Lupa

1185 Words
Sena terkejut, ia masih belum yakin dengan apa yang ia dengar. "Siapa kamu bilang? Stevan Prayoga?" tanya Sena dengan suaranya yang masih terdengar lemah, Riyan mengangguk. "Iya, tadi aku yang nggak sengaja nabrak kamu. Aku sekretaris Pak Stevan Prayoga, beliau yang menanggung semua biaya perawatanmu sebagai permintaan maaf. Beliau juga akan memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi. Jadi tolong maafkan kesalahan kami, walaupun pada dasarnya kamu yang salah, tapi ya sudahlah, kita saling memaafkan aja." terang Riyan yang terdengar serius, Sena memegangi kepalanya karena rasa sakit pada lukanya. "Kamu bilang siapa bos kamu? Stevan Prayoga? Yang sering masuk koran, majalah dan ** itu?" tanya Sena lagi, ia masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Iya, Stevan yang tampan, tapi masih tampan aku, kenalin namaku Riyan, aku sekretaris Pak Stevan." ucap Riyan sambil mengulurkan tangannya, Sena menyambutnya tanpa berkata apapun. Sena hendak melepaskan jabatan tangannya, namun Riyan malah menggenggam tangannya erat. "Hei, jangan curang, kenalin dong nama kamu siapa, cantik?" ucap Riyan, "Sena, Sena Kiara." jawab Sena singkat, Riyan akhirnya melepaskan tangan Sena. "Sena, cantik, orangnya cantik, namanya juga cantik. Sangat cocok untuk..." ucap Riyan yang sengaja digantung, "Untuk apa?" tanya Sena penasaran, "Untuk kujadikan masa depanku yang masih suram, kurasa kehadiranmu akan menerangi masa depanku dengan kecantikanmu." sahut Riyan yang berusaha merayu Sena, Sena tersenyum kecut. Sena pikir Riyan akan menjawab dengan hal serius, nyatanya pria itu hanya merayunya saja. "Baiklah kalau biaya perawatannya udah ditanggung bos kamu. Terima kasih, aku akan keluar dari sini sesuai saran dokter." ucap Sena yang kemudian membaringkan tubuhnya lagi karena masih merasa pusing. Riyan hendak membantu Sena, namun tangan Sena sudah lebih dulu memberi kode pada Riyan kalau dirinya tak ingin disentuh Riyan. Riyan mundur, ia hanya tersenyum melihat Sena yang tak ingin disentuhnya. "Kamu boleh pergi, aku nggak apa-apa, aku bisa pulang sendiri. Kamu nggak perlu nungguin aku seperti ini, aneh juga rasanya." ucap Sena yang secara tidak langsung mengusir Riyan. "Aku mau-mau aja pulang sekarang, tapi aku takut." ucap Riyan, "Takut apa?" tanya Sena, "Takut kamu merindukanku, katanya rindu itu berat Sena. Aku nggak mau kamu menanggung rindu dalam kondisi seperti ini. Aku nggak tega." sahut Riyan, Sena terkekeh. "Argh, pulanglah, kamu jago banget buat orang lain ketawa. Pasti pacar kamu banyak." ucap Sena, "Aku masih single Sena, tapi kalau kamu mau melamarku, aku akan menerimanya dengan senang hati." sahut Riyan lagi, Sena terkekeh lagi. "Argh, udah, kepalaku sakit dari tadi ketawa mulu. Pulang sana." pinta Sena, "Kamu nggak mau minta nomor HP aku?" tanya Riyan yang tak kunjung keluar ruangan. "Enggak, aku nggak mau berhubungan dengan kamu lagi, apalagi sama bos kamu. Eh, tapi dia nggak ngomong apa-apa kan tentang aku?" tanya Sena, "Kenapa kamu nggak mau berhubungan dengan kami?" Riyan balik bertanya kepada Sena. "Aku cuma nggak mau berhubungan dengan orang yang udah nabrak aku. Kata orang, kalau pertemuan pertama aja udah sial, pertemuan selanjutnya akan sial lagi." ucap Sena asal, "Siapa yang bilang hal konyol begitu? Yang betul, pertemuan pertama yang sial akan membawa ke pertemuan selanjutnya yang menyenangkan." sahut Riyan, sepertinya ia memang tak ingin membiarkan Sena sendirian di rumah sakit. "Riyan, please, pergilah. Aku bener-bener nggak mau berhubungan dengan bos kamu. Aku nggak bisa jelasin kenapa, tapi aku mohon kamu ngerti." ucap Sena, Riyan akhirnya meninggalkan Sena dan pergi ke kantor. Sena memejamkan matanya, mengingat betapa kejamnya Stevan Prayoga. Teman sekelasnya waktu SMA itu, pernah membuat Sena berdiri gemetar dan hampir saja kencing di celana. Bagaimana tidak, waktu itu usia Sena masih 16 tahun, ia melihat Stevan memukuli anak-anak lain dengan brutal. Tak hanya sekali, Sena sering melihat Stevan, entah takdir apa yang Sena alami. Setiap Stevan berulah, selalu aja ada Sena. Karena Sena terlalu takut, Sena merekam beberapa ulah Stevan. Dan ulah Stevan yang paling sulit Sena lupakan yaitu Stevan mematahkan kaki teman sekelas mereka sampai temannya itu tak bisa bermain sepak bola lagi. Sementara anak itu adalah salah satu murid kebanggaan sekolah karena prestasinya di bidang olahraga sepak bola sangat mengagumkan. Sena berharap tidak akan bertemu dengan Stevan lagi karena ia pikir bertemu Stevan sama saja mencari masalah. *** "Kamu udah kasih dia uang tutup mulut?" tanya Stevan ketika Riyan tiba di kantor dan menghadapnya. Riyan membuka matanya lebar-lebar, "Astaga, aku lupa." ucap Riyan. "Maafkan saya Pak, saya teledor. Saya akan kembali ke rumah sakit." ucap Riyan profesional, walaupun mereka berteman, Riyan selalu menjaga jarak dan mengetahui posisinya yang hanya sebagai sekretaris Stevan. Stevan melempari Riyan dengan dokumen yang ada di depannya, beberapa kertas berterbangan di depan Riyan setelah ia merasakan sedikit rasa sakit di dadanya karena lemparan bosnya itu. "Dasar bodoh! Kamu mau mencoreng namaku hanya karena kecerobohanmu? Kamu bener-bener mau aku pecat??!" teriak Stevan, terdengar menggema di ruangannya yang sangat luas dan mewah itu. Stevan memang tak akan membiarkan masalah sekecil apapun yang dapat mencoreng namanya. Ia menjaga nama baiknya dengan kerja kerasnya, bahkan dengan darahnya. Ia tak ingin namanya tercoreng yang akan berimbas pada kepopulerannya. Stevan bekerja dengan sangat giat demi mendapatkan semua prestasinya selama ini. Bukan untuk mencuri hati ayah tirinya, namun sebaliknya, Stevan ingin melawan ayah tirinya. Stevan berharap bisa memiliki relasi yang jauh lebih banyak dan kekuasan lebih besar dibanding ayah tirinya. Dengan begitu Stevan bisa menang jika suatu saat ia menantang ayah tirinya agar ia tak perlu takut ancaman ayah tirinya. Stevan lelah dengan sikap ayah tirinya yang keras padanya dan pilih kasih. Belum lagi ibunya yang tampak takut dengan ayah tirinya itu. Bukannya tidak tahu, Riyan tahu semua hal tentang Stevan. Oleh sebab itu Riyan berusaha bekerja tak kalah giat demi membantu Stevan. Namun hari ini Riyan lengah karena kecantikan Sena. Riyan menyadari kesalahannya, ia kemudian membereskan kertas-kertas di depannya lalu pamit dan kembali lagi ke rumah sakit. Namun Stevan tak membiarkan Riyan kembali ke rumah sakit sendiri, Stevan ingin bertemu langsung dengan Sena. Sesampainya di rumah sakit, Sena masih sibuk dengan ponselnya. Ia mencari lowongan pekerjaan karena ia membutuhkan banyak uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Sena terperanjat kaget ketika mendengar suara ketukan pintu. Sena menatap ke arah pintu, ia membuka mulutnya lebar-lebar ketika Stevan dan Riyan masuk ke ruangannya. "Selamat sore mbak Sena, maaf urusan kita belum selesai. Izinkan Pak Stevan meminta maaf dengan tulus kepada mbak Sena." ucap Riyan, Sena masih terpaku menatap Stevan. Bukan karena terpesona oleh ketampanannya, tapi Sena takut Stevan akan memukulinya. "Selamat sore, saya meminta maaf karena sekretaris saya ceroboh sehingga menabrak Anda. Sebagai tanda permintaan maaf saya, tolong terima ini." ucap Stevan, Riyan kemudian menyerahkan amplop berwarna cokelat. Sena menerimanya, ia menyeringai, ia merasa seperti direndahkan. "Kamu lupa sama aku, Stevan?" tanya Sena yang mulai memberanikan diri memperkenalkan dirinya pada Stevan. Stevan mengernyitkan dahinya, ia memang sudah melupakan Sena walaupun mereka pernah menjadi teman sekelas. Stevan terlalu sibuk bekerja, ia sudah melupakan hal-hal yang menurutnya tak penting. "Wajar kalau kamu lupa sama aku, tapi kamu nggak lupa sama Fahri kan?" tanya Sena, "Kamu nggak lupa udah matahin kakinya sehingga dia nggak bisa main sepak bola lagi, kan?" lanjut Sena. Fahri adalah teman sekelas mereka yang pernah berurusan dengan Stevan, dan Stevan sudah membuat kakinya patah sehingga tak dapat bermain sepak bola lagi. Stevan terkejut, "Siapa kamu?!" tanya Stevan dengan suaranya yang lantang, Sena menyeringai. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD