Tak Ingin Menyerah

1034 Words
Seorang pria paruh baya berjalan dengan memikul satu ikat besar rumput gajah di punggungnya. Keringatnya bercucuran dari keningnya, tetapi ia tetap terus melangkah agar segera sampai di rumahnya. Namun, saat ia melewati sebuah rumah, ia terperanjat kaget. Sosok yang sangat ia kenali pingsan di depan pagar rumah itu dengan wajah babak belur. "Astaghfirullah, Nak Elvan!" Pria tersebut berteriak. Beberapa warga yang melintas pun ikut terkejut melihat tubuh Elvan yang terluka cukup parah. "Pak, kita bawa ke rumah sakit sekarang! Kasihan Elvan kalau tidak kita tolong!" "Ayo! Kita minta tolong sama sopirnya Pak kepala desa saja biar cepat!" Seorang warga yang berusia paling muda dan satu-satunya yang memiliki ponsel bergegas menghubungi sopir kepala desa. Tak sampai sepuluh menit mereka menunggu, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Elvan. Lima orang warga mengangkat tubuh Elvan agar bisa masuk ke dalam mobil. Mereka sepakat membawa Elvan ke klinik terdekat. Bila harus ke rumah sakit, jaraknya cukup jauh. Sementara Elvan membutuhkan pertolongan secepatnya. *** Adam berusaha menenangkan adik kembarnya yang masih terus menangis begitu mereka berada di tempat asing. Sebuah kamar mewah berukuran jauh lebih luas daripada ruang tamu di rumah mereka. Di atas ranjang, sang ibu masih terbaring tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius. "Kakak, Ayah gimana? Aira takut Ayah gak selamat." "Kita doain Ayah, semoga Ayah segera ditolong warga kampung. Kalau Ayah udah sembuh, insya Allah Ayah akan menyusul kita ke sini," ujar Adam. "Memangnya Ayah tahu kita di mana?" tanya Aura. Adam menghela napas panjang. Entah jawaban apa yang harus ia berikan pada adik-adiknya, terlebih lagi ini pertama kalinya mereka berada di tempat ini. Atensi mereka teralihkan saat suara pintu kamar terbuka. Sontak Adam berbisik, meminta adik-adiknya berlindung di belakangnya kala seorang pria berbadan kekar dan seorang wanita paruh baya masuk. Pria tersebut terlihat menyeramkan sehingga Aira dan Aura ketakutan. "Jangan takut, Nak! Kalian sekarang berada di rumah Oma. Mulai sekarang, kalian akan tinggal di rumah ini bersama ibu kalian," ujar wanita tersebut dengan nada lembut. "Anda siapa?" tanya Adam. Wanita tersebut tersenyum. "Saya adalah nenek kalian, panggil saja Oma Retno." Setelah itu, pria itu meletakkan beberapa paper bag di atas ranjang, tepatnya di kaki Zehra. "Itu adalah pakaian ganti kalian. Mandilah, setelah itu kita makan bersama di bawah!" titah Retno. "Bunda belum bangun, Ayah kami juga belum ke sini. Bagaimana bisa kami makan enak sementara Ayah kami tinggalkan dalam keadaan terluka!" ujar Adam tegas. Retno mendengus pelan, kemudian berbalik menatap pria yang masih setia berdiri di belakangnya. Seolah ia memberi kode, pria itu pun pergi. Ia kembali beralih pada tiga cucunya yang masih tampak ketakutan. "Ayah kalian pasti tidak akan mati begitu saja. Untuk saat ini, kalian tinggal di sini dulu, ya!" Setelah mengatakan hal tersebut, Retno pergi meninggalkan mereka. Tentu saja pintu kamar kembali ia kunci dari luar. Ia takut anak kesayangannya serta cucu-cucunya kabur setelah ia bersusah payah mencari mereka. Delapan tahun silam, Retno menolak keras lamaran Elvan untuk Zehra. Saat itu ia sudah memiliki calon suami yang tepat untuk putrinya tersebut. Namun, Zehra terlalu keras kepala bahkan berani menentangnya. Meskipun ia terpaksa memberikan restunya pada Elvan saat pria tersebut meminang putrinya untuk ketiga kalinya, ia enggan menyiapkan pesta pernikahan mewah untuk mereka. Baginya, Elvan harus berusaha sendiri mewujudkan pernikahan itu. Sebulan setelah pinangan Elvan, mereka pun menikah secara sederhana. Retno pun enggan hadir, seolah ia tak pernah menganggap Elvan sebagai menantunya. Delapan tahun berlalu, rupanya Retno tak sanggup lagi melihat Zehra dan cucu-cucunya hidup dalam kemiskinan. Dengan rencana yang sudah ia susun secara matang, ia menculik Zehra dan tiga buah hatinya untuk segera kembali ke Jakarta. Tentu saja tujuannya adalah memaksa Zehra untuk menggugat cerai Elvan yang ia nilai tak bisa membuat Zehra bahagia. *** "Allah!" Elvan terkesiap begitu ia mengalami mimpi buruk selama ia tak sadarkan diri. "Nak Elvan, alhamdulillah, akhirnya kamu sudah sadar," ujar seorang pria paruh baya. "Pak Ridwan, aku di mana ini?" Elvan bingung karena ia ingat terakhir kali ia berada di depan rumahnya. "Saya dan beberapa warga membawamu ke sini. Wajahmu terluka seperti habis dipukul orang. Siapa yang sudah memukulmu, Nak?" "Pak, mereka membawa istri dan anak-anakku, Pak! Aku harus bagaimana sekarang?" ujar Elvan. Ridwan menepuk pelan pundak Elvan. "Bersabarlah, Nak! Pulihkan tubuhmu terlebih dahulu, setelah itu baru kamu cari mereka!" "Pak, mereka membawa keluargaku. Aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan keluarga yang sudah susah payah aku bangun. Aku takut mereka akan memisahkanku dengan istri dan anak-anakku," kata Elvan. Ridwan mengambil sebotol air mineral dan membukanya. Setelah itu, ia memberikannya pada Elvan agar perasaan pria itu lebih baik. "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Ridwan. "Pernikahanku dan Zehra memang tidak pernah bisa direstui oleh ibunya, Pak," ujar Elvan, lirih. Elvan menatap langit-langit kamar klinik. "Aku yang hanya seorang anak yatim piatu begitu lancangnya jatuh cinta pada teman kuliahku. Kami memang berbeda kelas, tapi ada saat-saat tertentu di mana kami ikut acara kampus dan bertemu secara tidak langsung. Ya, begitulah." Ia terkekeh sejenak. "Aku memperjuangkannya, sayangnya kami tak direstui dengan alasan perbedaan kasta di antara kami. Aku yakin, ibunya tidak akan sudi membiarkan Zehra, putri satu-satunya hidup dalam kekurangan bersamaku." "Lantas, apakah kamu akan menyerah, Nak?" tanya Ridwan. Elvan menoleh seraya menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak akan menyerah, Pak!" *** Zehra sudah sadar sejak dua jam yang lalu. Namun, makanan yang sudah dibawakan oleh salah satu asisten rumah tangga Retno belum tersentuh sama sekali. Wanita itu hanya terus melamun, memikirkan nasib sang suami yang terpaksa ia tinggalkan. Menghubunginya pun tidak bisa karena ponselnya tak ikut terbawa bersamanya. Padahal ia ingin memastikan bahwa suaminya baik-baik saja saat ini meskipun ia tak yakin. Ia tahu ibunya tidak akan pernah main-main terhadap ancamannya. Zehra menatap anak-anaknya yang sudah terlelap. Ia yakin bukan karena empuknya ranjang yang membuat mereka pulas, melainkan mereka terlalu lelah akibat terlalu banyak menangis. Tentu mereka sama seperti dirinya, merindukan ayah yang selama ini selalu ada di samping mereka. Helaan napas kasar terdengar dari mulutnya. Ia kembali menatap seporsi makanan kesukaannya di atas nakas. Mau tak mau ia harus mengisi perutnya agar ia memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya. "Mas, aku berharap kamu baik-baik saja di sana. Aku akan menjaga diriku dan anak-anak kita, sampai kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti," gumamnya, seraya mengambil piring tersebut dan menikmati sajian tersebut walaupun sulit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD