bc

Our Love Story

book_age18+
1.0K
FOLLOW
11.6K
READ
arrogant
boss
drama
sweet
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Arisha yang polos bertemu dengan Khafi yang kaku. Mereka menikah karena dijodohkan, meski begitu sebenarnya mereka saling memendam rasa. Arisha yang ceria selalu menunjukkan cinta secara terang-terangan. Sementara Khafi memilih untuk bersikap cuek. Pernikahan mereka berjalan sangat lamban dan dipenuhi berbagai kesalahpahaman.

Hampir saja Arisha menyerah karena Khafi yang tak kunjung berubah. Kemunculan Gibran yang tepat waktu membuat Arisha sedikit terhibur. Gibran mengungkap rasa sukanya pada Arisha meski tahu wanita itu telah memiliki suami.

Di sisi lain, masa lalu Khafi membuatnya takut mengungkapkan cinta pada Arisha. Namun, ketika Gibran muncul dan jelas berpotensi mencuri Arisha, dia berubah. Dia ingin mengejar Arisha dan tidak akan melepas sang istri.

Mampukah Khafi meyakinkan Arisha bahwa sikap dinginnya hanya demi menjaga sang istri?

Cover by: Lina Rahayu

Edited by: Canva

chap-preview
Free preview
Bab 1: Mr. Perfect
“Gimana, Sha? Sudah dapat inspirasi?” Gadis yang ditanya menggeleng lemah. Dia melipat tangan di meja, lalu meletakkan kepala di atasnya. Bibir mungilnya mengerucut dengan mata terpejam. Alunan musik dari laptop yang biasa membawa banyak inspirasi, kini terdengar sumbang. Ini semua karena atasannya yang memerintahkan untuk membuat kisah paling tidak masuk akal. Sebagai penulis dengan tema perjuangan mimpi, berpindah pada kisah romantis dalam rumah tangga tentu hal yang sulit. Apa lagi, dia tidak pernah mengenal makhluk bernama laki-laki dengan baik. Sejak kecil, sang ayah sudah mewanti-wanti agar tidak terlalu dekat dengan lawan jenis. Hasilnya, dia memang nyaris tidak memiliki teman dari golongan kaum Adam. Arisha sudah nyaman berada di zona yang sekarang dia tekuni. Dia tidak masalah jika novelnya tidak selaris penulis lainnya. Toh, dia melakukan pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Dia hanya menuliskan apa yang disukai dan dikuasai. Kebanyakan bukunya bercerita mengenai perempuan kuat yang mandiri dan berhasil meraih mimpi, sangat minim keromantisan. Sebenarnya, Arisha punya objek tepat untuk menggambarkan keromantisan sepasang suami istri. Orang tuanya adalah pasangan paling romantis yang pernah dia lihat. Selain itu, banyak teman wanitanya yang juga sudah berkeluarga. Dia bisa saja mewawancarai mereka untuk mendapatkan bahan menulis. Namun, dia tetap tidak nyaman saat mulai merangkai kata. Kehidupan rumah tangga sungguh bukan hal yang mudah dimengerti. Terkadang, pasangan hanya mau membicarakan kebahagiaan mereka dan berusaha menutup keburukan. Ini memang sudah seharusnya. Bukankah urusan suami istri suatu hal yang tidak boleh diumbar sembarangan. Bahkan setiap manusia diperintahkan untuk menjaga aib pasangannya. Lagi-lagi, penyebabnya bukan hanya itu. Arisha hanya tidak nyaman karena menuliskan sesuatu yang belum pernah dia rasakan. Padahal di luar sana, banyak penulis yang masih sendiri, tetapi sudah bisa menghasilkan karya sukses dengan teman pernikahan. Dia juga merasa tertekan karena tidak bisa menuliskan sesuatu yang sedang diminati oleh pasar saat ini. “Kamu, kan, bisa tanya-tanya sama teman-teman kita yang sudah menikah. Ayolah, ini tidak seburuk yang kamu bayangkan, Sha,” ujar Nadhifa. “Fa, kamu tahu, kan, kalau aku hanya menulis sesuatu yang pernah aku alami. Paling tidak, aku sudah mencobanya. Lain dengan tema ini. Pernikahan, lho. Masa aku harus coba-coba. Enggak mungkin, kan?” “Gimana kalau kamu nikah saja?” Arisha duduk tegak dengan cepat. “Usul yang bagus itu,” ucap Arisha sambil tersenyum lebar, tetapi matanya melotot. “Kamu pikir cari jodoh itu bisa di-survey, terus dijadikan laporan. Setelahnya ditinggalkan? Kasih saran yang bagus, dong. Jangan malah menyesatkan.” “Kenapa? Lagian, kamu sudah cukup matang untuk menikah.” “Kita seumur dan sama-sama belum menikah, kalau kamu lupa.” “Iya, iya. Enggak usah emosi gitu. Sabar, dong. Orang sabar disayang Tuhan.” “Amin.” “Eh, mau ke mana?” seru Nadhifa saat Arisha beranjak dari kursi. “Cari inspirasi,” jawab Arisha tanpa menoleh. Langkah Arisha sedikit lambat. Dia menarik napas berkali-kali sambil menundukkan kepala. Di belakangnya, Nadhifa geleng-geleng sambil memperhatikan meja sang sahabat yang masih berantakan. Sebagai teman dan editor, dia ingin Arisha merasa nyaman ketika menulis. Akan tetapi, dia juga ingin karir Arisha meningkat. Salah satunya dengan memaksa Arisha keluar dari zona yang selama ini dia pilih. Penerbit tentu tidak ingin rugi dengan menerbitkan novel yang memiliki pasar sedikit. Pembaca lebih suka kisah cinta romantis ketimbang cerita mengenai perjuangan seseorang meraih mimpi. Benar kata orang, hidup tidak akan lengkap tanpa keromantisan. Cinta akan membuat hari-hari seseorang lebih berwarna dan indah. Berteman lama dengan Arisha membuat Nadhifa memahami sifat sang sahabat. Arisha lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau toko buku, membaca setumpuk buku sampai lupa diri. Dia selalu menghindari pertemuan apa pun dengan teman-temannya, terutama jika ada lawan jenis. Jadi, tidak heran kalau dia bahkan tidak memiliki sahabat laki-laki. Mau bagaimana lagi, ajaran yang ditanamkan oleh sang ayah sangat dipatuhi oleh Arisha. Bukan. Dia bukan gadis yang anti sosial. Malah dia sangat pandai berbaur dengan orang baru. Hanya saja, dia memandang mereka sama rata. Dia ramah dan baik pada siapa pun, tetapi sebatas itu. Tidak pernah sekali pun dia melihat kalau ada laki-laki yang berusaha mendekat. Ini sedikit mencemaskan sebenarnya. Nadhifa sudah terlalu sering membukakan jalan bagi setiap pria yang ingin mengenal Arisha. Akan tetapi, semua berakhir sama. Arisha sama sekali tidak merespons langkah-langkah yang diambil para pria itu. Setidaknya, sekadar suka atau hati berdebar saat melihat seseorang pun tidak pernah dirasakan oleh Arisha. Bukankah sangat mengkhawatirkan? Ditambah lagi, umur Arisha sudah dua puluh lima tahun. Meski belum terlalu tua, bukankah semestinya dia sudah bisa merasakan getaran aneh saat bertemu lawan jenis yang disukai. Sampai detik ini, dia belum pernah terlihat menyukai siapa pun. Nadhifa juga yakin kalau Arisha tidak memendam perasaan pada seorang pria. Mereka sangat dekat dan tidak pernah merahasiakan sesuatu. Selama berteman dengan Arisha, Nadhifa tidak sekali pun melihat ekspresi bahagia di kedua mata Arisha ketika melihat seorang pria. Gadis itu sungguh menganggap mereka seperti teman wanita lainnya. Kenyataan ini cukup membuat Nadhifa ngeri. Pikiran jahatnya terkadang menghampiri. Mungkinkah Arisha tidak menyukai lawan jenis? Namun, pikiran itu selalu ditampik oleh Arisha. “Aku