Bab 5 - Keluarga Picik Aruna

1371 Words
Jalan-jalan yang biasa Aruna tapaki menuju rumahnya terlihat berbeda dari sedan mewah yang disediakan oleh Om Jayden untuknya. Aruna memutuskan untuk memanggil pria yang melamarnya tadi dengan panggilan Om, mengingat perbedaan umur mereka yang terlalu jauh. Rasanya kurang sopan jika Aruna memanggil pria itu hanya dengan sebutan nama. Mata Aruna meneliti interior sedan mewah yang dia tumpangi, melihat bagaimana kursi kulit mahal yang dia duduki. Di bagian tengah di antara kursi supir dan ada kulkas kecil berisi minuman. Di bagian belakang itu disediakan tv agar penumpang di belakangnya tidak bosan. Aruna tidak terlalu mengerti masalah mobil, namun hanya dengan melihat mobil ini. Dia tahu bahwa mobil ini adalah salah satu mobil mewah limited edition yang hanya beberapa unit dibuat di seluruh dunia. Om itu meminta sopir pribadi miliknya untuk mengantarkan Aruna pulang. Pulang? Aruna tak tahu apakah kata ‘Pulang’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasinya sekarang. Dia merasa tak punya tempat untuk pulang, tak punya tempat untuk dituju. Rumah itu baginya hanya tempat singgah yang dia gunakan untuk menghabiskan waktu malamnya sebelum kemudian berjuang sekuat tenaga untuk hidup di siang harinya. Dia menarik napas dalam, sebelum kemudian melirik ke arah goodie bag berwarna hitam yang berada di dekat kakinya. Melihat babatan uang berwarna merah yang diberikan oleh Om Jayden tadi begitu mereka menyelesaikan pembicaraan mereka. Meskipun, masih ragu apakah Pria yang merenggut kesuciannya itu adalah orang baik atau tidak, tapi setidaknya saat dia begitu mudahnya memberikan uang 200 juta itu dalam hitungan menit untuk menyelesaikan masalahnya membuat Aruna mempercayai bahwa Om Jayden adalah orang yang baik dan tak ingkar dengan janjinya. Matana menerjap beberapa kali, masih tak percaya bahwa uang sebesar dua ratus juta yang diminta oleh Ibu Tirinya itu kini berada di depan matanya. Dia masih tak percaya, bahwa Tuhan mengabulkan doa-doanya yang Frustrasi hanya dalam satu malam lewat tangan om-om super tampan seperti seorang Jayden Edzard. Benarkah dia akan menikah dengan seorang Jayden Edzard? Pertanyaan itu terus terngiang di otaknya. Apakah pernikahan ini akan berhasil pada akhirnya? Meskipun, pernikahan yang akan dia lakukan dengan Jayden hanyalah pernikahan kontrak. Setidaknya, nanti dia ingin mengakhiri pernikahan ini tanpa ada rasa menyesal di antara dia dan Pria itu. “Nona, ini sudah sampai,” tegur Pak Amri, sopir Om Jayden membuatnya tersadar. Dia menoleh dan melihat Bella, duduk di depan rumah mereka, sedang membaca majalah fashion yang sebenarnya tak dapat dia beli. Begitu mendengar suara mobil, Bella menaruh majalahnya ke atas paha lalu menatap penuh minat begitu melihat sedan super mewah itu sontak berdiri dan mendekat. “What the F...” Bella hampir saja mengumpat begitu melihat Aruna keluar dari mobil mewah itu dengan menggunakan pakaian yang baru saja dia lihat di majalah Fashion yang dia baca. Matanya membulat, melirik dari atas hingga bawah memperhatikan penampilan Aruna yang berbeda 180 derajat. Pakaian itu adalah Pakaian yang dia idam-idamkan, limited edition. Hanya ada 100 buah di dunia ini dan bahkan jika memiliki uang yang banyak. Dia tak akan pernah bisa membelinya. Aruna tersenyum puas melihat wajah Bella yang merah padam, iri dengan apa yang dia kenakan. Dengan sengaja, dia mengibas-ngibaskan pakaian mahal itu di depan Bella, memanas-manasinya. “Buat apa Lo balik ke mari?” ujarnya setelah berdehem. Tangannya mengilang di depan d**a dengan wajah jutek dan menyebalkan yang selalu dia perlihatkan. Aruna tidak membalas tatapan itu, bersikap tenang begitu melihat wajah canggah yang Bella perlihatkan. Dia menatap rambut curly dengan highlight pink yang dia miliki sengaja dijedai sembarangan. Di mata kedua orang tuanya, Bella adalah anak yang sempurna, anak yang baik, pintar, penurut yang selalu menjadi kebanggaan mereka. Hanya Aruna yang mengetahui wajah Bella sebenarnya. Bagaimana gadis itu bermuka dua dan akan berubah menjadi begitu picik begitu keluar dari rumah. Bella menatapnya dengan sinis dan merendahkan, melirik ke arah mobil mewah di belakangnya lalu ke arah pakaian yang dikenakan oleh Aruna. “Gue yakin Lo pasti tidur dengan lelaki tua, jelek namun kaya raya demi uang kan?” ujarnya merendahkan, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Jika tidak, dalam semalam bagaimana mungkin Lo bisa kembali dengan mobil mewah dan pakaian ini,” tangannya menunjuk pakaian yang Aruna kenakan. Dia melangkah