"Bagus. Pelajari semuanya dan nanti papa akan tanyakan satu per satu," kata Adhiyaksa membuat Cesya menghembuskan nafas lega.
Meskipun sebelumnya ia belajar manajemen bisnis. Namun, tetap saja ia masih sangat asing tentang perusahaan. Ini merupakan pertama kali baginya membaca dokumen-dokumen penting perusahaan ayahnya.
"Tapi, Pa. Apa Cesya perlu melakukan ini?" tanya Cesya masih enggan menggantikan ayahnya di perusahaan.
"Tentu saja, Sayang. Kau itu satu-satunya anak papa dan kau satu-satunya penerus perusahaan papa. Jadi, jika suatu saat nanti terjadi hal buruk pada papa. Kau bisa langsung menggantikan posisi papa di perusahaan," balas Adhiyaksa.
Adhiyaksa tidak berencana untuk langsung memasukkan Cesya ke perusahaan. Ia hanya meminta putrinya untuk mempelajarinya. Jadi, suatu saat nanti perusahaan tiba-tiba membutuhkan uluran tangan Cesya. Gadis itu tidak perlu bersusah payah untuk beradaptasi.
Dalam sekejap mata, Cesya sudah berpindah tempat dan berada di samping ayahnya.
"Jangan berbicara seperti itu, Pa. Hanya Papa yang Cesya miliki di dunia ini. Jadi, Cesya tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu keluar atau pun terpikirkan di pikiran Papa."
Jika terjadi sesuatu pada Adhiyaksa. Lalu, bagaimana dengan kehidupan Cesya? Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini selain ayahnya.
"Iya, papa janji tidak akan pernah mengatakannya lagi," balas Adhiyaksa memeluk putrinya.
"Sebentar lagi Shalom menikah loh, Pa," ucap Cesya bercerita.
"Benarkah?" tanya Adhiyaksa.
"Iya, Papa. Apa Papa tahu siapa calon suaminya?" jawab Cesya.
"Tentu saja, tidak. Memangnya siapa?" tanya Adhiyaksa.
"CEO sekaligus pemilik PT. Candramawa Tbk," jawab Cesya bersemangat seolah status Kanagara begitu luar biasa di matanya.
"Benarkah? Kanagara Candramawa calon suami Shalom?" tanya Adhiyaksa terlihat sangat mengenal Kanagara.
"Apa Papa mengenal Tuan Kejam? Ah, tidak. Maksud Cesya, apa Papa mengenal Kanagara?" Alih-alih menjawab, Cesya justru balik bertanya pada ayahnya.
"Tentu saja, Sayang. Kanagara itu rekan bisnis papa. Perusahaan kita dan perusahaan Kanagara sedang melakukan kerjasama dan sudah berjalan selama beberapa bulan," sahut Adhiyaksa menjelaskan.
Adhiyaksa Groups merupakan perusahaan di bidang properti dan PT Candramawa Tbk merupakan perusahaan di bidang konstruksi. Dan belum lama ini, perusahaan Candramawa mengajukan proposal kerjasama pada perusahaan Adhiyaksa. Dalam satu kali pembahasan, mereka menandatangani surat perjanjian kerja.
"Oh, jadi seperti itu. Pantas saja Papa langsung mengenali Kanagara. Padahal Cesya sama sekali belum memberitahu Papa nama calon suami Shalom," kata Cesya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kanagara itu pria hebat. Kau harus segera mempelajari perusahaan agar bisa sehebat dia," ujar Adhiyaksa memuji Kanagara dengan maksud untuk memotivasi putrinya.
"Cesya janji akan mempelajari semua dokumen yang Papa berikan. Tapi, Papa harus janji dulu sama Cesya," balas Cesya memberi syarat.
"Janji apa dulu dong, Sayang?" tanya Adhiyaksa tidak langsung menuruti putrinya.
Pria paruh baya itu merupakan pengusaha sukses. Jadi, sebelum membuat keputusan. Ia harus memastikannya lebih dulu apa yang akan ia setujui.
"Cesya janji akan mempelajari semuanya dalam waktu satu bulan. Tapi setelah itu, Cesya mau Papa memberi Cesya kebebasan sama seperti sebelumnya."
Setelah dipikir-pikir, Cesya merasa masalah tidak akan selesai jika ia terus menghindar. Jadi, ia memutuskan untuk mempelajari seluk-beluk perusahaan dan meminta kebebasan dari ayahnya untuk mendekati Pentagon. Berharap bahwa pria itu akan dengan cepat berubah haluan. Melupakan Shalom dan melukis nama Cesya di hatinya.
"Baiklah, jika itu memang maumu. Asalkan kau bahagia, maka papa juga akan bahagia," jawab Adhiyaksa menerima tawaran putrinya.
Selama kebebasannya tidak disalahgunakan. Adhiyaksa tidak akan pernah mempermasalahkannya. Sama seperti sebelumnya ketika Adhiyaksa memberi kebebasan pada putrinya. Cesya selalu pulang tepat waktu, selalu mengabari di manapun ia berada, dengan siapa ia pergi, mengabari jika terlambat, dan sebagainya. Jadi, pria paruh baya itu percaya bahwa putrinya tidak akan melakukan hal yang bisa merugikan dirinya sendiri.
"Terima kasih banyak, Pa. Papa memang yang terbaik."
Cesya memeluk erat ayahnya dengan penuh rasa syukur. Ia merasa beruntung sekali memiliki ayah seperti Adhiyaksa. Selalu bersikap lembut dan menuruti segala keinginannya. Dan yang paling penting, ayahnya itu selalu mempercayainya.
"Kalau begitu, Cesya ke kamar dulu ya, Pa. Cesya mau melanjutkan apa yang sudah Cesya tinggalkan," pamit Cesya.
Sesampainya di kamar, Cesya membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Rasanya sangat nyaman sekali dan sayup-sayup matanya mulai terasa pedih. Tidak lama kemudian, gadis itu menguap dengan sudut mata yang berair.
"Astaga! Kenapa aku mengantuk sekali," lirih Cesya. Tangan kanannya terulur menyambar guling dan memeluknya erat.
"Penta. Seandainya guling ini, Penta. Pasti, aku akan sangat bahagia karena bisa memeluknya sepuas hatiku," gumam Cesya sebelum akhirnya terlelap.
Keesokan harinya tepat di hari Minggu. Cesya meminta izin pada ayahnya untuk pergi menemui Shalom. Sepertinya, gadis itu telah melupakan janjinya sendiri untuk mempelajari semua dokumen yang ada.
"Cesya pamit mau pergi ke rumah Shalom dulu, Pa," pamit Shalom.
"Apa kau lupa, kalau kau harus mempelajari semua dokumen?" tanya Adhiyaksa.
"Come on, Big Bos. Sekarang akhir pekan dan Cesya butuh merefresh otak Cesya agar cepat memahami dokumen-dokumen itu," jawab Cesya beralasan. Padahal, ia ingin menemui Pentagon karena rasa rindunya yang sudah tidak terbendung lagi.
"Kau ini, ada saja alasannya," ujar Adhiyaksa.
"Jadi, bagaimana? Boleh 'kan Cesya pergi menemui Shalom? Boleh ya, Pa. Please, Cesya mohon!" mohon Cesya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
"Baiklah. Tapi, kau harus selalu mengabari Papa," balas Adhiyaksa.
Di mata pria paruh baya ini. Cesya masih seperti bayi yang membutuhkan perhatian ekstra. Ia ingin putrinya selalu memberinya kabar setiap saat. Hal itu ia lakukan semata-mata karena takut terjadi hal buruk pada putrinya.
"Cesya bukan anak kecil lagi, Pa. Cesya bukan anak kecil dan Cesya sudah dewasa. Apa kata orang kalau mereka tahu Papa bersikap seperti ini pada Cesya," protes Cesya.
Jika orang lain tahu, mungkin ia akan diolok-olok dan dipanggil sebagai anak papi. Dan, bagaimana bisa ia menjalin hubungan dengan Pentagon suatu saat nanti, jika ayahnya selalu mengawasi dan mengontrolnya seperti ini?
"Pilihannya ada di tanganmu, Cesya. Kau ingin pergi dengan selalu mengabari papa atau tetap di rumah tanpa perlu mengabari papa," ancam Adhiyaksa.
Ia terpaksa melakukan hal itu karena ia sangat menyayangi putrinya. Ia selalu menyediakan payung sebelum hujan. Ia selalu mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi pada putrinya.
"Ayo dong, Pa. Tolong jangan bersikap seakan Cesya ini bayi yang harus selalu Papa awasi. Cesya sudah besar dan Cesya bisa jaga diri, Pa," bujuk Cesya.
Ia sudah lelah selalu diawasi oleh ayahnya selama ini. Meskipun Adhiyaksa tidak mengatakannya. Namun, Cesya tahu bahwa ayahnya menempatkan pengawal di belakangnya.
"Baiklah, kau boleh pergi," kata Adhiyaksa mengizinkan.
"Terima kasih, Papa sayang." Cesya memeluk ayahnya dan pergi.
"Aku datang, Penta!" teriak Cesya dalam hati.