bukannya enggak bisa jatuh cinta, Fa. Cuma memang belum ketemu yang cocok,” ujar Arisha saat Nadhifa protes. “Tapi masa iya dalam dua puluh lima tahun ini kamu enggak pernah menunjukkan tanda-tanda suka sama cowok. Kan, aku khawatir.” “Kamu tenang saja, kalau waktunya tiba, aku juga bakal tergila-gila sama cowok. Kamu enggak perlu sekhawatir itu. Lagian, aku masih dua puluh lima tahun, kan? Banyak yang umurnya di atas aku, tapi belum nikah.” “Tapi, setidaknya mereka pernah suka sama cowok, Sha. Lha, kamu?” Gadis cantik memutar bola mata mendengar perkataan sahabatnya. Dia juga tidak mengerti mengapa hal itu terjadi padanya. Mungkin karena dia terlalu serius menghabiskan waktu dengan buku-buku. Atau mungkin karena sang ayah selalu mengingatkan agar berhati-hati dengan pria. Kalimat itu seakan tertanam di kepala dan membuatnya, tanpa sadar, menyingkirkan keberadaan semua lawan jenis. Meski begitu, Arisha percaya kalau dia akan bertemu dengan pria tepat suatu hari ini. Lagi pula, dia tidak bermaksud pacaran. Dia akan lebih suka jika ada yang datang ke rumah dan melamar. Kehidupan pernikahan sepertinya lebih menarik dari pada dunia pacar-pacaran. Jadi, dia tidak akan mau repot-repot membuang waktu hanya untuk cowok yang tidak berkomitmen. Tidak salah, bukan, kalau Arisha berpikir begitu. Sang ayah juga tidak akan mengizinkan Arisha pacaran. Apa gunanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak akan berhasil. Dia terlalu sibuk untuk menggubris semua gosip yang beredar mengenai kemungkinan kelainan pada dirinya. Siapa peduli. Gosip seperti itu akan hilang seiring berjalannya waktu. *** Taman sore ini cukup ramai. Arisha memperhatikan beberapa orang yang berkunjung. Ada gerombolan anak remaja yang cekikikan entah membicarakan apa. Anak-anak bermain di bagian taman yang khusus. Hampir di setiap sudut taman, Arisha melihat pasangan yang mengobrol. Dia tidak bisa memastikan apakah mereka berstatus pacaran atau suami istri. Sekarang, ada banyak pasangan yang sulit dibedakan statusnya. Yang pacaran seperti sudah menikah banyak sekali. Sementara yang menikah, tetapi seperti orang berpacaran juga tidak sedikit. Dunia memang penuh warna. Masih banyak yang belum memahami batas-batas yang harus dijaga saat berhubungan dengan kawan jenis. Ini sedikit miris, tetapi sangat sering terjadi. Setiap orang tahu kalau Arisha sudah di taman, itu artinya dia memang butuh ketenangan untuk menemukan ide baru. Melihat orang-orang yang ada di taman, membawa banyak inspirasi bagi Arisha. Biasanya pikiran Arisha akan kembali tenang begitu pulang dari tempat ini. Lalu, dia akan dengan mudah menuliskan setiap ide yang ditangkap. Tangan Arisha sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Satu lagi penghilang tekanan paling manjur untuknya, setumpuk camilan. Mengunyah bisa membuat mood Arisha meningkat. Seperti saat ini, walaupun belum menemukan ide, dia sudah sedikit tenang. Dia mengangkat bungkus keripik, bermaksud melihat matahari sore dari balik benda itu. Sebelum semua keinginan itu terpenuhi, Arisha berdiri cepat begitu ada orang yang membuat semua keripiknya terjatuh di tanah. Dia memandangi camilan favoritnya dengan mulut mencebik. Siapa yang berlarian di taman tenang. Suasana hati yang baru saja membaik, kembali penuh sesak. Dia mengangkat wajah untuk melihat siapa yang mampu membuat harinya buruk lagi. “Maaf, saya tidak sengaja.” Untuk sekian detik, Arisha terpana oleh pemandangan di depannya. Seorang pria tampan yang meski tidak melihat ke arahnya, tetap memesona. Memakai hoodie berwarna abu-abu tua dan celana putih di bawah lutut. Ada sedikit poni di keningnya. Rambut cepak sangat cocok dengan wajah rupawan. Dia melihat ke belakang Arisha, entah mencari siapa. Tanpa bisa dicegah, jantung Arisha berdetak lebih cepat. Dia meremas kedua sisi baju yang dikenakan, lalu menelan ludah. Sedikit puas dengan penilaian terhadap pria asing di depannya, gadis itu menunduk. Sepasang sneaker putih terpasang di kedua kaki panjang si pria. Sekali memandang, Arisha tahu kalau itu sepatu bermerek yang yang tidak akan pernah bisa dia beli karena mahal. Ternyata pria kaya. Pantas saja sikapnya sedikit menyebalkan. Meskipun begitu, hati Arisha merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, dia selalu pintar berkomunikasi dengan orang baru. Lalu, kenapa sekarang dia hanya diam dan tidak menanggapi permintaan maaf dari pria itu? Kenapa dia malah memandangi flat shoes cokelat yang dipakai sekarang tanpa berbicara? “Saya akan mengganti keripik kamu,” ucap pria itu lagi. Arisha mendongak, tepat saat si pria juga tengah menatapnya. Mereka saling memandang untuk sesaat sebelum Arisha mengalihkan mata. “Tidak perlu. Saya masih punya banyak,” kata Arisha sambil menunjuk empat bungkus kripik di bangku yang dia duduki tadi. Pria itu cukup terkejut. Entah karena ucapan Arisha atau hal lain. “Tetap saja. Saya harus mengganti. Maaf, saya sedang buru-buru mencari seseorang.” “Tidak masalah. Serius! Kripiknya tidak perlu diganti. Lagi pula, isinya tinggal sedikit.” “Tapi ....” Pria misterius kembali melihat ke arah belakang Arisha tanpa menggerakkan tubuh. Dia menyipitkan mata, lalu mengerutkan kening. Kemudian, dia memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Detik selanjutnya, dia menoleh lagi pada Arisha. Membuat gadis itu mengerjap dan tersenyum sekilas untuk menutupi kenyataan kalau tadi dia tengah memperhatikan si pria. “Saya benar-benar harus pergi,” ucap si pria. “Kamu punya kertas dan pena.” Meski bingung, Arisha mengangguk, lalu menyerahkan dua hal yang dibutuhkan oleh pria itu. Dia memperhatikan si pria menulis dengan cepat. Matanya kembali mengerjap saat pria asing menyerahkan benda yang dipinjam. Dia melihat sederet angka yang ada di kertas itu. Nomor telepon seluler? “Ini nomor saya. Sekarang saya harus pergi dan tidak sempat membelikan kripik kamu. Itu nomor saya. Hubungi saya dan kirimkan alamat kamu.” Pria itu mengulurkan tangan. “Nama saya Khafi.” Tangan Khafi terulur lama tanpa sambutan. Arisha terlalu banyak memikirkan segala kemungkinan sehingga tampak tidak bisa mendengar perkataan pria itu. Menahan malu, Khafi pamit dan pergi secepat mungkin dari tempat ini. Sementara Arisha baru sadar setelah beberapa saat dan merasa bersalah pada Khafi. Tiba-tiba Arisha mengerutkan kening. Dia yakin kalau pria tadi menyebutkan bahwa namanya Khafi. Atau dia salah dengar? Ada apa dengan dirinya? Ini pertama kalinya dia tidak mampu berkata-kata di hadapan orang asing. Benar-benar bukan dia yang biasa. Apa karena dia tidak menemukan ide menulis? Atau karena pesona pria bernama Khafi itu terlalu memengaruhinya? Apa yang sebenarnya terjadi?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook