16.3DARA

2441 Words
Acara makan makan tersebut di akhiri perpisahan dari papi nya Xavier yang memilih pergi mengurus pekerjaanya sementara Xavier sendiri yang menjadi sopir antara dua wanita beda generasi tersebut mereka memasuki kawasan pusat oerbelanjaan sesuai permintaan sang ibunda, Xavier memarkirkan mobilnya di area parkir mobil Mira dan mami Xavier sudah menunggu di pintu masuk mall tersebut Xavier mendekati keduanya berkeliling kemana pun yang mami Xavier inginkan. Xavier hanya bisa menghela nafasnya melihat tingkah dua wanita itu yang tidak ada capek nya pasalnya mereka sudah menghabiskan dua jam mengitari seluruh etalase yang ada di mall tersebut dari toko sepatu, tas hingga baju yang berkali kali keluar masuk membuat Xavier merasa lelah, lelah tubuh, pikiran dan juga dompet pasalnya ibunya tak ingin mengeluarkan sepersen pun untuk membeli barang barang yang mereka beli akibatnya Xavier harus bolak balik menggesek kartunya demi wanita yang paling ia cintai. Mereka tiba disalah satu toko baju yang lumayan bagus menurut Xavier, ini entah sudah yang ke berapa kalinya ia dan kedua wanita itu masuk kedalam toko baju, Xavier memilih duduk di tempat dudukan yang memang berada disana, selain menjadi sopir dan bodyguard ia juga sebagai pesuruh alias tukang angkat barang belanjaan, membuatnya berakhir membawa begitu banyak paper bag, ia melihat ibunya tengah menempelkan gaun gaun yang menurutnya cocok untuk Mira Xavier hanya memperhatikan dari arah jauh ia hanya geleng geleng kepala melihat tingkah ibunya yang super absurd dari penglihatannya ia juga bisa melihat kalau Mira merasa lelah terlihat gadis itu tampak hanya mengangguk fan tersenyum jika ibunya berbicara. "Mira sayang ini gaunnya bagus banget kamu harus ambil yang ini." Ujar mami Xavier memberikan gaun itu kepada Mira. "Gak usah Mi, udah banyak banget lo Mi, tuh liat yang dibawa sama Xavier punya aku semua." Ucap Mira menolaknya secara halus. "Tidak ada tapi tapian, cepetan ini coba, duh kamu pasti cantik banget sayang pakek ini." Ujar mami Xavier membuat Mira mau tak mau menerimanya. Bukan Mira tak mau Xavier mungkin sudah habis ratusan juta hanya membeli beberapa gaun tas dan sepatu untuknya, membuat Mira jadi tidak enak sendiri, bahkan gaun yang ia pegang saat ini memiliki harga yang fantastis karena untuk satu gaun yang ia pegang berharga jutaan, Mira menghela nafasnya mengapa mami nya Xavier membuang uang begitu banyak ia merasa tidak enak dengan Xavier apa lagi ia bukan wanita yang benar benar Xavier cintai. Mira keluar dari ruang ganti menunjukkan gaun yang ia kenakan kepada maminya Xavier ia menggunakan gaun yang memiliki kera seperti sabrina gaun yang Mira kenakan berwarna merah membuat kulit putihnya terlihat lebih mencolok serta punggungnya yang terbuka membuat Mira merasa risih. Ia keluar mencari mami Sinta yang ternyata sedang duduk bersama Xavier Mira bingung haruskah ia berjalan kesana tapi ia malu harus berhadapan dengan Xavier, akhirnya ia memutuskan untuk mendekat kepada ibu dan anak tersebut membuat mami Sinta mendongak melihat Mira yang berdiri dihadapan mereka. "Astaga, kamu cantik sekali Sayang." Sinta berdiri dari dudukannya lalu mendekati Mira yang berdiri kaku di hadapan keduanya, Sinta menarik ikatan rambut Mira menggerai rambut panjang Mira agar lebih feminim dan hasilnya sangat cantik, gadis tersebut terlihat cantik natural tanpa make up sedikit pun. "Xavier lihatlah menantu Mami seperti boneka." Mami Xavier mengangkat kepala putranya yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, membuat Xavier mendongakkan wajahnya memandang Mira dengan lekat tanpa berkedip sedikit pun. Demi apapun ia melihat Mira dengan terkejut, benarkah ini Mira gadis kampung yang membantunya untuk mengelabui orang tuanya, ia tidak percaya jika Mira bisa secantik ini meskipun tubuhnya mungil seperti anak remaja tapi Mira tumbuh sempurna dibagian bagian tertentu yang bisa Xavier lihat, entahlah ia hanya melihat jika Mira adalah gadis yang beda saat ini. "Pokoknya Mami mau secepatnya kamu menikah dengan Mira," Xavier mengerjabkan matanya memandang kearah ibunya ia langsung tersadar dari keterpukauannya melihat kearah sang mami lalu membuang wajahnya ke arah lain. "Xavier kamu gak denger apa yang Mami bilang?" "Semua kan ada prosesnya Mi," "Oke, Mami akan nikmati prosesnya." "Sayang kamu jangan ganti bajunya ya biar kamu pakai aja ini, kita ke salon sekarang." "Mi, astaga mau ke salon lagi, Xavier capek Mi, kalau gitu Xavier pulang duluan aja ya?" "Enak aja pulang duluan, terus yang bawakin ini semua belanjaan siapa Mami sama Mira, ya gak bisa gitu dong, kamu ini disuruh bawakin gini aja udah protes, ayo sayang kita tinggalin anak rewel ini." Mira dan mami Xavier pergi meninggalkan Xavier yang mengerang frustasi berdiri mendekati kasir membayar semua pakaian yang Mira kenakan. Mereka memasuki salah satu salon langganan mami Xavier, Xavier hanya mengikuti kedua wanita itu masuk kedalam salon tersebut ia memilih duduk dikursi tunggu. *** Kinan baru saja tiba di restoran Satya saat mulai sore setelah ia menata hatinya soal pernikahan Satya ia memilih untuk bersikap acuh saja pada Satya mungkin seperti itu lebih baik, apalagi Satya dan Sarah akan melanjutkan hubungannya kejenjang yang lebih serius, dan tidak ada lagi tempat untuknya masuk kedalam merebut posisi Sarah dihati Satya, sakit tentu saja, ia sangat sakit jika membayangkan masalah hidupnya yang tidak pernah mulus dalam segala hal, keluarga, cinta dan keuangan, sepertinya tahta harta dan kasta itu tidak bisa Kinan raih dengan mudah, ia mengembuskan nafasnya masuk kedalam ruang ganti ia menumpukan kepala nya pada meja yang berada disana ia merasa tidak punya tenaga untuk bekerja hari ini, mengapa ia tidak mengajukan cuti saja, ingin menangisi keadaan pun untuk apa tidak ada yang akan tahu bagaiman perasaan Kinan saat ini bahkan Satya sekali pun Kinan melanjutkan kegiatannya mengganti bajunya lalu masuk ke arah dapur mengedarkan pandangannya tidak terlalu sibuk, ia melihat chef indra sedang sibuk menyiapkan pesanan yang dipesan tamu, Kinan mendekati Indra yang tengah mengiris sesuatu. "Butuh bantuan Chef?" Indra melihat kearah Kinan lalu tersenyum. "Boleh, nih tolong iris tipis ya, biar gue langsung masak aja." "Oke Chef!" "Kamu baru masuk?" "Iya Chef." "Kenapa, sakit?" "Enggak kok Chef." "Kalau sakit kenapa gak cuti saja, gak mungkinkan kamu gak dikasih cuti, kamu kan karyawan kesayangannya." Kinan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Indra. "Saya gak merasa seperti itu Chef." "Kamu tidak merasa, tapi semua orang disini tahunya seperti itu." "Chef kalau ngomong jangan ngaco, saya gak pernah merasa di istimewakan." "Mungkin kamu tidak menyadarinya, Satya itu selalu memberi pekerjaan yang ringan padamu, dan selalu membantumu." "Chef Satya tidak seperti itu Chef." "Perhatikan jika kamu tidak percaya." Kinan terdiam memikirkan hal itu ia tidak pernah merasa di istimewakan oleh Satya, bahkan ia merasa Satya sama saja terhadap karyawan lain dan dirinya, apa Kinan salah sangka saat ini, ia menoleh bertepatan Satya masuk kedalam dengan setelan santainya terlihat Satya juga baru tiba di restorannya. "Ada yang belum di masak?" "Gak ada kok bro semua udah selesai ini yang terakhir!" Jawab Indra, Kinan hanya diam tidak berniat menjawab ia hanya tidak ingin terlalu memikirkan ucapan Indra yang semangkin membuatnya merasa berharap pada Satya. "Kinan bisa ambilkan bahan bahan ini di lemari pendingin?" Ucap Indra sambil menyodorkan apa saja yang perlu Kinan ambil, ia membaca dengan seksama berjalan ke ruangan pendingin tersebut, ruangan pendingin itu lebih terlihat seperti ruangan yang menyimpan semua bahan makanan, dari ikan sayuran serta buah buahan dengan pengaturan suhu yang sudah disesuaikan Kinan masuk kedalam, ia mengumpulkan bahan bahan makanan yang tersusun rapi disana saat selesai Kinan di kejutkan oleh Satya yang muncul dari bagian ruangan pendingin yang berisi ikan dan daging, menenteng sesuatu, Kinan tersenyum kearah Satya yang juga hendak keluar saat Satya ingin menarik pintu ruang pendingin itu pintu tidak bergerak sama sekali membuat Satya mengerutkan dahinya, ia mencoba kembali tetapi tetap tak bergerak pintu besi itu tetap tertutup rapat, berkali kali Satya mencobanya tetap sama tidak bergerak sama sekali Kinan yang berada di belakangnya langsung terheran dan meletakkan bahan makanan yang ia bawa ia membantu Satya membuka pintu besi tersebut tapi sia sia tidak ada pergerakan dan tetap sama. "Chef ini kenapa ya?" "Aku juga gak tahu Nan, sepertinya pintu ini macet dan terkunci dari luar, aku akan menghubungi Indra biar dia membukakannya dari luar." Satya merogoh semua sakunya tapi tidak menemukan apapun ia memandang kearah Kinan yang menatapnya dengan raut bertanya tanya. "Kenapa Chef?" "Aku meninggalkannya di ruang kerjaku." "Jadi kita harus bagaimana Chef di ruangan ini semangkin dingin." Ucap Kinan menggosok telapak tangannya. "Kamu membawa ponselmu?" Kinan menggelengkan kepalanya ia meletakkan ponselnya di tas yang ia bawa tadi. "Aku juga tidak membawanya Chef." "Jalan satu satunya kita harus menunggu, sebentar lagi Indra pasti mencarimu karena belum juga kembali." Kinan mengangguk sambil memeluk dirinya sendiri ia mulai kedinginan mengingat hari mulai petang. Satu jam mereka menunggu tapi tidak juga ada yang membuka ruangan pendingin itu, Kinan sudah berjongkok tak berhenti mengusap telapak tangannya sambil meniupnya agar tidak terlalu dingin, Satya memperhatikan itu lalu mendekat kepada Kinan ikut berjongkok dihadapan Kinan, ia memegang tangan Kinan menggosoknya bersama lalu meniupnya, semua yang Satya lakukan membuat Kinan menjadi terpaku, ia melihat Satya di hadapannya melakukan hal manis itu membuat hatinya merasa menghangat meskipun di tengah dinginnya ruangan tersebut. "Apa ini lebih baik?" Tanya Satya melihat Kinan yang juga menatapnya dengan wajah yang sudah memucat. "Terimakasih Chef!" Kinan balik menggenggam tangan Satya yang tersenyum kearah nya, satu jam menunggu didalam belum juga ada tanda tanda pintu akan terbuka dari luar Satya yang terus mencoba membuka merasa tenaganya sudah tidak kuat lagi ia memilih duduk disamping Kinan, saling menggosok tangan menunggu seseorang membukakan pintu ruangan tersebut. Kinan tahu ini saat saat yang membuatnya bisa lebih dekat dengan Satya tapi mengapa harus berakhir diruangan pendingin, ruangan itu semangkin dingin menandakan bahwa hari sudah mulai gelap, Kinan terus menggosok tangannya karena mulai terganggu dengan rasa dingin yang menerpa tubuhnya, Kinan mulai menggigil membuat Satya menoleh kearahnya. "Kinan kamu kenapa?" "Dingin Chef! Aku gak kuat." Kinan mengucapkan dengan mata sayup ia mulai merasa lelah karena rasa dingin yang tidak tertahan. "Nan, hey, kamu harus tahan, sebentar lagi kita keluar oke, kemari." Satya menarik Kinan kedalam pelukannya ia merasa khawatir karena tubuh Kinan mulai bergetar. Satya sendiri mencoba bertahan karena tubuhnya pun mulai menggigil menahan hawa dingin yang menerpa tubuhnya ia terus mengeratkan pelukannya kepada Satya. "Chef, apa aku boleh mengatakan sesuatu?" Ucap Kinan di ambang kesadarannya, dengan nada bergetar didalam pelukan Satya. "Apa, katakanlah." Jawab Satya dengan tubuh yang mulai bergetar. "Apa benar Chef memperlakukanku dengan istimewa disini?" Satya mengerutkan dahinya di tengah rasa dingin yang menerpanya. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Karena karyawan disini semua mengatakan itu." "Itu tidak benar, perasaan mereka saja." Entah mengapa ucapan Satya membuatnya menjadi lebih terpuruk, bolehkah ia berharap kalau hal itu memang benar adanya kalau Satya memang memperlakukannya dengan hal istimewa lebih dari pada karyawannya. Kinan merasakan Satya mengeratkan pelukannya kepada Kinan, begitu juga Kinan ia mengeratkan pelukannya dengan Satya, biarkan biarkan kali ini ia merasakan kehangatan dari pelukan pria yang ia cintai, sekali saja sekali saja ia ingin menikmatinya, boleh kah ia berpikir begitu, meskipun Satya telah dimiliki orang lain, Tanpa sadar Kinan menjatuhkan air matanya, mengapa semangkin mencoba melupakan dan mengikhlaskan Satya malah membuatnya merasa semangkin menginginkan Satya. "Apa aku boleh bertanya Chef?" Tanya Kinan dengan suara yang tak lagi cukup keras dalam pendengaran Satya. "Apa?" "Sebesar apa Chef mencintai Sarah?" "Kenapa kamu bertanya tentang Sarah?" "Jawab saja, aku hanya ingin mengalihkan fokus dan konsentrasiku." Satya mengangguk benar juga meskinya mereka berbicara saja untuk mengurangi hawa dingin yang mereka rasakan. "Chef." "Ya!" "Kenapa tidak menjawabnya?" "Aku mencintainya! Kenapa?" Kinan berusaha menegarkan hatinya mungkin bertanya lebih jauh akan menyakiti hatinya tapi Kinan ingin mengetahuinya setidaknya bisakah ia mendapatkan cela sedikit saja. Jahat, biarlah jika ia dibilang jahat karena harus merebut seseorang yang telah dimiliki orang lain bukankah jika ingin bahagia kita harus egois dan mengorbankan sesuatu. "Seberapa besar, aku tahu Chef mencintainya, tapi yang aku tanyakan seberapa besar cinta itu?" Kinan mulai memejamkan matanya ia sudah semangkin tidak tahan dengan rasa dingin ruangan tersebut. "Apa mencintai seseorang ada ukurannya?" Satya menunduk melihat Kinan memejamkan matanya membuatnya panik langsung menggoyang tubuh Kinan. "Aku masih sadar Chef." Ucap Kinan tanpa membuka matanya. "Kau membuatku takut Kinan." "Jawab saja apa yang aku tanyakan tadi Chef?" "Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya, yang jelas aku nyaman bersamanya." Sakit, itulah yang pertama kali Kinan rasakan saat Satya mengucapkan hal itu. "Mungkin bisa di nilai seberapa takut Chef takut kehilangannya." "Kehilangan!" Satya terdiam apakah ia selalu takut merasa kehilangan Sarah ia berpikir selama ini ia menjalani hubungan dengan Sarah hanya datar saja tanpa ada rasa takut kehilangan, mungkinkah itu cinta, karena ia mempercayai Sarah, jadi ia merasa tidak perlu takut kehilangan. "Aku mempercayainya, jadi menurutku mungkin itu sudah cukup untuk tidak merasa kehilangan." "Cinta tidak seperti itu Chef." Ucap Kinan diambang kesadarannya. "Lalu seperti apa?" "Cinta itu seperti kita merasakan takut kehilangannya setiap saat, memikirkannya selalu seolah ialah dunia kita, selalu memaklumi apapun keadaannya, memaafkan apapun kesalahannya, menerimanya apa adanya, apapun keadaanya miskin, jelek, cacat, semua itu akan dilalui oleh cinta, karena cinta memang sedasyat itu." Satya mengangguk berpikir apa ia tidak merasakan hal itu pada Sarah, ia memang mencintai Sarah, tapi mengapa ia hanya merasa menyukai gadis itu, tidak merasakan seperti yang Kinan ucapkan. "Apa kamu memiliki seseorang yang mencintaimu seperti itu?" Tanya Satya kepada Kinan yang memejamkan matanya, cukup lama ia tidak menjawabnya membuat Satya khawatir. "Sayangnya aku tidak memiliki seseorang yang seperti itu Chef." "Lalu kenapa kamu bisa bicara seperti itu?" Satya menunduk memandang Kinan yang tidak pernah membuka matanya lagi. "Karena aku sedang merasakannya Chef!" "Merasakan apa?" "Cinta." "Kamu mencintai seseorang?" Tanya Satya lagi dijawab anggukan oleh Kinan. "Apa kalian menjalin hubungan?" Tanya Satya lagi. Yang dijawab gelengan kepala oleh Kinan. "Karena ia sudah dimiliki orang lain." Ucap Kinan dengan nada bergetar dan terputus putus. "Kenapa tidak mencobanya saja?" Tanya Satya yang entah mengapa pertanyaannya seperti menyuruh Kinan untuk melakukan perbuatan jahat merebut milik orang lain. "Apa Chef akan melakukannya jika seseorang datang kepada Chef menawarkan cinta yang lebih besar, Chef akan menerimanya?" Satya tampak berpikir setelah mendengarkan pertanyaan Kinan, ia tidak tahu harus berbuat apa jika memang ada seseorang yang datang menawarkan cinta yang lebih besar kepadanya. "Mungkin aku bisa berubah sewaktu waktu, bisa jadi menerimanya, bisa jadi tidak ingin, kenapa kau bertanya seperti itu Kinan?" Satya tidak mendapatkan jawaban dari Kinan ia melihat wajah pucat gadis tersebut menggoyangnya tapi tetap tidak ada respon apapun membuat Satya panik ia menendang keras pintu besi tersebut tapi tidak juga kunjung terbuka, pintu itu memiliki handle berbentuk bulat seperti setir mobil tapi tetap tidak terbuka saat Satya memutarnya, ia merasa frustasi jika terjadi apa apa dengan Kinan ia tidak bisa memaafkan dirinya Satya berjalan mondar mandir ia meletakkan Kinan dilantai yang dingin dengan beralaskan pakaian Satya, ia bingung harus berbuat apa hingga handle pintu tersebut tampak bergerak memutar membuat ia membantu seseorang diluar sana mempercepat pembukaan pintu tersebut. Saat pintu terbuka, Nico yang hendak masuk terkejut seketika melihat Satya tanpa baju berada didalamnya. "Gila, loe ngapain disini gak pake baju, mau nyoba adrenalin loe?" "Gue gak bisa jawab loe, tolong tahan pintunya, gue mau bawa Kinan kerumah sakit." Nico terdiam sempurna melihat kearah belakang Satya yang tergeletak sempurna Kinan disana. "Kenapa Kinan ada didalam juga, dia kenapa Sat?" "Jelasinnya nanti aja, loe mesti tahan nih pintu biar gak kekunci lagi, gue mau angkat dia." Nico menuruti ucapan Satya ia menahan pintu besi itu yang otomatis tertutup sendiri, Satya menggendong Kinan keluar membuat semua orang melihat dan terheran heran memandang Satya yang berlari keluar disusul Nico yang membawa baju untuk Satya. _______________________________ Nah loh Kinan kenapa itu ada yang penasaran, tenang kita jawab malam ini juga oke, jadi jangan lupa pantengin terus ya, kira kira kinan bisa taklukin babang satya gak ya... jangan lupa tekan lovenya dan komen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD