumahnya untuk membantu merapikan rumahnya menggeser beberapa perabotan. “Tolong Mbak, Pak bantu saya untuk merapikan beberapa perabotan karena—jenazah Nadi akan segera datang—“ “Innalilahhi, Pak—Mbak Nadi?” jerit para pekerja rumah tangga “Minta doanya ya semua semoga Nadi di beri tempat terindah di sisi-Nya” ujar Bachtiar “Jadi bisa kita kerjakan sekarang?” “Bisa Pak.” “Saya mau bawa istri dan Nada dulu ke atas ya.” “Baik Pak—“ “Mau saya bantu Pak?” Tawar salah satu pembantu Bachtiar menggeleng. “Saya sendiri saja—kalian bantu beres-beres.” “Baik Pak.” ΩΩΩ Tamu yang datang membludak, hingga akhir persemayaman Nadi yang terakhir. Tangis sedih coba Nada dan Mila tahan apalagi Bilqis yang memang mertua Nadi juga ikutan menahan tangisnya. Sedangkan Galeo ia sudah mencoba mengikhlaskan kepergian istrinya yang ia rasa cepat itu namun ia tetap harus tetap berdiri bukan. Acara demi acara terlewati hingga tiba saatnya, Nadi dengan peristirahatan terakhirnya. Suara tangis yang mengiringi menjadikan suasana semakin menjadi sendu dan penuh keharuan. Tanah sudah kembali rata, taburan bunga memenuhi gundukan tanah yang masih terlihat basah itu. Nada memeluk nisan Nadi dengan erat, seakan ia ta ingin pergi dari sisi Nadi, sungguh ia sangt kehilangann adik serta teman terbaiknya. Sejak semalam Nada sudah membuat protes pada sang pencipta kenapa harus adiknya yang ia ambil namun segera di tepis oleh salah satu sepupu Nada yang menemaninya meratapi kehilangan Nada. “Nadi kenapa harus pergi—“ isak Nada “Nada ayo pulang Nak—Nadi sudah tenang—ik—ihlas Nak.” Mila menarik tangan Nada “Nada mau masih ingin disini Ma—Nadi sendirian Mama—“ teriak Nada enggan “Ayo, Nad—enggak baik menangisi Nadi seperti ini, kasihan dia Nak.” Bachtiar ikut merayu Nada agar mau pulang “Pa, Nadi sendirian disini—mengertilah!” “Besok kita kemari lagi sayang—yuk.” Bachtiar masih sabar Hingga akhirnya Nada mau menuruti permintaan Bachtiar untuk pulang kerumah, berakhir dengan Galeo yang masih diam terduduk disana. Memandang haru pada nisan bertuliskan nama Nadi Kalina disana, sakit, memang. Mengalahi takdirpun ia tak bisa. “Le, pulang bro.” Ajak Javier “Lo duluan aja ke mobil—gue mau ngucapin sesuatu ke Nadi—sebentar.” Ujar Galeo tanpa mengalihkan pandangannya pada nisan Nadi “Gue tunggu—“ “Tinggalin gue sendiri, Jav!” Javier menghela nafas sabarnya. “Oke—sepuluh menit.” Galeo mengangguk Sepeninggal Javier, Galeo kembali menunduk pada makam yang harum dengan bunga itu. Galeo melepas kacamata hitamnya, tangannya mengelus nisan hitam itu. Galeo mencium nisan itu berharap ciumannya itu tersampaikan pada Nadi yang sudah tertidur dengan tenang disana. “Nadi, istriku, selamat beristirahat sayang—aku tetap akan sayang padamu meski kita sudah jauh berkilo-kilo, kenapa kamu memilih ini sayang? Padahal baru saja kita waktu malam itu merangkai angan ternyata kamu memilih menyerah ya, enggak apa-apa mungkin kamu lelah dengan semuanya ya. Nadi terima kasih sudah hadir untukku dan mau menggandung putri kita, istirahatlah dengan tenang Sayang, doaku selalu untukmu, bahagia disana ya.” lirih Galeo yang kemudian bangkit dari posisi menunduknya. “mencintaimu memang tidak sulit Nadi, namun yang sulit adalah aku kehilangan semua tentangmu tapi apapun tentang peninggalanmu akan selalu aku kekenang apalagi prihal cintaku padamu, istriku. Bahagialah disana, I LOVE YOU.” ΩΩΩ
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD