Tetangga Biang Kerok
Seorang perempuan tampak berlari tergesa dan mengabaikan sapaan dari beberapa orang yang melihat kehadirannya. Dia tidak peduli kalau dianggap sombong, karena yang terpenting saat ini adalah dia tiba di tempat tujuannya tepat waktu. Meski sesungguhnya sudah terlambat lima belas menit.
Karamel, gadis itu, akhirnya menghentikan langkah di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Ia menormalkan napasnya yang masih terengah dan jantungnya yang sudah berlompatan tidak karuan.
Hari ini adalah rapat penyerahan jabatan dari sang ayah padanya, jadi seharusnya ia bisa tiba tepat waktu. Namun, karena terlalu bersemangat menata rumah baru, ia jadi tidur terlalu larut dan malas untuk beranjak dari kasurnya saat pagi sudah menjelang.
Ia masih ingin menikmati waktu berada di tempat baru di mana dirinya bisa bebas bangun kesiangan tanpa mendengar omelan sang mama. Juga tempat di mana dia bebas untuk mengajak sahabat-sahabatnya untuk menginap—pasti akan sangat menyenangkan.
Baru dia akan masuk ke ruangan, seseorang yang tampaknya bernasib sama dengannya berniat menyerobot dan membuka pintu. Namun, tangan lelaki itu dengan cepat ditampik oleh Karamel.
“Eh, jangan nyerobot, donk! Gak sopan, tau!” ketusnya, yang tidak digubris oleh lelaki itu dan justru kembali hendak membuka pintu.
“Dibilangin bandel juga lo, ya! Lo gak liat gue lagi benerin rambut?” Karamel makin kesal. Pertikaian kecil sepihak itu berubah jadi perebutan kenop pintu yang berujung pada kejadian konyol yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan.
Keduanya sama-sama berada di dalam ruang rapat, tetapi tidak dalam kondisi baik-baik saja, melainkan tersuruk ke lantai—saling bertumpuk, dan jelas, mengundang semua mata termasuk tatapan garang dari owner perusahaan yang merupakan ayah Karamel.
“Kara! Jeki! Ke ruangan saya sekarang!”
***
“Papa gak nyangka kamu sudah bikin malu dengan tindakan kamu yang kekanakan itu, Kara. Papa kecewa sekali sama kamu! Padahal seharusnya hari ini papa memperkenalkan kamu dengan kebanggaan setinggi gunung, tapi kamu sudah membuat impian papa pupus sudah!” omel Satriyo, pria berusia sekitar enam puluhan yang urat di wajahnya sudah mengetat sejak tadi.
Tepatnya sejak menyaksikan dua sejoli yang sesungguhnya bukan sepasang kekasih itu menunjukkan pose mengundang di hadapan seluruh kolega bisnisnya.
Mengundang emosi dan jelas mengundang malu bagi Satriyo. Terlebih, hari itu merupakan hari besar baginya dan Karamel, hari di mana dirinya akan pensiun dan siap untuk menyerahkan tonggak kepemimpinan perusahaan pada putri tunggalnya.
“Itu bukan salahku, Pa. Cowok ini yang jadi biang kerok. Aku sedang benahin rambut aku tadi, dan dia malah—“
“Cukup, Karamel! Papa gak mau tahu. Kamu dan Jeki akan papa tempatkan di satu divisi dan kalian harus bekerja sama untukk membangun tim yang solid. Divisi ini terkenal sulit dan penuh persaingan. Kalau kalian gagal, papa akan batalkan posisi yang sudah papa janjikan.”
“Apa? Papa, ini gak adil buat aku! Kenapa aku dapat hukuman yang sama dengan cecunguk ini! Dia bukan siapa-siapa di perusahaan ini!” geram Karamel sembari melirik sinis pada Jeki yang sejak tadi hanya bungkam. “Kenapa lo diem? Bisu lo?”
“Kara! Kamu harus belajar untuk menjaga tingkah laku kamu! Kamu itu sudah dewasa—tiga puluh tahun, kan? Harusnya kamu sudah bersanding di pelaminan, lalu memberi papa cucu, bukan seperti ini.”
Tatapan Satriyo berpindah pada Jeki yang sejak tadi menunduk kini memusatkan perhatian pada sang bos.
“Jeki, saya tahu kualitas kamu. Tapi maaf, saya harus bersikap adil karena tadi tidak hanya Karamel yang buat ulah. Kamu juga. Jadi hukuman ini berlaku juga untuk kamu.”
“Iya, Pak. Maafkan saya.”
Satriyo lantas menoleh pada keduanya secara bergantian. “Lakukan pekerjaan ini dengan baik! Bukan hanya sebagai formalitas karena ini merupakan hukuman, melainkan dengan tanggung jawab penuh. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya menjawab dengan suara nyaris tak terdengar. Dan tidak ada lagi yang Satriyo ucapkan selain tepukan di pundak Jeki serta lirikan kesal terarah pada putri semata wayangnya sebelum akhirnya pergi dari ruangan meninggalkan kedua biang kerok perusak rencana hari ini.
Dia kecewa, tetapi apa boleh buat?
Dan setelah kemarahan sang ayah, baik Karamel dan Jeki tak mengeluarkan suara selain patuh dan mengekor langkah seorang pegawai yang diutus untuk mengantar dirinya dan Jeki ke sebuah ruangan.
Karamel tiba di ruangan yang katanya sudah disiapkan untuknya. Jabatan sebagai CEO yang dijanjikan oleh sang ayah, hanya tinggal mimpi sekarang. Itu karena ulahnya sendiri, sebenarnya. Namun, tetap saja dia tidak mau mengakui kesalahan karena penyebab keonaran itu adalah kehadiran Jeki yang ngeyel masuk ke ruangan menyerobot Karamel yang masih membenahi rambut dan pakaiannya.
Kini tatapan sinis penuh permusuhan tak pernah lepas dari Jeki yang pembawaannya tetap tenang sejak tadi.
“Kenapa sih lo diem aja dari tadi? Tadi di depan bapak gue lo bisa ngomong!” ketus Karamel, kesal dengan sikap Jeki yang baginya hanya cari muka di depan atasan.
“Gak ada yang perlu saya tanggapi. Mbak sendiri yang ngeyel menghalangi saya masuk ruangan.”
“Mbak mbak ... enak aja lo panggil gue embak? Lo kata kakak lo?” Karamel masih tidak mau kalah. Bagaimana pun, Jeki tetaplah si biang kerok, bukan dirinya.
“Ya, saya minta maaf. Tadi saya buru-buru, jadi ngeyel. Seharusnya kan gak masalah kalau saya masuk duluan. Lagi pula—“
“Udah diem lo! Pusing gue denger lo ngomong!”
Karamel bangkit dari kursinya kemudian berjalan ke arah lemari kabinet di mana berkas-berkas bertumpuk di sana. Ia ingat, sebelum pergi, Satriyo meminta dirinya dan Jeki untuk mengurutkan administrasi berdasarkan tanggalnya lalu memasukkan ke dalam data perusahaan secara online.
Karamel berdecak, pekerjaan yang paling dia benci kini justru harus dia kerjakan. Plus, bersama rekan kerja paling menyebalkan karena sudah merusak impiannya untuk menjadi bos di perusahaan sang ayah.
Namun, jangan salah. Meski sedikit badung, Karamel adalah pegawai yang bertanggung jawab dan berdedikasi. Kecuali sikap ngaretnya yang gak bisa ditolerir.
“Jadi kita harus mengerjakan ini. Coba tolong kamu cek, di data sudah terinput sampai tahun berapa!” titah Karamel pada Jeki, yang membuat lelaki itu mengerutkan kening.
Ajaib betul! Dalam waktu singkat nada serta gaya bicara Karamel terhadapnya tiba-tiba berubah. Apakah ini yang namanya profesionalitas?
Persetan dengan itu! Kalau Karamel bisa bersikap pro, maka Jeki pun bisa. Itu sebabnya Satriyo percaya padanya dan mendaulat dirinya sebagai pegawai teladan.
Mendapat titah dari anak bos yang sikapnya pun sesungguhnya sudah layak jadi bos, Jeki bergegas mematuhi dan dengan cekatan memeriksa data yang ada di komputer di depannya.
“Sampai tahun dua ribu sembilan belas, Mbak.”
“Sekarang tahun berapa?”
“Mbak tanya sama saya atau ngetes?”
Mendengar pertanyaan balasan dari Jeki, Karamel melemparkan tatapan membunuh pada lelaki itu.
“Eh, maaf. Sekarang dua ribu dua dua.”
Berdasarkan jawaban Jeki, Karamel mulai membolak-balik halaman demi halaman file di hadapannya. Tangannya terhenti pada selembar kertas dengan sebuah pembatas bertuliskan tahun yang mereka cari.
“Berarti pekerjaan kita banyak, Jeki. Mengurutkan dan menginput data tiga tahun terakhir. Kamu siap?”
***
Karamel menghempaskan tubuhnya yang letih di atas sofa di rumah barunya. Meski pekerjaan di kantor tadi membuat dirinya begitu lelah, belum lagi Jeki yang justru seperti menambah naik tekanan darahnya, tetapi tiba di rumah perasaannya begitu plong.
Dia mengangkat kedua kaki untuk disandarkan ke atas meja. Santai seperti di pantai. Dia bisa bayangkan bagaimana dirinya akan berpesta kecil di akhir pekan, atau memanggil jasa salon langganannya yang menerima delivery service, atau mungkin mengundang Jay untuk datang dan mampir ke rumah barunya.
Mengingat Jay, dia baru ingat kalau hubungannya dan Jay sudah lama berakhir. Masalahnya simpel, Jay minta ‘anu’ dan Karamel yang barbar tidak mau begitu saja memenuhi keinginan lelaki itu.
Jangan tanya Karamel cinta atau tidak, dia bahkan rela meminta sang ayah untuk memasukkan Jay di perusahaan mereka demi bisa bertemu setiap saat. Untungnya, Satriyo menolak keras keinginan putrinya.
Andai Satriyo memenuhi keinginan Karamel, gadis itu mungkin tidak akan setangguh ini di bisnis mereka, karena kesehariannya hanyalah berpacaran dengan Jay.
Sekarang, Karamel bahkan masuk jajaran pegawai teladan di kantor mereka karena dedikasi tinggi dan bisa dikatakan, Karamel sudah menyatu dengan bidang yang ia geluti.
Karamel ahli di bidang desain, lebih spesifiknya desain produk. Namun, bagi Satriyo hal itu masih belum cukup. Di zaman modern seperti sekarang, keahlian harus terus berkembang seiring perkembangan waktu. Itu sebabnya Satriyo berencana untuk menyatukan Karamel yang ahli di produk dengan Jeki yang andal di bidang grafis.
Niatnya agar mereka saling mengambil ilmu satu sama lain. Namun, rencana Satriyo harus dimulai dengan kekacauan.
Anggap saja ini takdir. Siapa tahu mereka berjodoh.
Sayangnya, pasti akan sulit untuk menyatukan Karamel dan Jeki. Atau lebih tepatnya dengan semua lelaki di dunia ini. Bagi Karamel, laki-laki memang sama saja. Isi kepala mereka rata-rata seputar fisik dan selang*angan.
“Gak semua laki-laki kayak begitu, Mbak,” timpal Jeki yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu Karamel.
Gadis yang semula sedang meracau sendiri dengan kondisi setengah tertidur alias melindur, gelagapan dan bangun dari posisi tiduran ke posisi berdiri.
Jeki tampaknya agak terkejut dengan sikap Karamel dan nyaris saja dia terlompat dari tempatnya sekarang untuk membantu Karamel yang limbung.
Sementara Karamel celingukan memastikan kalau Jeki bukan penguntit dan tidak datang bersama sang ayah untuk mengawasinya.
“Lo ngomong apa tadi? Kok lo bisa—“
“Mbak Kara ngelindur dari tadi.”
“Enggak! Gue gak ngelindur!” jawabnya ketus. Ia tak peduli meski Jeki mengulas senyum termanis sekali pun—Karamel mengakui kalau Jeki memang manis dan ganteng—tapi, Karamel tidak akan tergoda. “Lo ngapain di sini?!”
Kali ini Jeki tertawa kecil lantas menyodorkan bungkusan yang ada di tangannya.
“Mau kasih ini. Aku pikir kalau baru pindahan biasanya repot belum sempat masak, jadi aku mau bagi makanan yang tadi aku beli pas pulang.”
“Lo kok bisa tahu gue yinggal di sini? Lo nguntit gue?”
Jeki tidak menjawab melainkan menunjuk ke arah luar, tepat pada mobil Karamel yang terparkir di halaman.
“Aku lihat ada mobil Mbak Kara di luar. Jadi aku yakin banget kalau tetangga baruku adalah Mbak Kara.”