mendekati Aruna, wajahnya masih angkuh, lalu tangannya mengambil rambut Aruna yang sudah ditata rapi lalu mendengus, “Aku yakin kau melakukannya kan? Jika tidak bagaimana mungkin perempuan kucel dan buruk rupa sepertimu bisa berubah menjadi angsa yang cantik dalam sekejap,” ujarnya dengan nada yang merendahkan. “Bagaimana rasanya diusir oleh Mama dan Ayah sama sekali tak membelamu. Tak ada yang menginginkan Lo di sini, sebelum kau memberi mereka dua ratus juta atau menikahi Pak Brams tua bangka itu kan?” Aruna tahu Bella sedang memprovokasinya. Gadis gila di depannya ini menginginkan dia terpancing, marah, melakukan hal yang tidak-tidak agar dilihat oleh kedua orang tuanya dan membuat mereka semakin membencinya. Tidak. Aruna tidak akan terpancing sekarang. Dia tak ingin menghancurkan semua rencananya hanya untuk berkelahi dengan gadis manja sepertinya. Masih bersikap tenang seperti air yang mengalir, dia menoleh dan menatap berani mata adik tirinya itu, “Lo tenang saja, gue kesini untuk ngasih apa yang nyokap minta biar bisa sekalian mutusin tali keluarga ini,” ujar Aruna santai berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah penuh percaya diri meninggalkan Bella yang berdiri terpaku tak percaya dengan apa yang Aruna ucapkan. Begitu masuk ke dalam rumah, dia melihat Marni, ibu tirinya dan Amin, Ayahnya sedang berada di depan televisi terlihat terkejut begitu melihatnya masuk. Marni sontak menghempaskan bantal kursi itu dan berjalan mendekatinya dengan penuh amarah. “Wow, bagaimana mungkin anak yang pergi dari rumah bisa berani datang lagi,” ujarnya sinis. “Aku pikir kau tak akan pernah kembali. Kenapa? Kakimu kaku, terpatri di tempat ini sehingga tidak bisa pergi?” Marni menatap ke arahnya dan terkejut melihat penampilan Aruna sekarang. “Apa yang kau lakukan semalam sehingga bisa membeli pakaian mewah seperti ini?” Aruna berdecak, Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Sikap buruk Bella menurun langsung dari Ibu tirinya sehingga ucapan mereka begitu mirip bahkan tak ada bedanya sama sekali. Ibu tirinya itu berdiri di depannya dengan angkuh. Rambut sebahu yang disasak tinggi khas tahun 80 an selalu menjadi identitas dirinya, memperlihatkan bagaimana angkuhnya ibu dan anak itu. “Selama Aku bisa memberi Anda uang dua ratus juta yang Anda inginkan. Bukankah Anda tidak perlu tahu apa yang aku lakukan,” kata Aruna dingin tanpa ekspresi. Dia melirik ke arah ayah kandungnya yang diam saja melihat anaknya dipermalukan seperti ini. Ah, Aruna bahkan lupa bagaimana sikap biasa yang ayahnya perlihatkan saat dia berjalan masuk tadi. Dia sama sekali tak peduli dan meneruskan menyesap Teh panas miliknya yang bahkan dibeli dengan uang dari kerja kerasnya. Marni mencibir, “Lalu kau bisa mendapatkan uang dua ratus juta dari pekerjaan Part timemu sebagai tukang bersih-bersih hotel?” Aruna tak mengucapkan apa pun, tangannya meremas pegangan goodie bag miliknya dengan begitu keras, lalu melirik isi uang ang ada di sana. Dia menarik napasnya dalam, lalu mengangkat tas itu dan membaliknya sehingga tumpukan uang jutaan rupiah menumpuk di lantai. Tumpukan uang berwarna merah terang itu membutakan Marni dan juga Amin, mereka berdua tercengang. Amin -Ayah Aruna bahkan berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat. “Ini Uang 200 juta yang Anda inginkan. Setelah ini Anda tak berhak memutuskan Penikahanku lagi.” Aruna menatap ke arah ayahnya yang terdiam. “Semoga dengan uang ini, Anda membuka hati Anda pada akhirnya,” geram Aruna berjalan meninggalkan Ayahnya. “Berhenti!” pekik Amin dengan amarah yang memuncak. Aruna membalik dan tak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Ayahnya berdiri membeku dengan kilatan amarah di matanya, “Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini? Kamu mencurinya?” Aruna kembali berdecak, menertawakan ucapan yang dikatakan Ayahnya. Dia menurunkan alis, mencoba menyembunyikan emosinya yang meninggi. Pria di depannya ini adalah ayah kandungnya sendiri. Dan di mata beliau, Dia serendah itu yang bahkan bisa bertindak seperti binatang. “Aku mendapat pekerjaan di sebuah keluarga kaya. Bos saya terlalu baik dan memberikan pinjaman kepada saya sebanyak ini. Jadi Anda tak perlu khawatir. Saya tak mencuri atau bahkan merampok untuk mendapatkan uang itu,” ujar Aruna sebelum kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di loteng. Di tengah langkah, Aruna berhenti dan melirik ke arah Ibu tiri dan juga ayahnya yang terlihat kegirangan dengan tumpukan uang yang dia berikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD